Hikayat Renjana

Khairul Azzam El Maliky
Chapter #2

2.Pemilik Mata Bening

SMEA Tunas Bangsa merupakan sekolah swasta tertua di kota. Letaknya berada di pinggiran kota. Dibangun di atas bekas perkebunan tebu milik perusahaan gula. Sedari dulu, sekolah ini dikenal sebagai sekolah anak-anak ‘buangan’ dari sekolah negeri dengan berbagai kasus. Entah kasus karena sering membolos, kasus sering melawan guru, kasus tawuran antar pelajar, kasus sering melanggar peraturan sekolah, atau karena nilainya tidak diterima oleh sekolah lain, sehingga ‘terpaksa’ atau sukarela mendaftar di sekolah ini. Dan dulu, sebelum pemerintah menerapkan sebuah kebijakan, sekolah ini memiliki SMP. Tapi, setelah kebijakan dari pemerintah pusat diterapkan, siswanya hanya tinggal kelas 9 saja. Setelah itu, yayasan pun membekukan jenjang SMP. Rupanya, sekolah ini sangat cocok buat siswa nakal yang sejak di sekolah lamanya memiliki penyakit kambuhan dengan sering membolos pada sebelum jam pelajaran usai. Mereka pun juga sering keluar dari sekolah dengan menyelonong lewat pagar pekarangan belakangan sekolah yang terbuat dari anyaman bambu.

Tanpa melalui tes lisan maupun tes tertulis, Renjana diterima langsung oleh kepala sekolah. Bahkan wajah kepala sekolah berseri-seri karena pada tahun ini sekolahnya tidak jadi dibekukan oleh kepala yayasan. Yah, meski siswa yang mendaftar tidak sampai memenuhi kuota, atau paling tidak mereka juga tidak sampai merumahkan guru. Hanya cukup dengan melihat NEM pada ijazah milik Renjana, Pak Kepala Sekolah tersenyum puas. Setelah membayar beberapa lembar uang ini dan itu, termasuk seragam sekolah dan buku-buku paket, Renjana dan ibunya mohon undur diri dulu.

“Kenapa kamu, Nduk? Sepertinya kamu tidak suka mendaftar di sekolah ini,” ibunya mencoba bertanya kepada Renjana. Persis seperti apa yang dilihat oleh ibunya, kelihatannya Renjana memang tidak suka kalau mendaftar di sekolah ini.

“Tidak apa-apa, Bu. Nanti Renjana akan menyesuaikan dan beradaptasi dengan makhluk-makhluk jahil yang ada di sini. Dan semoga saja, Renjana tidak ketemu dengan makhluk yang bakal membuat Renjana sengsara,” gadis itu berusaha untuk menutupi kekecewaannya di hadapan sang ibu.

“Ya semoga saja kamu betah sekolah di sini.” Ibunya menerima helm dari putrinya itu. Sementara Renjana menghidupkan mesin sepeda motor matiknya.

Sebenarnya, Renjana masih ragu untuk bisa menerima dengan lapang kalau dirinya harus melanjutkan pendidikannya di sekolah tua ini. Selain kualitas para gurunya, yang diragukan adalah kualitas siswa-siswinya. Sebab sedari dulu, sekolah ini sama sekali tidak pernah memiliki prestasi antar sekolah baik tingkat kota maupun tingkat nasional. Jangankan untuk mengikutsertakan siswanya dalam lomba bergengsi seperti olimpiade, memenangi lomba gerak jalan saja masih jauh ketinggalan dengan sekolah lain. Lalu, apa yang akan diberikan oleh guru kepada anak didiknya selama menimba ilmu di sini? Akankah sekolah ini terus-menerus mengalamai kemerosotan dalam hal prestasi? Akankah sekolah ini menjadi sekolah yang paling terbelakang sehingga mengalami kekurangan siswa?

“Setahu Renjana, Bu, sekolah itu sejak dulu menjadi sekolahan yang hanya dihuni oleh anak-anak bandel yang di sekolah lamanya suka membolos, suka tawaran, suka melawan guru, suka melanggar tata tertib sekolah, dan lain-lain. Bahkan sampai sekarang, siswa dan siswinya masih bebas merokok dan berpacaran. Apakah Renjana akan ikut-ikutan sama seperti mereka?” Renjana bertanya kepada ibunya seraya menyetir motor. Saat itu, mereka berdua tengah berada di sebuah jalanan beraspal yang tampak lengang. Di kanan dan kiri jalan hanya ada sawah yang terbentang. Sejauh mata memandang hanya ada padang tumbuhan ilalang dan tebu yang sudah meninggi. Jarang orang yang lewat di jalan ini.

“Teman-temanmu yang lain biarkan terbiasa dengan kebiasaan lamanya. Karena kebiasaan lama memang sukar untuk dirubah. Manusia tidak serta merta menjadi orang yang baik. Untuk menjadi orang baik, terkadang manusia memang harus belajar dari masa lalunya yang kelam. Kecuali jika mereka tidak mau belajar dari kesalahannya, memang susah untuk menjadi manusia yang lebih baik,” jawab ibunya beretorika.

“Apakah setiap orang baik berasal dari orang yang sebelumnya jahat, Bu?” Renjana menyalip sebuah sepeda motor yang berjalan lambat di depannya. Dan saat itu, jalanan sudah ramai. Berbagai kendaraan berlalu-lalang. Klakson saling salak-menyalak. Kliningan sepeda saling bersahut-sahutan.

“Semua orang yang hidupnya menjadi baik dulunya mereka memang orang jahat. Tapi, mereka menyadari bahwa jalan hidupnya selama ini salah. Akhirnya mereka berusaha untuk mencari apa yang salah di dalam dirinya. Lalu, perlahan-lahan mereka ubah. Yah meski kebanyakan orang menganggapnya sebelah mata. Tapi, jika orang itu ingin berubah sehingga menjadi orang yang pantas di hadapan Tuhan, dia pasti akan menjadi orang yang baik, dan selamanya menjadi orang baik. Di hadapan orang lain dia tidak akan menganggap dirinya lebih baik karena sebelumnya sudah pernah berada di posisi orang tersebut,” tutur ibunya dengan panjang lebar.

Renjana manggut-manggut.

“Begitu juga dengan kamu. Biarkan orang-orang di sekitarmu bukan orang baik, namun kamu harus selalu belajar untuk menjadi orang baik. Meskipun orang-orang di sekitarmu tidak suka, menganggapmu sok suci, sok alim, atau apa pun, asalkan kamu jangan merasa dirimu lebih baik dari mereka. Selalu beranggaplah bahwa kamu pernah berada di posisi mereka,” pesan ibunya.

Renjana kembali manggut-manggut.

Mereka sudah sampai di sebuah jalan masuk ke rumah mereka. Setiap melewati rumah tetangga, mereka menyapa dengan ramah. Sebuah budaya kesopanan yang tidak mungkin dapat kita temukan di pelosok dunia mana pun. Dan satu-satunya hanya ada di Jawa. Bahkan di luar Jawa pun tidak ada. Itulah kenapa sejak dahulu kala, Jawa selalu disebut-sebut sebagai asal-muasal peradaban manusia. Bukan Arab, bukan Mesir, juga bukan Amerika apalagi Cina. Namun di sini, kita tidak akan membicarakan soal kesukuan, melainkan tata krama Jawa yang sudah ada sejak zaman antah-berantah.

“Habis pulang dari mana, Mbak Yu?” seorang ibu-ibu paro baya bertubuh gendut, perut buncit, dan berambut ikal. Ia memakai kaos oblos warna abu-abu dipadu dengan kain sampir batik. Kalau lagi berjalan ia macam orang yang selalu kekenyangan. Orang-orang memanggilnya dengan nama Yu Niwa.

“Ini, Dik Niwa, habis dari nganterin Renjana mendaftar di SMA.”

“Memangnya Renjana diterima di sekolah mana, Mbak Yu?” Ia memasang muka kepo.

Lihat selengkapnya