Trisha mengekor Carlos masuk ke pusat pertokoan Fifth and Alton. Seolah sudah terbiasa berkunjung, pria jangkung itu langsung menuju area pakaian tanpa kesulitan. Menyusuri lorong sempit yang dipenuhi dinding baju.
"Kau bisa ambil apapun," kata Carlos.
"Apapun?" Trisha menyipit curiga. "Tanpa imbalan?"
"Tentu saja ada imbalan," tawa Carlos ringan. "Sekarang ambil saja dulu. Kita hitung-hitungan belakangan."
"Setuju! Aku juga tak mau berhutang padamu."
Jemari Trisha segera memilah-milah baju di gantungan. Bibir gadis itu bergerak-gerak lucu memelototi ukuran dan model bajunya. Musim panas di Miami sangat jauh berbeda dengan musim kemarau kota asalnya. Jangan harap bisa melihat perempuan berpakaian seminim ini di daerah kelahirannya tanpa kena nyanyian pedas.
Trisha meringis saat menyentuh sehelai gaun mini berbahan sifon menerawang. Ukurannya oke, tapi modelnya sangat tidak dirinya sekali. Senyumnya tertahan mengira-ngira reaksi bapak jika melihatnya memakai gaun seterbuka itu.
"Dasar norak!" Trisha menggetok kepala. Tersipu menyadari perspektif tradisionalnya masih terbawa ke negara ultra modern ini.
"Trisha?"
"Ya?" Kepalanya menoleh dan tertegun. Sedetik kemudian dia menjambret barang yang diacungkan Carlos. Wajah sawo matang itu merah padam. "Carlos!" serunya tertahan.
Pria tampan itu memasang muka tak bersalah. "Ada apa?"
"Aku bisa memilih sendiri pakaian dalamku," desis Trisha sangat malu. Dijejalkannya sepasang bra dan celana dalam berenda ke deretan kemeja di kanannya.
"Aku hanya mencoba membantumu." Nada jahil kentara jelas di suara pria itu. "Berbagi tugas bisa mempercepat acara belanja kita."
Trisha mendengus. Didorongnya tubuh kekar Carlos menjauh. Telinganya sempat menangkap gelak tawa sebelum dia kembali lagi memilah pakaian.
"Trisha?"
"Apalagi?" bentaknya keras.
Carlos mengacungkan sehelai gaun hijau yang sangat cantik. Bermodel A-line dengan kerah tali dan panjang selutut, gaun hijau berlian itu seolah melambai penuh kasih pada Trisha.
"Kau bisa pakai ini ...." Carlos meletakkan hanger ke tangan Trisha. "... juga ini."
Gadis itu terperangah. Sepasang sepatu yang tak kalah menawan. Berhak tinggi, berwarna cokelat muda, dengan bahan beledu yang lembut, dan detail pita cantik. Kepalanya mendongak keheranan.
"Ini permohonan maafku karena telah merusak isi kopermu," ucap pria itu tulus. Matanya mengedip jahil. "Kali ini kau harus memuji selera fashionku.”
Keterkejutan mewarnai wajah eksotis Trisha, tapi tak lama berganti dengan seulas senyum lebar. Gadis itu mengangguk dan tanpa banyak kata menghilang ke ruang ganti. Tak lupa dia menyambar pakaian dalam yang telah dipilih Carlos, sedikit tersipu mengingat usaha pria itu memilih item pribadi wanita.
Di depan cermin Trisha mematut diri. Rona merah masih mewarnai pipi. Dielusnya bahan gaun yang sangat lembut. Apa Carlos selalu bersikap seramah ini pada wanita? Trisha menelengkan kepala. Tersenyum-senyum membayangkan tindakan sama akan dilakukan pacarnya kelak.
Pacar! Gadis itu tersentak kaget. Astaga, kenapa dia sampai lupa topik penting ini? Pertengkarannya dengan Carlos belum usai! Trisha menyambar kemeja dan berderap keluar ruang ganti.
Sesaat dia tertegun memergoki sorot aneh di mata Carlos. Seolah pria itu baru saja melihat penampakan bidadari turun ke bumi. Trisha menertawakan diri sendiri. Terlalu lama melajang sepertinya mengaburkan pandangan gadis itu pada sosok pria asing di hadapannya.
“Jauh lebih baik,” komentar Carlos singkat.
Sebelah alis Trisha terangkat tinggi. Pujian Carlos tak terlalu berpengaruh, tertutupi kekesalan gadis itu atas kebohongannya. Dilemparnya kemeja yang ditangkap Carlos sigap.
“Aku masih belum bisa memaafkanmu. Mengaku sebagai pacarku?” Trisha mencibir sinis. Tergerak oleh dorongan hati, dia meninju perut Carlos separuh tenaga.
Oke, itu hanya pukulan main-main. Namun, efeknya terasa hingga jauh di dalam hati Trisha. Jantungnya berdebar kencang. Tak kentara dia mengusap buku-buku jarinya. Anggota tubuh yang baru saja bersinggungan dengan perut rata Carlos. Dia sudah pernah menyentuh perut itu sebelumnya. Kenapa sekarang dia jadi salah tingkah?
Trisha, otakmu memang perlu dibersihkan!
“Hei, Trisha?”
“Ya?” jawab gadis itu sedikit linglung. Benaknya masih melayang ke anatomi perut Carlos yang sempurna.
“Kamu bisa berlari mengenakan itu? Atau cukup tajam untuk menyerang?”
“Apa mak—“
“Pegangan!”
Trisha terbelalak. Lagi-lagi Carlos menggendongnya! Kali ini dia sudah lebih siap. Gadis itu tak protes, lengannya melingkari leher penggendongnya dan melongok dari balik bahu. Serombongan orang terlihat berlari ke arah mereka. Trisha mengembalikan pandangan pada wajah tampan Carlos.
Oke, orang ini luar biasa! Puji Trisha. Tak terlihat kesusahan, pria itu meliuk-liuk lincah menghindari para pengejar mereka.
Gadis itu merenung. Dua hari bersama Carlos membuat adrenalin Trisha mengalir deras. Carlos telah membangkitkan satu sifat yang baru diketahui keberadaannya oleh Trisha. Selama ini dia mengira hanya tangguh karakter yang dimilikinya.
Nyatanya, dia lebih dari itu. Trisha mengernyit pada gadis berambut merah yang berdiri di ujung lorong. Carlos menunjukkan bahwa Trisha lebih dari sekedar tangguh. Dia juga cepat beradaptasi dan pantang menyerah.