Arata Riswani

thisofayna
Chapter #4

3# Pilihan

Aku membuka mata perlahan. Tapi nyawaku langsung terkumpul sepenuhnya saat aku tiba-tiba teringat suatu hal. Aku segera bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar.

"Kak!" seruku sambil terus berjalan menuju kamar kakak di samping kamarku.

Aku baru akan membuka pintu kamar kakak saat suara dari arah tangga menginterupsiku.

"Ra," suara Mama.

Aku menoleh. "Ma, Kak Ira udah pulang kan?"

"Udah." Mama berjalan mendekat. "Kamu udah salat Zuhur? Baru bangun tidur kan, salat dulu, gih."

Aku menggelengkan kepala. "Nggak, Ma. Ara mau ketemu kakak dulu." Kemudian aku langsung berbalik dan berniat membuka pintu kamar kakak.

"Tunggu, Ra," kata Mama.

Aku kembali menoleh ke arah Mama, tangan kananku sudah menyentuh kenop pintu. "Apa lagi, Ma?" tanyaku agak kesal.

"Jangan bangunin kakak dulu, Ra. Tadi kakakmu baru pulang habis Zuhur," kata Mama. "Biarin istirahat dulu."

"Emang kakak pulang jam berapa, Ma? Sekarang udah jam setengah dua."

"Sekitar jam satu tadi," jawab Mama.

Berarti Kak Ira baru tidur sekitar setengah jam saja. "Oh. Kakak udah salat Zuhur, Ma?"

"Udah, bareng sama temennya sebelum pulang. Pulang ke rumah langsung tidur, kecapekan kakakmu," jelas Mama. "Kamu salat Zuhur dulu, gih."

Aku sedikit kecewa karena harus menunda untuk bertemu dengan kakak. Tapi apa boleh buat. "Iya, Ma." Aku berjalan menuju kamar dengan lesu untuk melakukan salat.

Ya sudahlah. Aku menghabiskan sekitar sepuluh menit di kamar.

Sehabis salat Zuhur, aku kembali pergi ke kamar kakak.

Aku sekarang sedang berdiri di depan kamar kakak. Saat kucoba buka pintunya, ternyata tidak dikunci seperti biasa. Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Kak Ira terlihat lelap sekali tidurnya. Aku jadi tidak tega membangunkannya.

Tapi karena aku benar-benar butuh bantuan, aku akan membangunkannya sekarang.

"Kak," panggilku sambil menggoyangkan pelan bahunya. Tidak ada respons sama sekali.

"Kak!" panggilku lagi.

Sekali lagi tidak ada respons apa pun. Aku mencoba memanggilnya lagi. Barulah saat panggilan ketiga, kakak terbangun dan mengubah posisi tidurnya.

"Apa, Dek?" tanya Kak Ira. Suaranya lemah, terdengar seperti suara khas orang bangun tidur, matanya belum terbuka sepenuhnya. Aku jadi merasa sedikit bersalah telah membangunkannya. Kakak pasti amat lelah. Dia bahkan tidak melepas jilbabnya saat tidur. Tapi aku benar-benar membutuhkan bantuan Kak Ira saat ini.

"Aku butuh saran kakak," kataku.

"Saran apa?" Kak Ira menguap, mengubah posisinya menjadi duduk.

"Tadi temen-temenku chat di grup, mereka pengen ke mall besok sepulang sekolah," aku mulai bercerita, "di waktu yang sama, Rio chat aku supaya aku dateng ke latihan basketnya. Tapi aku baca chat Rio duluan dan aku bales aku bakal dateng.

"Dan sekarang, aku belum tau mau bales apa ke temen-temen," ucapku khawatir.

"Jadi kamu menyesal udah bales Rio duluan?"

"Iya ... eh, bukan gitu," jawabku kebingungan. "Kalo aja aku balesnya nggak langsung, aku bisa lebih mikir yang mana yang harus aku ikuti."

Kakak menatapku, sepertinya kantuknya sedikit-sedikit mulai berkurang. "Gini, kalo kamu baca duluan chat dari temen-temenmu, apa kamu juga bakal jawab iya?"

Aku menatap kakak, terdiam sebentar memikirkan jawaban. Tapi aku malah kebingungan harus menjawab apa. Pertanyaan kakak persis seperti yang sudah kupikirkan tadi.

Kak Ira menghela dan mengembuskan napasnya. "Menurut kakak, kamu nggak salah karena milih dateng ke acara pacarmu. Soalnya kan kamu nggak tau kalo ada chat dari temen-temenmu juga. Kamu tau sehabis udah bales chat-nya Rio. Kamu nggak salah.

"Kalo emang kamu nggak enak sama temen-temenmu, coba ngomong sama mereka kalo kamu ada keperluan lain, jujurlah sama mereka. Kakak yakin, kalau temen-temenmu itu orang baik, mereka pasti bisa ngerti kamu.

"Atau, kamu bilang ke Rio kalau kamu nggak jadi dateng karena mau pergi bareng temen-temenmu."

Mataku melebar seketika. "Nggak! Aku pengen dateng buat semangatin Rio," selaku. "Tapi, aku juga nggak mau ngecewain temen-temenku."

Kak Ira terdiam sebentar sebelum berkata, "Kamu nggak bisa pilih dua-duanya, Ra. Kamu harus pilih salah satu. Apa pun pilihanmu, pasti ada resikonya."

Aku mencerna kata-kata kakak. Walaupun agak ragu, aku cukup lega mendengar saran dan pendapat kakak.

"Aku bakal dateng ke latihannya Rio. Tapi, kalo mereka marah sama aku gimana?" tanyaku.

Kakak terdiam sejenak kemudian mengedikkan bahunya. "Ya udah, mau gimana lagi."

Lihat selengkapnya