Irama guntur bergema menemani kilatan petir yang menari di kelabunya langit. Desau angin pun terdengar jelas di gendang telinga. Menggerakkan jilbab pelangi yang menutupi mahkotaku, seakan bercanda bersama dalam gurauan cuaca pancaroba yang tak bisa diterka.
Aku menikmati kedatangan awan kelam yang menggantung dan tampak mengancam di lantai sembilan kantorku ini. Gedung yang terletak di Jalan Tendean, Jakarta Selatan, ini memang tidak terlalu tinggi dibandingkan bangunan pencakar langit lainnya, tapi cukup untuk sekadar menjadi tempat menepi. Ya, menepi. Sebuah hobi baru yang memberiku ruang bernapas dalam kesendirian. Menikmati senja.
Meski kali ini aku tidak beruntung, sudah separuh hari matahari enggan memperlihatkan diri. Putihnya awan juga tampak lain hari ini, seperti susu yang dicampur kopi. Mungkin sebentar lagi rintik hujan akan membasuh debu-debu jalanan ibu kota, atau bisa jadi gumpalan-gumpalan awan yang terlihat semakin menghitam itu jadi pertanda akan ada hujan besar malam ini.
Aku masih berdiri mematung di tiang-tiang penyangga gedung. Sebenarnya aku termasuk orang yang takut berada di atas ketinggian, tapi untuk sebuah jiwa yang kalut, tentu hal itu tak berlaku. Aku merasa damai berada di sini. Meski harus sering diterpa angin bercampur partikel-partikel polusi udara Jakarta.
Kuteguk habis air mineral yang isinya hanya tinggal setengah botol saja. Sebuah alas kertas plastik, sisa kue kesukaan masih ada di dekat kakiku. Camilan manis sore hari jadi semacam kewajiban buat hatiku yang sedang berantakan. Tak banyak membantu, tapi sedikit memperbaiki mood yang mudah turun.
Ponsel di sakuku bergetar. Nama Maktuo muncul di layar.
“Diva, sedang apa, Nak? Masih di kantor?”
“Iya. Maktuo sudah sampai Jakarta?”
“Belum.” Terdengar desahan dari ujung telepon. “Diva, Maktuo baru saja dapat kabar. Ada mendoa di rumah kau, makanya Maktuo tunda dulu berangkat ke Jakarta. Maktuo lupa kalau hari ini acaranyo.”
Aku masih diam dan hanya menjawab dengan, “Hmm”.
“Sekalian mau bahas warisan.” Ada nada ragu di suara Maktuo.
“Pembagian warisan?” Botol plastik di tanganku remuk.
“Iyo, tapi kau tak usah khawatir. Kakak-kakak kau dan ninik mamak semua ada di sana.”
“Kenapa Diva nggak dikasih tahu? Kenapa secepat itu dibicarakannya? Belum juga lama Mama meninggal?”
“Sudah tiga bulan, Diva. Lagi pula, mungkin mereka ingin menjaga perasaan kau jadi sengaja tidak dilibatkan. Papamu juga ….” Aku langsung memutuskan sambungan telepon sebelum Maktuo melanjutkan pembicaraan.
“AAAARGH!” “Kalo lo mau lompat, mending sekarang. Gue bisa rekamin perjalanan lo dari atas sampe ke bawah. Gini-gini gue jago lho ambil gambar biar cuma pake hape.”
Hannah.