Berenang bersama Carlos terbukti bisa jadi alternatif menyenangkan dibanding prospek mematahkan jari pria itu di lantai dansa. Meski sebenarnya tak tepat juga disebut berenang. Trisha meringis kesal.
Carlos tidak berenang. Dirinya yang berenang. Kesalahpahaman kecil yang dipicu oleh terjunnya Carlos ke kolam dan tak segera muncul dalam durasi waktu lama membuat Trisha bertindak gegabah.
Mengira Carlos tenggelam, gadis itu melompat begitu saja ke air. Berusaha menolong pria yang jelas-jelas tak perlu ditolong.
Kaki Trisha menyepak keras-keras dalam air. Melotot galak pada Carlos yang bergerak ke tepian kolam saat telinganya menangkap permintaan yang aneh.
“Apa kamu bisa berakting lebih baik?”
“Hah?” Trisha bengong.
“Tolong aku.”
“Apa?”
“Teruskan. Aku akan menjaga batas.”
Dia masih butuh banyak penjelasan, tapi gerakan Carlos sama sekali tak diantisipasinya. Pria itu tiba-tiba mendekat. Mata Trisha sempat terbeliak kaget sebelum terpejam rapat-rapat.
Jantungnya serasa berhenti berdetak kala merasakan sapuan hangat bibir di pipinya. Trisha membeku.
Ucapan Carlos selanjutnya bahkan nyaris membuatnya mati berdiri. Mencelus ngeri, telinganya menangkap suara asing di kegelapan malam.
“Bisa kamu jelaskan, Carlos Davilla?”
~~oOo~~
Trisha masih mematung. Telinganya seolah tuli dari suara-suara di sekitar. Kehadiran Victor—kakek Carlos—masih membuatnya syok. Begitu tiba-tiba dan tanpa persiapan mental.
Namun, bukan itu sejatinya yang membuat Trisha serasa terlempar ke dimensi lain. Melainkan aksi atraktif Carlos di kolam renang.
Semburat merah mewarnai pipinya. Otaknya dengan kurang ajar mengirim lagi ingatan beberapa saat lalu. Carlos yang mengecup pipinya. Tangan kekar pria itu yang mengangkat tungkainya dan melingkarkannya ke pinggang. Usapan ujung jemari di punggungnya.
Spontan Trisha memejamkan mata. Batinnya mengeluh keras-keras. Dia berharap bumi terbelah dan menelannya bulat-bulat.
Astaga, bagaimana bisa dia mengerang seperti itu?
Trisha mengetatkan rahang, merasakan sesuatu yang aneh menari-nari dalam perutnya. Gadis itu menyugesti diri sendiri bahwa semua yang terjadi hanya akting belaka. Tak ada yang serius.
"Trisha? Kamu masih di sini?"
Trisha berusaha menyeret pikirannya kembali ke masa sekarang. Pemilik netra kecokelatan itu sedang duduk berjongkok di hadapannya. Batin gadis itu kembali kewalahan. Mata Carlos seolah mengundangnya untuk menenggelamkan diri, menyatu, mendobrak semua halangan.
Detik itu Trisha sedikit menyesali mengapa mereka hanya berpura-pura pacaran.
"Mungkin, kamu hanya sedang sial hingga harus berhubungan dengan kami."
Trisha mendengar Carlos bicara. Pria itu kembali melanjutkan. "Tentu saja semua akan berakhir setelah urusan kita selesai."
Wajah Trisha memucat. Tidak! Dia tak ingin berakhir!
Pandangannya melihat Carlos beranjak pergi. Dia tak bisa berkonsentrasi. Perlahan Trisha bangkit dan mendekati Marco. Dirapatkannya jas menutupi gaunnya yang basah kuyup.
"Boleh aku ke kamar mandi?"
Marco menunjuk pintu lain di sisi dapur. Trisha mengangguk. Tanpa berterima kasih, dia melenggang melewati pria telanjang dada itu.
Di kamar mandi, dia berdiri bawah pancuran tanpa melepas pakaian. Hunjaman kuat air mulai mengembalikan fokusnya. Gadis itu mulai berpikir.
Hubungan Carlos dan sang kakek pasti buruk. Percakapan di kolam renang tadi sudah menunjukkan amat jelas kualitas kekerabatan mereka. Trisha meringis.