"Kamu tidak capek?" dengan tatapan mata penuh kasihan, Banyu memperhatikan Sinsin yang tampak lunglai.
"Aku bukannya sombong untuk bilang tidak. Seburuk apapun ini sudah tanggungjawabku. Aku tak boleh menyerah," Sinsin tersenyum simpul sambil membenarkan posisi rambutnya yang sedikit berantakan.
Banyu yang sandaran di sofa, bangkit duduk. Ada rasa tak tega melihat Sinsin. Dia merasakan betapa lelahnya profesi dia, meski kadang terobati dengan riuh gempita tepuk tangan. Ada rasa bangga yang tak ternilai dengan uang. Sekalipun memang dibalik itu faktor utamanya adalah selalu membuat grafik finansial yang terus menanjak. Tapi Sinsin, apa juga sama profesinya pernah terbayar dengan rasa bangga dan kesenangan yang berlimpah setelah permainan sex? Mungkin juga ada kepuasan tersendiri setelah mampu mempersembahkan kepuasan kepada kliennya, yang berujung pada saweran yang menumpuk. Hanya saja, Banyu menyadari diapun tak seloyal orang-orang yang ada dalam cerita fantasi itu yang mampu memindahkan saldo sebuah bank ke dalam sebuah ruangan tempatnya kencan setelah dipuaskan. Keuangan diapun terbatas nominalnya.
"Apa hadiah terbaik yang pernah kamu dapat dari pelangganmu?" tanya Banyu mendayu.
"Aku sadar kapasitasku belum layak mendapatkan yang terbaik," jawab Sinsin merendah.
"Kalo gitu, boleh aku larang kamu untuk tidak melayani konglomerat itu?"
Sinsin tersenyum. "Boleh," kilahnya sambil mengoreksi penampilannya didepan cermin besar itu.
"Aku harus bayar berapa sebagai ganti kontrakmu?"
"Nego saja dengan X-Bosi. Harga jual kontrakku dalam list agency dia palingan seharga N-MAX," santainya jawaban Sinsin membuat Banyu sedikit narik nafas.
"Aku hanya dapat lima jutaan, tambah bonus kalo customerku puas," lanjut Sinsin sembari memoles bibirnya dengan lipstick warna peach.
"Rupanya aku belum pantas melarangmu, Queen. Tapi aku akan berusaha untuk tidak lagi melihatmu diperbudak sex buat menghidupi masa depanmu," seperti ada sesuatu yang mendorong Banyu untuk semangat dan berharap.
"Aku juga ada rasa sama kamu, King. Aku lega tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi aku belum bisa berhenti menjajakan diri, selama kita benar-benar mapan untuk bekal hidup bersama. Penghasilan kamu juga belum bisa diandalkan. Aku bukan merendahkanmu, tapi emang kenyataannya kita belum ada yang sukses. Untuk sekedar makan, pakaian, okelah aku tidak serumit kaum highclass. Aku orang kampung ini koq. Miskin pula. Ga ribet. Tapi tempat tinggal, kita harus ada bayangan hidup nyaman didalamnya. Jadi kamu jangan takut kalo ingin berusaha ingin menikahiku. Berjuanglah dan buktikan kalo kamu mampu membuat kita bahagia," Sinsin berusaha memberikan feedback positif pada Banyu yang berharap. Iapun berjalan menghampiri Banyu. Lalu berdiri didepan Banyu yang masih duduk di sofa.
"Apa aku harus pakai tarif juga setiap hubungan sexku dengan perempuan-perempuan ga waras itu biar tabunganku cepat bengkak?" Banyu berdiri. Keduanya tepat berhadapan.
"Aku pergi dulu," tangan Sinsin menangkap kedua tangan Banyu yang mau memeluk pinggangnya. Sinsin menahannya agar keduanya jaga jarak. Matanya menatap mata Banyu.
"Jangan memberikan aku pelukan. Karena aku masih akan terlepas juga," bisik Sinsin. Bisikan yang justru membuat yang mendengarnya tergoda.
"Aku ingin sekali menjagamu!" Banyu sedikit mendengus.
"Tak ada yang perlu dijaga. Kita belum ada perjanjian saling memiliki. Bahkan perasaan, kamu masih bebas menentukan sendiri. Kita belum ada hak untuk saling melarang," bibir Sinsin segera mendarat di bibir Banyu.
Sebelum Banyu melumatnya, Sinsin sudah menariknya dan melepas pegangannya. Sinsin mengailkan tali tas tangannya ke bahu.
Perempuan berbusana cutout dress merah tua bermotif daun jati itu melangkahkan sepatu hak tingginya menuju pintu. Rambutnya yang sebahu tergerai bebas. Meninggalkan aroma memabukkan di kamar hotel itu.
Sinsin keluar kamar. Menyusuri koridor. Masuk lift. Turun dari lantai 9 menuju lobby. Ia akan bertemu assisten pribadi Aldamadi Fajroel. Orang itu menunggu di lobby lounge.
Sinsin segera selfie dan mengirim photo file ke nomor yang berkepentingan.
Tetiba di lobby lounge seseorang bermuka brewokan berdiri dari duduknya. Mukanya asiatik khas timur tengah. Melangkah menuju Sinsin yang berdiri menunggu.
"Quraesin Ilma Dausyah?" seseorang itu bertanya dengan sikap tegasnya.
Sinsin bertutur senyum mengangguk sedikit.
Orang itu langsung memanggil temannya yang masih duduk di tempatnya tadi sedang memperhatikan dia. Dia sepertinya orang lokal.
"Ok, kita langsung naik," kata orang lokal itu dengan mukanya yang nakal.
Sinsin dan kedua orang utusan Aldamadi Fajroel serta satu seorang security, segera menaiki lift menuju lantai teratas hotel luxury di area pusat bisnis Jakarta itu.
"Saya Waga, anak Kalimantan," kenal orang lokal itu mengajak ngobrol dengan mukanya yang mupeng.
"Iya Bang," Sinsin menyahut simpel.