Sepulang sekolah, aku, Lila, Sukma, Rere, dan Nisa, memutuskan untuk duduk-duduk di gazebo sekolah. Sebenarnya, gazebo selalu ramai ketika kami melewatinya. Biasanya, anak-anak kelas sebelas yang mengisi, tapi entah kenapa, sekarang sedang sepi. Jadi, kami memutuskan untuk mampir ke sini sebentar.
Aku mengambil tusukan batagor di plastik yang kubawa. Sambil memakannya, aku memikirkan bahwa ini mungkin kesempatan yang tepat untuk menanyai mereka.
Nisa di sampingku sedang memainkan ponselnya dengan tenang. Kulirik, ia tengah memainkan sebuah game klasik yang membosankan, di mana kita harus memosisikan benda-benda segi empat agar saling mengisi satu sama lain.
Aku menggigit batagorku lagi, melirik Lila dan Sukma yang tengah menonton sesuatu di ponsel. Wajah mereka antusias sambil sesekali saling menyeletuk dan tertawa. Entahlah menonton apa.
Sedangkan Rere, si tersangka utama—berdasarkan pengamatanku sejak tadi—sedang menunduk melihat ponselnya dengan raut serius.
Aku menelan batagorku sekali lagi, kemudian memberanikan diri.
"Guys, gue pengen nanya deh," kataku sambil menatapi mereka.
"Nanya apa?" Hanya Lila yang meresponku sambil mengangkat wajahnya, walaupun kemudian ia kembali melihat ke ponselnya.
"Gue—"
"Guys, sori gue duluan," kata Rere yang memotong ucapanku.
Ia kemudian berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan gazebo.
Nisa, Lila, dan Sukma mengangkat wajah mereka demi melihat Rere.
"Hati-hati, Re!" seru Lila.
"Take care!" seru Sukma.
Nisa hanya memandangi Rere yang menjauh, sedangkan aku mendadak kebingungan dengan situasi ini.
Hah, ini betulan ada apa-apa, ya?! Kenapa sih mereka menutupinya dariku?!
Ponselku berdenting, pertanda pesan masuk. Ada pesan dari Pak Trisni bahwa dia sudah sampai di dekat gerbang. Kebetulan sekali, aku merasa kesal sekali sekarang, ingin cepat-cepat pergi dari sini.
Aku memasukkan barang-barangku yang di luar ke dalam tas, lalu bangkit berdiri dan segera turun dari gazebo.
"Gue juga duluan," kataku dingin tanpa memandang mereka.
Aku mengambil langkah lebar-lebar, tak mau menoleh walau sedetik pun. Tapi samar-samar, aku bisa mendengar suara mereka.
"Eh, Ra! Kok buru-buru sih?" suara Lila.
"Ra, kenapa?" suara Sukma.
"Ra, kok main pergi aja sih?" suara Lila lagi.
"Woi, pacarnya Rio!"
Ah, entahlah, bodo amat. Sampai di gerbang, aku segera mendekati sebuah mobil putih, memasukinya.
...
"Ck. Nyebelin banget sih mereka! Emang nggak bisa ya, ngasih tahu Ara apa yang terjadi? Mereka mau rahasiain sesuatu dari Ara, ya?!"
Iya, aku mengeluarkan emosiku di dalam mobil sewaktu perjalanan pulang. Sengaja menggunakan kata ganti nama karena ada Pak Tri di sini.
Karena kesal, pasti wajahku berubah jadi jelek dan menyeramkan sekarang.
Pak Tri mengintip sekilas dari spion tengah di atas.
"Non Ara kalau marah-marah, nanti cantiknya ilang lho, Non," kata Pak Tri mencoba bergurau.
"Apaan sih, Pak!" Aku membuang muka ke arah jendela. Tapi kemudian, kembali menghadap depan.