"Aku ingin menagih permintaan maaf dan rasa terima kasihmu."
"Bagaimana?"
Trisha perlu menunggu beberapa saat sebelum Carlos menjawab, "Jadi pacarku. Jika tidak bisa, berpura-puralah untuk sementara."
Trisha melamun di bawah kucuran pancuran. Benaknya masih terngiang ucapan Carlos di mobil polisi. Untuk sebuah permintaan, itu terdengar tak berlebihan. Bibirnya mengerucut sebelum dia mematikan tuas air. Trisha menyambar handuk dan melilitkannya di tubuh, memastikan ujung kainnya terselip cukup dalam sebelum melangkah ke wastafel.
Tangannya menghapus embun di cermin. Trisha menatap pantulan dirinya. Tak terlalu jelek, batinnya lirih. Dia punya kulit cokelat yang bagus. Konon orang Amerika suka dengan kulit sepertinya hingga rela merogoh kocek untuk melakukan tanning.
Sepertinya punya kulit sawo matang saja tak cukup. Trisha teringat pandangan wanita-wanita yang berpapasan dengan Carlos. Jelas-jelas pria itu seorang dewa. Maskulinitasnya bahkan mampu menarik perhatian lawan jenis di pandangan pertama. Dibanding para wanita Miami itu, jelas Trisha tak bisa dibandingkan.
Jadi apa yang dilihat Carlos saat memintanya jadi pacar?
Tak mungkin pria itu jatuh cinta padanya. Trisha berdecak menertawakan diri sendiri. Dia pasti bermimpi jika mengharapkan pria sekeren itu jatuh cinta padanya.
"Nggak boleh minder, Trisha!" Gadis itu menegur bayangan dirinya di cermin. "Kamu cantik apa adanya. Dia tak jatuh cinta padamu? Hah, memangnya kamu juga butuh cinta Carlos?"
Trisha menimbang sekali lagi permintaan Carlos. Dari kemarin dia belum berkomunikasi dengan bapaknya. Carlos belum memberinya gawai pengganti. Nasibnya juga terombang-ambing di sini. Trisha bahkan tak bisa ke kedutaan karena terus lari dari kejaran orang-orang tak dikenal.
Menerima tawaran Carlos tak ada salahnya. Dia bisa cepat pulang ke Indonesia setelah permintaan pria itu dipenuhi. Ini kerjasama yang saling menguntungkan.
Gadis itu mengangguk puas. Selalu ada optimisme di tengah suasana tergenting sekali pun, itu salah satu prinsip Trisha. Kakinya ringan melangkah keluar kamar mandi. Dan sekali lagi, darah serasa berhenti mengaliri nadinya. Spontan dia menjerit sekuat tenaga.
"Carlos! Berbalik!" Matanya melotot galak. Wajahnya pias mendapati pria Latin itu berdiri di depan pintu.
Bagaimana dia bisa masuk? Dasar tak punya sopan-santun! Apa semua pria Miami tak punya gagasan menghormati privasi seorang wanita? Kenapa Carlos tak mengetuk pintu dulu?
Trisha terus mengomel dalam hati. Bergegas disambarnya pakaian di atas ranjang. Keningnya berkerut melihat gaun cantik terhampar di sana. Apa Carlos yang membelikannya?
"Aku sudah melihat dan menyentuh tubuhmu. Apa masih harus malu?"
Bola mata Trisha nyaris meloncat keluar. Telinganya masih belum terbiasa mendengar seloroh jahil Carlos.
"Hei! Aku masih bisa memukulmu lebih parah dari tadi!" Trisha berseru galak.
Trisha bergerak cepat membuka lilitan handuk dan mengenakan sepasang pakaian dalam yang cantik. Matanya terus melirik ke Carlos yang masih berdiri memunggungi. Aman. Dalam gerakan cepat, jemarinya meloloskan deretan kancing di bagian depan gaun, lalu memasukkan badan mungilnya.
"Kamu sudah selesai?"
"Jangan berbalik!" Trisha panik.
Buru-buru jemarinya memasukkan kancing ke lubang. Sialan, kenapa sulit sekali? Punggungnya meremang. Cuaca lembab Miami mulai unjuk aksi karena Trisha kini mulai dibanjiri keringat.
Telinganya menangkap suara siulan. Gadis itu tak berani berbalik karena bagian depan tubuhnya masih belum tertutup sempurna. Hanya ekor matanya yang sempat melihat Carlos melintasi ruangan menuju lemari pendingin. Dia kembali berkutat dengan kancing-kancing menjengkelkan yang mendadak susah diajak bekerja sama.
"Brengsek! Ayolah, kancing, menurutlah!" umpat Trisha dalam bahasa Indonesia.
"Apa?"
Trisha merasakan Carlos mendekat. Gadis itu makin panik. Separuh dadanya masih terekspos jelas.
"Apa yang kamu katakan?"
"Bukan urusanmu!" jawab Trisha ketus. Akhirnya benda mungil itu mau menurut juga. Jarinya bergerak cepat menutup gaun.
"Kehidupanmu di sini masih urusanku sampai aku bisa menemukan cara mengembalikanmu."