High Romance Shoot : Trisha Version

eliyen
Chapter #7

Ancaman

Trisha mengentakkan kaki lalu mondar-mandir mengelilingi kamar. Hampir setengah jam dia berjibaku dengan kekesalannya sampai akhirnya menyerah. Tak ada gunanya memendam kejengkelan pada Carlos. Berusaha sekeras apapun, dia tak berhasil mendapat jawaban dari mulut pria itu.

Tangannya memutar kenop pintu. Melongok ke luar, dia mendapati suasana sepi di koridor. Hanya sayup percakapan yang terdengar. Tak ada lagi denting alat makan. Jam buka restoran memang sudah tutup.

Perlahan kakinya menapaki anak tangga. Memang sudah sepi. Lampu di ruangan depan dimatikan. Hanya nyala mini bar yang menemani Trisha. Gadis itu menoleh kanan-kiri, mencari sosok pria yang beberapa jam lalu meninggalkannya.

"Mencari Carlos?"

Trisha terlonjak kaget. Menoleh ke asal suara, dia terperangah. Di hadapannya berdiri sesosok wanita Afro-Latin tercantik yang pernah dilihatnya. Rambut sepunggungnya hitam legam. Kulitnya yang sewarna karamel berbalut setelan elegan warna perak. Dan mata itu—mata yang menatap Trisha dengan ramah—bersinar cemerlang. Bibirnya melengkung tersenyum menawarkan janji persahabatan.

"Apa dia ada?" Trisha balik bertanya. Sedikit was-was karena tak tahu identitas sang penanya.

"Kamu pasti Trisha," tawa renyah meluncur dari bibir penuh gadis itu. Dengan telunjuk, dia memberi isyarat agar mengikutinya. "Namaku Gaby, aku adik Diego."

Trisha memeras ingatan mendengar nama yang familiar di telinga. Mulutnya ternganga. "Kamu pemilik restoran ini!"

Gaby mengibaskan tangan. "Pemiliknya Padre. Aku dan Diego hanya membantu saja." 

Digiringnya Trisha memasuki dapur. Tak ada orang di sana. Area memasak yang didominasi peralatan logam itu masih terasa hangat. Samar-samar tercium aroma daging dan rempah-rempah melayang di udara.

"Bahasa Inggrismu bagus, tapi aksenmu lucu. Kamu berasal dari mana?"

"Indonesia," jawab Trisha cepat. "Lebih tepatnya dari Jawa Timur. Semacam negara bagian jika diumpamakan di sini, meski tak terlalu tepat juga."

"Indonesia? Bali?" Gaby takjub. 

Trisha nyengir. Bali lebih populer dibanding Indonesia rupanya. "Ya, Bali salah satu pulau di sana. Kamu pernah berkunjung?"

"Belum, tapi itu akan jadi destinasi impianku. Tunggu di sini sebentar."

Trisha patuh. Dia berdiri di samping oven dan melihat gadis cantik itu menghilang ke balik pintu baja. Tiga menit kemudian dia keluar sambil memeluk sekeranjang bahan makanan. Dihamparkannya hasil penjarahan di atas meja dapur. Seloyang daging premium tanpa lemak, sekeranjang kecil sayuran, beberapa paprika. 

"Kamu mau makan? Aku lapar sekali. Restoran sangat ramai hari ini, dan aku melewatkan jam istirahat,” Gaby menawarkan. Tangannya gesit menyusun potongan daging dan paprika ke tusukan besi.

Trisha menggeleng. Perutnya sudah kenyang terisi makanan kiriman Carlos. "Ada yang bisa kubantu?"

"Tak perlu! Ini hanya makanan untukku dan Marco. Ah, juga Diego. Mereka ada di taman belakang."

"Carlos?" 

Gaby meliriknya jahil. "Kalian benar-benar tak bisa berjauhan, ya?" 

Wajah oval itu merona. "Kamu salah. Carlos meninggalkanku sangat lama, kan?"

"Memang iya, tapi tak pernah jauh darimu." Tawa kecil Gaby terdengar menggoda. "Carlos sedang keluar, sebentar lagi dia datang. Kami semua melewatkan jam istirahat."

"Jadi kalian makan tengah malam seperti ini?" Trisha meraih roti dan menatanya di piring. Tak bisa berdiam diri melihat tuan rumah sibuk.

"Begitulah. Para pegawai baru saja pulang. Kami harus mengurus diri sendiri. Kamu yakin tak mau makan? Masakanku punya nilai sempurna, loh.”

Anggukan Trisha dianggap isyarat penolakan oleh Gaby. Gadis itu mengangkat bahu dan kembali sibuk memanggang daging. Bagian belakang tubuhnya yang ramping sedikit membuat iri Trisha. Gadis itu diam-diam memikirkan perkenalannya dengan Gaby.

Carlos sepertinya sudah menceritakan soal dirinya pada Gaby. Perempuan itu menyenangkan. Kesan ramahnya alami, tak dibuat-buat. Tiap kali tersenyum, sudut matanya selalu mengerut. Deretan gigi seputih mutiara juga sering muncul kala Gaby memamerkan senyum lebarnya.

"Apa kamu kenal Carlos cukup lama?" tanya Trisha hati-hati.

Gaby melirik gadis mungil di seberang meja. "Sangat lama."

Hening. Tak ada suara Trisha. Si mungil itu menunduk, jemarinya memainkan dedaunan di keranjang. Gaby tersenyum pengertian.

"Jika Carlos tak ingin menceritakan tentang dirinya, kamu harus menghormatinya. Itu saran dari orang yang sudah kenal lama dengannya,” cetus Gaby tiba-tiba. Dia berbalik. “Aku tak bermaksud menguping. Tapi percintaan kalian terdengar keras.”

Trisha terbelalak. “Percintaan? Bukan, kamu salah paham! Aku dan Carlos hanya ....”

Gadis itu menggantung kalimat di saat genting, teringat janjinya dengan Carlos. Ingatan suram tentang perilaku pria itu kembali menghantuinya. Kalimat yang diucapkan dengan nada dingin dan penuh tekad. Tak ada kepura-puraan.

Dia sangat ingin mengenal Carlos. Setidaknya agar sandiwara mereka terlihat nyata. Namun, pria itu begitu defensif. Sikap tertutupnya mulai membuat gadis itu frustasi. Apa susahnya menjawab identitas diri sendiri?

“Hanya apa?”

Pertanyaan Gaby mengembalikan Trisha ke masa sekarang. Gadis itu berdeham. “Hanya pertengkaran sepasang kekasih.”

Gaby sontak bertepuk tangan. “Ah, akhirnya dia memiliki kekasih juga!”

“Selama ini tidak pernah?” Trisha penasaran.

“Kenapa tidak coba kamu tanyakan langsung ke orangnya?” Gaby mengedipkan sebelah mata. “Jangan khawatir, aku berada di timmu. Dibanding wanita-wanita tak tahu malu itu, kamu yang paling cocok untuk dia.”

Lihat selengkapnya