Mushola lama, satu tempat yang sudah jarang digunakan untuk sholat berjama'ah. Tetapi, beberapa aktifitas mengkaji, sesekali dilakukan di sana pada siang hari. Lantaran belum hafal denah sekitar pesantren, kemarin Niar tak sengaja mendatangi mushola lama ketika sepertiga malam. Kejadian itu, sungguh membekas di ingatan Niar. Namun, dia belum sempat bercerita kepada siapapun.
Sejak kejadian di mushola lama, Niar sering terbawa lamunan. Tidak jarang, ia melangkah tanpa terkendali. Alam bawah sadar menuntun Niar menuju sisi gelap pesantren ini. Bayang-bayang alam tempat sosok Hijab Putih Tak Bermuka itu berasal.
Sekarang hari ke-tujuh, Niar menjadi santriwati Nurul Hikmah. Pesantren khusus wanita dari berbagai usia dan berbagai kota. Sepertiga malam, Niar terbangun lagi secara tiba-tiba. Suara berbisik semilir udara, bergetar sampai ke telinga. Suara-suara itu membangunkan Niar.
Kakinya melangkah. Niar mengambil wudhu sebentar. Gemercik air kran berakhir, seiring usai gerakan wudhu. Tak lama kemudian, ia menginjakkan kaki, memasuki koridor mengarah ke mushola yang baru dibangun satu bulan lalu. Ini berbeda dari mushola lama yang kemarin didatangi. Ini mushola baru dengan gaya interior modern.
Niar menapak di lantai yang dingin. Masih terngiang di telinga Niar, suara berbisik itu lagi.
Niar tak peduli. Ia bergegas sholat tahajud. Kemudian berdoa meminta perlindungan kepada Robb Yang Maha Kuasa atas segala godaan syetan.
"Kiranya, ini gangguan dari makhluk-Mu, maka singkirkanlah ya, Robb, hamba memohon perlindungan-Mu. Aamiin ...," pinta Niar di akhir doa. Suara-suara itu akhirnya menghilang. Kemudian Niar melanjutkan baca Al-Quran. Menyudahi dengan membaca doa lagi.
"Mudahkanlah, Hamba menjadi seorang penghafal Quran, Ya Robb, aamiin ...," pinta Niar. Ia berbenah mukena dan hendak keluar mushola, melewati teras yang remang-remang.
Tak diharapkan, suara-suara berbisik itu terdengar lagi. Kali ini muncul dari ujung serambi yang gelap di sana. Berbisik seperti suara orang yang sedang berdoa sangat khusyuk dan khidmat, namun terasa menggema sampai kedalaman telinga Niar.
"Siapa yang berdoa sesedih ini?" pikir Niar. Nada suara lirih, terisak dan penuh tangis. Menggugah Niar untuk menelusuri serambi yang remang-remang penerangannya di bawah lampu bohlam 10 watt. Cahaya itu tidak cukup menerangi teras musholla.
"Apakah kamu, yang bertemu denganku kemarin?" Niar memberikan diri. Sosok duduk dalam posisi tasyahud akhir. Sekujur tubuh tertutup mukena putih. Insting Niar mengatakan bahwa dia bukan manusia.
'Hijab Putih Tak Bermuka, apa itu kamu lagi?' pikir Niar.
"Kenapa, kamu menggangguku? Apa aku punya salah?" lanjut Niar. Tetapi sosok itu diam saja, tak menoleh sedikitpun.
Niar merasakan hawa dingin di tengkuk. Jam dinding tepat pukul 01.00 malam. Berdentang. Tiba-tiba sentuhan dingin mengejutkan Niar.
"Berbicara sama siapa?" sebuah suara dari arah sebelah.
"Astaghfirullah," sontak Niar, menoleh ke sebelah. Namun lega setelah tahu siapa yang datang.
Ternyata Ustadzah Fathonah tiba-tiba muncul. Dia salah seorang pengurus pesantren yang tinggal satu blok B dengan Niar. Tangannya dingin lantaran baru saja mengambil wudhu.
"Lho, kenapa?" tanya Ustadzah Fathonah kaget. Niar seolah menaruh telapak tangan di dada kiri. Masih dalam nuansa tegang, Niar menoleh ke arah posisi sesosok yang tadi duduk di sana. Beberapa langkah di hadapan Niar. Tetapi sekarang, tidak ada siapapun. Sosok hijab putih itu, tidak lagi nampak di sana.
"Ng ... nggak ada apa-apa, Mbak ...," jawab Niar agak ragu.
"Kamu santri baru?" sekedar memastikan, Ustadzah Fath, begitu panggilan singkatnya. Niar pun kenal.
"Sudah qiyamullail?" tanya Ustadzah Fath lagi. Niar mengangguk. Sebentar menoleh kanan kiri, Niar sedikit canggung.