Langit yang selama ini digambarkan indah, ceria, gembira, dengan beraneka warna, jingga, biru, kemerahan, kehijauan, kekuningan, atau apa pun, matahari yang diserupakan dengan manusia, sungai yang diibaratkan dengan berbagai umpama, laksana, seperti, mirip, dan sebagainya, lautan yang dibesar-besarkan dan diagung-agungkan hanya untuk menghibur hati seorang wanita, bintang-gemintang, dan rembulan, sejatinya muak kepada kalian. Langit tidaklah yang seindah kautulis di dalam buku kumalmu. Ia sejatinya ingin menggencet tubuhmu yang sama sekali tidak pernah kau rawat. Kemudian, remuklah tulang-tulangmu dan menggenanglah darahmu. Kalian tak ubahnya kucing yang terlindas oleh ban-ban mobilmu di tengah jalan. Langit tidak akan warna-warni tanpa perintah dari Tuhan. Sungai yang gambarkan bisa menyanyi dan menari dengan lekuk-lekuknya yang menawan, bisa saja suatu saat menyeret tubuhmu dan menelan jasadmu bulat-bulat. Lalu, kalian akan ditemukan tak bernyawa di akar-akar kayu. Begitu juga lautan. Kata siapa dia indah dengan laut birunya dan beraneka macam binatang di dalamnya. Ia bisa menjadi tsunami yang bisa melumat jasadmu dan orang-orang yang kamu cinta. Begitu juga dengan bintang-gemintang yang setiap malam selalu tumpah ruah bak intan permata. Ia adalah bola api yang luasnya melebihi lapangan sepak bola, yang sejatinya ingin menimpuk otakmu. Pun rembulan yang sejatinya lumpur hidup yang bisa-bisa menenggelamkan jasadmu hidup-hidup.
Sejatinya, manusia yang baru saja dilahirkan dari rahim ibunya sudah memikul rasa takut. Untuk mengurangi rasa takut terhadap kenyataan, maka manusia mulai berangan-angan, dan membesar-besarkan sesuatu. Seharusnya manusia tidak perlu takut terhadap benda-benda itu, dan tidak perlu merayunya dengan bahasa yang tidak mereka mengerti. Sebab, Tuhan menciptakan benda-benda tersebut bertujuan agar manusia mencari keberadaan-Nya melalui ciptaan-Nya. Tuhan hanya ingin manusia beriman bahwa Tuhan itu ada. Semuanya yang ada tidak berasal dari yang ada, melainkan dari yang tidak ada. Tuhan bernama tapi tidak bernama. Sama dengan manusia.
Di pekarangan luas tampak lima lelaki bocah sedang bermain petak umpet. Salah satu dari mereka bertugas untuk menutup mata di sebuah batang pohon mangga, sementara teman-temannya bersembunyi di berbagai tempat. Di mana pun itu, yang penting bisa dijadikan sebagai tempat persembunyian yang aman agar tidak dapat ditemukan oleh yang bertugas mencari. Bocah yang menutup mata itu menghitung dari angka satu sampai sepuluh. Masih di pekarangan itu juga, tampak pula empat bocah perempuan sedang bermain pindan. Mereka terlihat sangat asyik sekali bermain. Langit siang begitu cerah dan berwarna kebiruan. Di balik selembar awan sebuah pesawat melintas di ketinggian. Tapi, suara desing mesinnya masih terdengar. Setelah itu, seekor burung elang melintas di belakangnya. Matahari siang itu tidak begitu terik karena tertutup oleh mendung yang berarak-arak dari kaki Gunung Bromo dan Argopuro. Angin bersiul dengan pelan, sehingga hawa terasa sejuk. Tidak seperti kemarin-kemarin. Hujan belum memberi tanda-tanda mau datang. Meskipun selama ini mendung sering bertandang, namun hujan tidak turun. Bocah-bocah itu masih asyik bermain hingga menjelang salat Ashar nanti.
“Kamu kemarin dapat nilai berapa, Nilam?” tanya salah satu bocah perempuan yang kebagian melempar batu pindan ke kotak yang dikorek di tanah pekarangan itu. Batu pindannya tepat mengenai kotak.
“Nilai bahasa Indonesia dapat nilai sembilan puluh. Kalau kamu, Yu?” jawab bocah perempuan berkepang dua yang berdiri di tepi kotak untuk menunggu giliran.
“Kalau nilai Matematikaku kemarin dapat seratus.”
“Berarti ujian kenaikan kelas tahun ini kamu akan kembali sebagai bintang kelas Yu?” ujar temannya yang berkepang dua.
“Iya dong!” bocah perempuan berambut panjang itu gantian berdiri di tepi kotak.
“Ternyata jadi Ayu enak ya!” seru salah seorang temannya yang memakai baju pink dengan rambut diikat tali pita. “Dapat bintang kelas disayang sama ayah dan bundanya. Beda dengan aku. Kalau dapat nilai lima puluh dimarahi.”
“Makanya kamu jangan main terus, Vin. Sesudah pulang sekolah kerjain dulu kalau ada PR. Malam harinya, sehabis mengaji, belajar untuk besok hari,” timpal salah seorang temannya yang lagi yang tubuhnya paling tinggi diantara ketiga temannya yang lain.
“Kamu sendiri dapat nilai berapa, Nay?” seru Ayu bertanya.
“Naya kemarin dapat nilai tiga puluh!”
“Ndak, ndak. Siapa bilang kalau aku dapat nilai tiga puluh?” bocah yang paling tinggi menyanggah seraya mengibar-ngibarkan tangannya. Malu dia. Dia hendak mencubit bocah yang memakai baju pink. “Jangan bilang ke siapa-siapa kalau aku dapat nilai segitu!”
“Sudahlah, Nay. Jangan malu. Mending kita jujur daripada membohongi diri sendiri,” kata bocah yang bernama Ayu sambil meloncat-loncat dengan satu kaki melewati kotak pindan.
“Memangnya siapa yang dapat nilai tiga puluh?! Raisa yang bohong bukan aku!” sengak bocah yang dipanggil dengan nama Naya itu. Urat lehernya tegang. Mukanya merah padam mirip kepiting rebus. Ia tidak diterima.
“Siapa yang bohong?! Bohong itu dosa tahu?!” bocah yang memakai baju pink tak kalah sengit. Ia melemparkan batu pindan ke tanah.
“Kalau kamu tidak berbohong, ngapain bilang kalau aku dapat nilai tiga puluh?!” Bocah bernama Naya semakin tidak terima dan ia menghampiri temannya itu hendak menjatuhkannya ke tanah.
“Memang kamu dapat nilai tiga puluh. Aku yang lihat sendiri di lembaran ulanganmu!” Bocah berbaju pink berkacak pinggang.
“Sudah. Aku tidak mau main sama kalian! Aku mau pulang!” bocah itu pergi meninggalkan pekarangan. Permainan pun bubar.
“Kami juga mau pulang,” kata bocah yang bernama Ayu seraya melemparkan batu pecahan genting ke tanah.
Setali tiga uang, bocah yang bernama Nilam ikutan pulang bersama Ayu. Bocah berbaju pink itu ditinggal sendirian karena akibat kejujurannya. Teman-temannya meninggalkannya. Kadang seseorang yang berkata maupun yang berbuat jujur tidak disukai oleh mereka yang takut untuk berbuat jujur. Bila hidup terlalu jujur maka mereka tidak akan meraih kesuksesan, atau akan ditinggal oleh orang-orang yang selama ini dekat dengan dirinya. Menurut mereka kejujuran tidak akan membuat seseorang cepat kaya maupun sukses. Mereka akan jauh tertinggal dan ditinggalkan.
Beberapa jurus kemudian, muncul seorang gadis dewasa yang mengendarai sepeda motor matik. Gadis itu mengenakan kemeja lengan panjang cewek dan rok panjang, juga berjilbab. Ia melihat bocah berbaju pink itu duduk seorang diri di atas sebatang kayu yang habis ditebang dan dibiarkan begitu saja di pekarangan rumah itu sampai jamuran. Gadis itu mematikan mesin motornya, dan memarkirkannya. Ia lalu turun dan menghampiri bocah itu.
“Raisa! Kenapa kamu duduk sendirian? Di mana teman-temanmu?” Gadis itu mengulum senyum dan duduk di sebelahnya.