HIJRAH CINTA

Falcon Publishing
Chapter #3

Bab 3

Tiga puluh lima jam itu telah berlalu. Setelah dua kali transit di Dubai dan Rio de Janeiro, akhirnya aku tiba di Bandara International Ezeiza, Buenos Aires. Perjalanan yang lumayan meremukkan badan. Mataku berkunang-kunang. Persendian ngilu dan nyeri. Dan, rasa lapar yang empat jam lalu kutahan selama penerbangan kini makin menjadi-jadi.

Setelah meninggalkan antrean pemeriksaan paspor di ger- bang kedatangan turis asing, aku langsung menggamit barang di tempat pengambilan bagasi. Beruntungnya, nasib baik berpihak kepadaku malam ini. Dengan mulus, aku bisa melewati semua rangkaian prosesi kedatangan tanpa halangan. Biasanya saat pemeriksaan x-ray, alat-alat liputan, seperti kamera, baterai berikut pengisi dayanya, dan kabel, selalu menjadi incaran pertanyaan dari pihak keamanan. Apalagi aku membawa alat yang kapasitasnya cukup besar untuk bekal liputan. Identitas kewartawanan dan surat izin yang kupunya dari Kedutaan Argentina di Jakarta, kali ini berfungsi dengan baik.

Kubiarkan troli barang tergeletak begitu saja di samping bangku. Aku tahu sangat berisiko jika kedua troli itu tidak diawasi dengan cermat. Bisa runyam urusannya kehilangan satu dari keempat tas yang kubawa. Aku berusaha tak mengindahkan mata capai dan tubuh lelahku. Hawa dingin tengah malam mulai menyelimuti tubuh, entah karena udara kota ini atau memang pengaruh lapar yang kurasa. Lambungku terus berdenyut hingga zat asamnya menusuk sampai ke ulu hati. Jangan sampai penyakit maagku kambuh hingga menghentikan langkahku pada hari pertama bertugas. Perjalanan masih sangat panjang.

Aku berdoa siksaan ini akan segera berakhir setelah menemukan sosok yang kucari. Bola mataku kini bekerja lebih keras, berharap sang penyelamat segera mengetahui keberadaanku sesuai janji di surel yang kukirim. Kondisiku yang tidak begitu bugar membuat semua kegiatan yang terjadi di bandara ini terlihat buram dan baur. Bahkan untuk sekadar berkeliling dan menilai keelokan bandara ini pun aku tak sanggup.

***

Setengah jam sudah aku menunggu. Tanda kemunculan sang penyelamat yang fisiknya hanya kukenali lewat foto di gambar profil Blackberry itu tak jua muncul. Aku hampir bosan duduk di pelataran bandara, menyaksikan mobil-mobil lalu-lalang, tapi si penjemput tak juga datang.

Katanya angka kejahatan di sana tinggi sekali. Lo lihat film-filmnya. Gembong narkoba, komplotan mafia, pemerkosaan, perampokan.

Kata-kata Hannah sebelum aku berangkat kembali terngiang. Aku bergidik. Tetiba, rasa takut dan waswas mulai menjalari aliran darah hingga membuat jantungku berdetak lebih kencang.

Lihat selengkapnya