Blurb
Lalu kami berhambur ke ruang tengah, ke taman dalam. Di sana aku berjumpa dengan Om Lis (saudara ayah yang paling muda) dan ayahku tercinta, yang lebih dahulu pulang ke Banyuwangi. Kami ngobrol banyak. Mereka menanyakan perjalananku dari Jogja, skripsiku, dan pengalaman baruku selama setahun ini menerjuni dunia modeling. Seru sekali.
Di tengah obrolan, tiba-tiba kakek pamit untuk istirahat ke kamarnya. Dia tergopoh memegang tongkat berkaki empatnya. Aku refleks memegang tangan dan punggungnya, kutuntun ia masuk ke kamarnya. Kakek segera membaringkan tubuhnya di kasur. Kubantu membetulkan letak bantal serta kakinya. Ia memandangku lekat. Tapi sinar matanya kosong.
Baru kali ini aku segugup ini melihat kakekku, yang juga baru kali ini selekat ini memandangku. Lalu ia memalingkan wajahnya. Ia memiringkan tubuh dan kepalanya membelakangiku. Air mataku menetes, entah kenapa. Entah karena rindu atau entah kenapa. Aku duduk di tepi ranjangnya. Memandang lekat tubuhnya. Ingatanku berputar ke tahun-tahun ketika aku di sini. Tubuh di depanku ini yang sering menggendong, memandikan, dan mengajakku naik sepeda keliling desa atau pergi ke rumah temannya. Tubuh ini juga yang memelukku saat tidur. Tubuh ini juga yang mengambil rapor SD-ku yang nilainya tak pernah berganti setiap caturwulannya: 1. Hingga pada akhirnya berubah di 2 caturwulan terakhir SD-ku dan membuat tubuh di depanku ini diam, ia marah kepadaku selama beberapa hari.