Sebuah desa kecil di pojok Distrik Agdam, Azerbaijan. 1989 M.
Belasan tahun sebelumnya.
Seorang anak berlarian mengambilkan anak panah milik sang ayah. Rumput hijau sepanjang langkahnya bergemeresik, bergesekan dengan sandal mungil yang anak itu malas mengangkatnya tinggi-tinggi. Mungkin ia senang dengan embun-embun di pucuk ribuan helai daun itu yang basah meresapi pori-pori kaki.
Lantas mencabut beberapa anak panah dari target kayu. Berlarian lagi –dengan langkah yang tidak di angkat pula, mendekat ke samping ayahnya. Sang ayah tersenyum, membantu anak laki-lakinya itu memasangkan anak panah pada tali busur. Anak itu menariknya perlahan. Bergetar. Melepaskannya. Anak panah itu menancap lemah di lempengan kayu. Terkulai. Ia menyengir.
Panah berikutnya di pasang. Anak itu mencoba untuk tidak bergetar lagi.
“Kau luruskan tangan, Ottmar. Pandang targetmu, anggap ia buruanmu hari ini. Anggap kalau kau tidak mendapatkannya, tidak ada jatah makan untukmu hari ini.”
Ottmar mengangguk pelan. Memfokuskan pandangan. Membayangkan seekor kijang di hadapannya. Sayang, pandangan anak itu melalaikannya dari posisi anak panah yang benar. Ketika terlepas, satu bagian dari anak panah itu menggores tangannya.
“Ahh..!”
Ottmar melepaskan busur, lantas memegangi tangannya yang membentuk garis merah segar. Meringis perih. Ayah sigap menyapukan sehelai kain ke atas luka itu. Tersenyum.
“Lihatlah, Ottmar. Walaupun berdarah, kau telah mendapatkan hewan buruanmu.”
Ottmar mengangkat pandangan. Matanya membulat. Benar, anak panah itu menancap gagah di bagian tengah kayu yang berwarna bulat merah. Ottmar bersorak senang, menyibak anak rambutnya yang nakal menutupi mata. Berlarian mengambil anak panah. Lupa akan perih di tangannya.
“Ottmar ingin ahli memanah seperti ayah.” Ottmar berkata tiba-tiba ketika makan malam, mengelus pelan kain tipis yang membalut bekas lukanya. Ayah menghentikan suapan.
“Kau ingin jadi seperti ayah? Ata kimi olmaq istəmirəm, jangan ingin jadi seperti ayah.” Lantas tertawa kecil. Meletakkan sendok. Membalas tatapan terheran Ottmar.
“Tapi jadilah melebihi ayah.”
Ibu yang dari tadi sibuk mengunyah dolma[1] tersenyum. Mengangguk berulang, menahan tawa. Ottmar menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Atan haqlidir, benar apa yang di katakan ayahmu. Bercita-citalah setinggi langit. Kalau tak sampai pun, kau akan jatuh di antara bintang-bintang. Bercita-citalah untuk melebihi ayah, jika tak sampai pun kau akan menjadi sepertinya.”
Kali ini Ottmar mengangguk-angguk paham. Benar juga apa yang di katakan ibu. Ayah pura-pura tidak mendengar, sibuk dengan dolma daging di piringnya. Ottmar kembali menyendok sup Kufta bosbash[2], menyeruputnya perlahan.
***
“ TIGA KALII!!” Ottmar berteriak kencang-kencang. Membuat burung-burung yang bercengkerama di pohon sekitar lapangan berumput hijau mencicit kaget, terbang menjauh. Ottmar tertawa sambil berkacak pinggang memperhatikan tiga anak panahnya mengenai sasaran tengah. Untuk pemula sepertinya, tiga kali itu tidak bisa di katakan kebetulan lagi.
“ Bagus, Ottmar.”
Ayah yang tiba-tiba datang berkacang pinggang, tersenyum melihat target panah. Ottmar menoleh, tersenyum lebar, mengusap peluh di dahinya.