Saat ini aku sedang duduk di kantin bersama Rio, pacarku. Kami tengah menyantap bakso pada waktu istirahat kedua ini. Hari ini aku tidak meminta Bibi menyiapkan bekal karena aku ingin makan bersama Rio di kantin, menemaninya. Rio memang jarang sekali membawa bekal makanan ke sekolah.
“Bakso itu seger kalau masih anget kan, Ra?” ucap Rio sebelum dia memasukkan sesendok kuah bakso ke dalam mulutnya.
“Iya. Seger banget kan kuahnya. Badan jadi ikut anget,” ucapku sambil memeluk diri sendiri, seperti orang menghangatkan badan. Aku ingin sekali bilang kalau bukan hanya bakso hangat yang terasa segar. Tapi seseorang di hadapanku juga bisa membuatku merasa hangat dan segar. Tapi mana mungkin aku bisa mengatakan itu? Aku masih belum berani kalau harus menggombalnya terang-terangan seperti itu.
“Pelajaran hari ini berat banget tau, Ra,” kata Rio. Aku hafal sekali kalau Rio sudah berkata dengan nada seperti itu, pastilah dia sedang mengeluh.
“Oh, ya?”
Rio mengangguk. “Sejarah sama ilmu sosial. Itu kan literasi semua. Nggak kuat aku, Ra,” raut wajah Rio berubah lesu. Lucunya, aku ingin sekali mengusap-usap rambutnya itu. Tapi mana mungkin aku berani. Apalagi ini di sekolah.
Aku terkekeh kecil. “Iya, ya. Kamu pasti bakal betah kalo mapelnya Matematika. Kamu kan suka banget pelajaran itu.”
Rio terdiam sejenak sebelum berkata, "Tapi ada lagi yang lebih aku suka banget dari Matematika. Kamu belum tau kan?”
“Lho, emang apa yang lebih kamu suka dari Matematika?”
Tangan Rio terulur ke depan dan jari telunjuknya mengacung padaku. “Kamu,” ucapnya sambil tersenyum.
Sebenarnya aku sudah menduga. Tapi, diberitahu dengan jelas seperti itu tetap saja bisa membuat pipiku memanas. Aku hanya bisa mengerucutkan bibir dan menatap Rio malu-malu. “Apaan sih. Kamu suka gitu deh."
Rio malah tertawa melihatku. “Jangan malu gitu dong. Nanti kamu tambah imut.” Aku menundukkan wajahku dan hanya ber-hmm sebelum melanjutkan memakan bakso dengan kikuk. Rio masih tertawa dan kini tangannya mengusap rambutku sekilas.
Tentu saja mataku melebar karena kaget. Itu adalah hal yang ingin kulakukan sejak tadi. Aku tidak sanggup melakukannya, tapi Rio mampu. Aku harus mencobanya lain kali. Saat kami hanya sedang berdua saja.
Selanjutnya, akhirnya lama-kelamaan suasana berangsur normal karena Rio mencari topik pembicaraan yang lain, tentang aktivitas klub basketnya. Katanya, salah satu temannya ada yang jatuh saat latihan dan kakinya terluka. Kami juga membicarakan tentang film kartun yang sedang ramai di bioskop. Walaupun suasana dapat berubah-ubah, Rio tetap bisa mengembalikan situasi dan membuatku merasa nyaman kembali. Dia memang pacar terbaikku.
...
Sekarang aku sedang berada di kelas, mengikuti pelajaran terakhir hari ini. Pak Zain, selaku guru bahasa, sedang mencatat sesuatu di papan tulis putih. Lila, teman sebangkuku, sedang sibuk menyalin di buku tulisnya. Aku berhenti menyalin sejenak dan melihat ke sekeliling kelas. Semua orang sibuk menyalin tulisan Pak Zain ke buku catatan mereka. Hanya beberapa orang saja yang terlihat santai, termasuk aku. Entah kenapa aku terus memperhatikan sekitar dan sibuk melamun.
Saat kulihat jam di dinding, ternyata sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Kalau begitu, aku tidak perlu lanjut menyalin. Tinggal foto saja pakai ponsel lalu disalin saat di rumah. Ya, itu ide hebat!
“Kenapa, Ra? Ada yang salah?”
Lila di sebelahku berhenti sejenak dari kesibukannya, berbisik. Dia melihatku sedang memperhatikan papan tulis, tetapi tidak kunjung mencatat.
Aku menoleh ke Lila, berbisik, “Nggak kok. Gue cuma dapet ide.” Aku tersenyum senang.
Lila tampak bingung mendengarnya. “Ide apaan?”
“Gue mau ngefoto catatan itu,” aku menunjuk papan tulis, “biar bisa disalin di rumah.” Senyumku melebar.
“Astaga, Ara! Bego banget sih, lo,” ucap Lila yang mengagetkanku, suaranya lebih keras. Aku melirik Pak Zain takut-takut. Tapi untungnya, entah kenapa Pak Zain seperti tuli, terus fokus menulis di papan tulis. Mungkin karena waktu belajar sudah hampir habis, sia-sia saja kalau tulisannya tidak segera selesai. Beberapa teman lain sempat menoleh, kemudian kembali tak acuh.
Refleks, aku melirik tajam ke arah Lila, menyuruhnya memelankan suaranya.