Agdam, Azerbaijan. Akhir 1989 M.
Pagi.
Cahaya matahari menyelinap masuk ke dalam hutan. Melewati celah dedaunan yang basah terbungkus embun semalam. Ayah menyibak dedaunan pohon yang baru tumbuh setinggi kepala. Ottmar mengikuti dari belakang dengan membawa busur dan beberapa anak panah. Berjalan dengan hati-hati. Ayah menggunakan kostum baju cokelat di rangkap dengan rompi kulit berwarna senada, dan celana panjang cokelat gelap yang ujungnya di masukkan ke dalam sepatu bot yang berwarna cokelat pula. Ottmar mengenakan kostum yang sama, kostum berburu. Menuju sarang kijang yang terletak di tengah hutan lepas. Latihan target bergerak baru saja akan di mulai.
Tidak lama. Sarang itu sudah terlihat dari kejauhan. Ayah memberi isyarat pada Ottmar agar tetap tenang. Ayah melangkah dengan sedikit berjinjit, mengurangi suara gemeretak ranting kering yang terinjak. Ottmar menirukan hal yang sama. Setelah jarak di rasa cukup dekat, ayah bersembunyi di balik rumpun pepohonan muda. Memberi isyarat agar Ottmar menyiapkan anak panahnya. Ayah dahulu yang akan menembak.
Kawanan kijang di hadapan mereka sedang asyik memamah rerumputan. Tidak menyadari kedatangan mereka berdua. Ayah menarik anak panah perlahan, membidik salah satu kijang yang sedang lengah. Melepas tembakan sekuat tenaga. Ottmar menahan nafas menatap kijang-kijang itu, tidak mau melewatkan momen kehebatan memanah ayah sedetik pun.
Seekor kijang langsung menggelepar setelah sebatang anak panah menancap kuat di lehernya. Sontak kawanan kijang lainnya kocar-kacir menyelamatkan diri. Ayah dengan cepat memasang satu anak panah lagi. Melepaskannya lebih cepat. Seekor kijang kembali tumbang. Darah membuncah dari paha belakangnya. Ayah tersenyum. Lumayan. Dua ekor kijang dalam waktu kurang dari lima detik. Ottmar memekik tertahan. Pertunjukan hebat !
Ayah segera mendekati dua ekor kijang yang terbaring di atas rumput kekuningan itu, mencabut anak panah. Ottmar hanya menonton ayah yang sigap mengikatkan tali kuat-kuat pada kedua kaki dan tangan hewan buruannya. Kijang-kijang lainnya sudah hilang entah ke mana.
“Tələsmək, lekas, nak. Setelah ini giliranmu, kita menuju sarang kijang yang lain.” Ayah menyeret dua ekor kijang tadi menuju tempat teduh.
“ Kau tunggu di sini saja. Ayah mencari kayu dulu untuk mengangkut kijang-kijang ini ke rumah.” Sambung ayah setelah meletakkan dua kijang itu di bawah pohon rindang.
Ottmar mengangguk berulang. Lantas duduk di samping kijang sambil menekuk lutut. Memandangi punggung ayah sampai hilang di balik dedaunan lebat pohon-pohon setinggi kepala.
Suasana hutan sepi. Mungkin hanya mereka berdua saja manusia yang ada di situ. Ottmar memandangi hutan sekeliling. Burung-burung berkicau riang di antara ranting pepohonan, terlihat cantik berwarna-warni. Ottmar tersenyum, ternyata tumbuhan yang hidup di sekitarnya juga berwarna-warni seperti burung-burung itu. Ada yang hijau, merah, oranye, kuning cerah, hingga cokelat kehitaman. Cokelat kehitaman?
Eh, tapi warna yang itu bukan kehitaman. Itu garis hitam.
Ottmar memperhatikan lebih jelas. Garis hitam itu banyak. Astaga, jangan sampai aku salah lihat. Garis itu bergerak, melangkah. Eh?
HARIMAU !
Ottmar mundur teratur. Jantungnya berdegup kencang. Makhluk besar itu menatap tajam Ottmar yang sudah semakin mepet dengan pokok pohon. Menyeringai mengerikan, memamerkan taring besar-besar dan tajam. Melangkah perlahan. Ottmar kalap, tangannya meraba-raba tanah saking gugupnya. Panah, mana panah?! Oh tuhan, di saat genting seperti ini panah itu malah terbawa oleh ayah. Ottmar berusaha mencari apa saja yang bisa di jadikan senjata. Matanya tertumpu pada sebatang ranting pohon, tak jauh dari tempatnya duduk bertinggung gemetaran. Cukup besar memang. Tapi apa gunanya ranting itu?
Harimau itu terus melangkah perlahan. Menggeram melihat Ottmar yang malah mengacungkan ranting besar. Ottmar semakin kalut. Tenggorokannya tercekat. Ia tahu harimau itu sebenarnya menginginkan tangkapannya. Tapi, apalah dayanya sekarang? Ia sudah melakukan kesalahan besar. Harimau itu tahu kalau ia berusaha melawan.
Ottmar terus mengacungkan dahan di tangan. Pikirannya kacau. Antara melarikan diri, melawan, juga berharap ayah atau siapapun datang menolongnya. Keringat sebesar-besar jagung membasahi kening dan baju. Ottmar tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau Harimau itu berhasil menerkamnya.
Sang Harimau tinggal sepelemparan batu lagi darinya. Tak ada jalan lain. Ia harus melawan. Ottmar menyabet-nyabet angin dengan dahan kayu. Tak mempan. Perhatiannya tertuju pada dua ekor kijang yang baru saja mereka tangkap. Seekor kijang ia lemparkan begitu saja tak jauh dari makhluk besar itu. Ayolah, makan saja kijang itu. Sang harimau malah menggeram. Menyeringai tajam. Berlari menuju kijang yang tergeletak. Ottmar menghela nafas lega. Bersyukur.
Tapi, tunggu dulu. Harimau melewati kijang di hadapannya. Oh, tidak. Hewan buas itu sekarang malah berlari kencang ke arahnya. Ottmar kalap. Makhluk itu sudah melompat buas, menerjang Ottmar yang berusaha menahan dengan dahan kayu.
KRAAKK..!!
Badan Ottmar bergetar hebat. Tubuhnya ambruk ke samping menahan hantaman cakar-cakar mengerikan. Ottmar tidak mengaduh sedikit pun. Rasa takut itu melupakan segalanya. Harimau itu kembali bergerak, hendak melancarkan serangan terakhir. Membuka mulut lebar-lebar, memperlihatkan taring-taring sebesar jari. Ya Tuhan, tolonglah. Dada Ottmar naik turun tak beraturan. Peluh membanjiri sekujur tubuh. Pandangannya gelap. Bau anyir kematian tercium jelas dari mulut harimau yang tinggal sehasta lagi dari wajahnya. Ottmar setengah sadar, matanya berkunang-kunang.
Saat Ottmar sudah hampir benar-benar kehilangan kesadaran, saat harimau itu sudah mulai mengatupkan rahang kuatnya, saat tak ada satu pun makhluk yang menyaksikan kengerian itu.
SHUTT..!!
Saat itulah sebuah anak panah meluncur tajam, membelah angin, saat taring-taring sang harimau tinggal satu jengkal dari kepala Ottmar. menembus tepat di mata kanan harimau.