Trisha terbangun dalam suasana luar biasa bahagia. Tempat tidurnya terasa seempuk kapas. Bantalnya selembut sutra. Dan aroma yang terhidu hidungnya sangat wangi. Matanya mengerjap-ngerjap, mengagumi mural di langit-langit kamar. Ada lukisan nudis banyak bidadari bersayap. Kepalanya meneleng heran.
Sejak kapan kamar di restoran Diego punya mural?
Trisha sontak terduduk tegak. Pandangannya liar menyapu sekitar. Tidak, ini bukan kamarnya! Ini ruangan yang asing. Lebih mirip hotel berbintang daripada kamar tidur nyaman di atas restoran pinggir pantai.
Hotel berbintang? Trisha mencelus. Spontan disibaknya selimut, seluruh doa terpanjatkan agar dia tak melihat tubuhnya sendiri yang telanjang.
“Ya Tuhan!” Trisha berucap syukur luar biasa melihat kaus milik Gaby masih menempel di tubuhnya.
Lalu, ini di mana? Apa Carlos membawanya menginap di hotel? Trisha turun pelan dari ranjang raksasa. Pelapis tempat tidurnya berpalet maskulin. Baru dia sadari kamar ini juga didominasi warna-warna gelap.
“Kamu sudah bangun?”
Trisha mengelus dada—kaget—dengan kehadiran Carlos. Kepala pria itu menyembul dari balik pintu.
“Sudah, barusan.”
“Bagus, kita sarapan di bawah. Kakek sudah menunggu.”
Trisha bengong. “Kakek? Kakek siapa?”
“Pria tua yang kamu temui di rumah Diego semalam.” Carlos masuk sambil menenteng sepasang sepatu cantik. “Maaf, aku tak bisa menemukan gaun dengan cepat. Kamu bisa gunakan ini untuk sarapan.”
“Carlos, tunggu, bukannya semalam kita pulang ke restoran Diego? Kenapa sekarang bisa ada di sini?”
Carlos menatap Trisha dengan sorot ganjil, seolah tanduk tumbuh di kepala gadis itu. “Kamu benar-benar tak ingat?”
Trisha menggeleng. Carlos menghembuskan napas panjang. “Terkadang aku iri dengan dirimu. Kamu sepertinya tak pernah harus menenggak obat tidur.”
“Sudah selesai dengan diagnosis medisku?” sahut Trisha ketus.
“Sebenarnya belum, tapi kita ditunggu kakek. Kujelaskan sambil jalan. Ayo?”
Trisha mengangguk. Tak ada gunanya berdebat. Dia bertanya pada Carlos letak kamar mandi dan segera cuci muka. Tak banyak buang waktu, sepuluh menit kemudian mereka sudah berjalan menyusuri koridor panjang di rumah besar itu.
“Kakek menjemput kita. Dia ingin mengajak sarapan bersama.”
“Menjemput?” Trisha merasakan keganjilan dari penjelasan Carlos. Suara keletuk sepatunya terhenti. “Menjemput dengan apa? Helikopter?”
Gadis itu hanya berniat melontarkan lelucon. Namun, jawaban Carlos membungkam apa pun kalimat yang hendak meluncur keluar dari bibir.
“Helikopter terlalu sulit mendarat di Alton Road. Kakek menjemput dengan limusin.”
Carlos yang sudah berjalan terpaksa menghentikan langkah. Dia memanggil Trisha tak sabar. “Trisha, ayo?”
“Tunggu.” Suara feminin itu setengah mencicit. Ekspresi wajahnya pias. “Maksudmu semalam aku naik mobil panjang yang ada di film-film itu?”
“Kita, bukan hanya kamu saja.” Carlos menjejeri langkah Trisha. “Kutebak kamu belum pernah naik limusin?”
Trisha menggeleng. Pandangannya setengah melamun. Dia berjalan secara otomatis tanpa tahu langkah. Hanya mengikuti arah yang dituju Carlos.
“Aku belum pernah naik limusin. Kalau terbang sudah pernah.”
“Ya, terbang dengan pesawat.”
“Bukan, terbang ke pulau mimpi maksudku.”
Carlos berhenti. Tawanya meledak seketika. “Astaga, kamu lucu sekali.”
“Terima kasih.” Trisha tak urung ikut tersenyum. Hatinya berdesir melihat tawa di wajah Carlos.
Apa pria itu sadar kerutan di mata kirinya lebih dalam dibanding mata kanan saat tersenyum? Trisha mengamati raut tampan Carlos.
Pria itu punya wajah Latin yang sangat tampan. Bibir penuh pria itu mulai membangkitkan imajinasi liar Trisha. Dia menelan ludah, mengingat kelembutan bibir itu saat mengecup pipinya. Lalu rambut tebal itu, Trisha harus menahan diri agar jari-jemarinya tak lancang menyusuri helaian tebal di kepala Carlos.
Sungguh membingungkan, renung Trisha. Selama di Indonesia, tak sedikit yang melakukan pendekatan padanya. Bahkan Bapak terang-terangan sering menjodohkan putri tunggalnya itu dengan murid-murid di padepokan. Tak ada satu pun yang menarik hatinya.