HILANG

rizky al-faruqi
Chapter #4

Qara Yanvar

Azerbaijan, Januari, 1990 M.

“ Kau mau berangkat memanah lagi Ott?” ayah melirik Ottmar yang sudah bersiap-siap dengan busur di tangan dan beberapa anak panah. Ottmar tersenyum, mengangguk. Sepertinya ia ingin menjadi Kabil Bora seperti kakek juga.

“ Sudah sarapan?” ayah kembali bertanya. Masih sibuk dengan sebatang yatagan[1] yang sedikit menghitam. Terlihat sudah lama sekali tidak di pakai.

“ Sudah. Tadi ibu menyiapkan Dovga[2]. Ayah sudah sarapan?” Ottmar balik bertanya. Memperhatikan yatagan di tangan ayah. Ayah menggeleng pelan. Mengambil minyak zaitun, mengoleskannya pelan di permukaan yang berwarna semu hitam.

“ Itu milik siapa, yah?” Ottmar urung melangkah, berjongkok di sebelah ayah yang sibuk menggosok yatagan dengan sehelai kain kasar.

“ Milik ayah, sudah lama sekali tidak di pakai. Ini senjata peninggalan kakek selain busur panah.”

“ Ayah mau menggunakannya?” tanya Ottmar lagi.

“ Tidak, barusan ayah membersihkan gudang peralatan. Tak sengaja menemukan yatagan ini tergantung di tembok.” Jawab ayah sambil memasukkan kembali benda itu ke dalam sarung kayu berlapis kulit. Ia sengaja menyimpannya jauh-jauh, tak ingin teringat sang ayah kembali. Mata-mata itu membunuhnya dengan benda yang sama. Ayah menghela nafas, beranjak berdiri.

“ Berangkatlah, Ott. Oh ya, hati-hati. Kalau ada harimau lagi jangan segan-segan menembak matanya ya.” Ujar ayah sambil merendakan suara agar tak terdengar ibu, tertawa. Ottmar menyengir.

“ Asal ayah tidak membawa panahnya saja.” Sambung Ottmar ikut tertawa. Ayah mengangkat alis, tergelak. Ottmar mencium tangan ayah dan beranjak menuju tempat latihan. Ayah memandangi punggung putranya yang semakin menjauh itu sambil tersenyum.

“ Assalamu’alaikum, Arash.” Seseorang datang tiba-tiba, membuyarkan lamunan ayah. Ayah menoleh, mengenalinya. Lantas menjawab salam.

“ Alp? Bura ne gelir, ada apa datang kemari?” ayah menjabat tangan Alp, mempersilakan duduk di dalam. Alp membuka tangan di depan dada. Menolak halus.

“ Tak usah, Arash. Yalnis qisaca, hanya sebentar, setelah ini saya harus segera pergi lagi.” Jawab Alp sambil tersenyum. “ bagaimana kabar, sobat? Kelihatannya kau masih sangat bugar dengan umur segini.” Lanjutnya.

Ayah tertawa, meluruskan pinggang. “ begitulah, Alp. Mungkin sebab latihan dulu. Kau juga terlihat masih bugar.”

Alp ikut tertawa, memberi isyarat kalau ia sudah sering sakit tulang, menepuk-nepuk pinggang.

“ Sepertinya lebih baik duduk di dalam. Tidak enak, sudah jarang datang tak di beri duduk pula.” Ajak ayah sambil kembali tertawa, mempersilakan masuk. Alp tersenyum, menurut saja.

“ Sebenarnya ada apa datang tiba-tiba?” ayah membuka percakapan begitu duduk di sofa ruang tamu. Alp memperbaiki posisi duduk.

“ Begini, Rash. Sebelumnya aku ingin membicarakan satu hal yang sangat penting. Kau tahu bukan, negara kita sejak lima puluh empat tahun lalu sudah menjadi bagian dari negara Serikat Uni Soviet. Sejak itu pula banyak orang dari kita yang mulai menginginkan untuk menjadi negara Azerbaijan sendiri dengan penduduk mayoritas muslim. Mereka kelihatannya sudah tidak tahan lagi dengan pemerintahan rezim komunis. Orang-orang kita, orang Azeri, sejak beberapa tahun yang lalu menyusun rencana pengajuan permintaan untuk memisahkan diri menjadi negara sendiri yang tidak terikat dengan pemerintahan komunis Uni Soviet.”

Penjelasan Alp terhenti, ibu datang dari dalam dengan membawa nampan berisi sarbet[3] dan tandoor[4] bertabur keju putih. Alp membantu ayah menurunkan makanan.

“ Nah, karena di tambah beberapa masalah lagi seperti klaim wilayah oleh Armenia dan masalah-masalah lainnya, bulan Desember kemarin orang-orang Azeri merencanakan awal tahun ini akan ada pergerakan menuntut kemerdekaan.” Lanjut Alp setelah ibu kembali ke dalam.

“ Hah, itu akan sangat berbahaya Alp.” Ayah meletakkan cangkirnya. “ lagi pula untuk apa kita menuntut kemerdekaan, bukannya kehidupan dan agama kita tidak pernah di ganggu oleh mereka?” lanjut ayah memprotes.

“ Bukan itu masalahnya, Rash. Kita ini negara kecil dengan penduduk mayoritas muslim. Mereka itu negara besar dengan paham komunis. Lama kelamaan pasti mereka akan memaksa semua negara yang berada di bawahnya untuk mengikuti paham yang sama, dan itu sangat tidak di harapkan oleh orang-orang Azeri. Dan juga rasa-rasanya sudah saatnya kita menjadi negara mandiri karena beberapa konflik negara yang selama ini terjadi, tak kunjung usai di tangani dengan Soviet.”

Ayah berpikir sejenak. Ada benarnya juga perkataan Alp. Tapi, tetap saja memisahkan diri dari suatu negara besar tidak semudah yang apa di bayangkan. Orang-orang Azeri harus berani mengambil resiko. Ayah melipat tangan, berpikir sejenak.

“Mereka harus berpikir dua kali, Alp. Uni Soviet itu negara komunis. Kau ingat peristiwa penyerangan Tentara Merah dulu?_”

“ Mereka terlalu bersemangat, Rash, keras kepala. Lagi pula berbicara mengenai tentara merah, kau tahu siapa yang mereka bunuh? Semuanya ayah-ayah orang Azeri, ayah-ayah kita semua. Itu bisa juga menjadi salah satu penyebab, bagaimana mungkin mereka tahan di atur dan di kuasai oleh orang-orang yang membunuh orang yang paling mereka cintai?!” Alp memotong pembicaraan, nada bicaranya sedikit tinggi. Kelihatan sekali ia juga sangat merasa sakit hati atas peristiwa itu.

Ayah terdiam, mengepalkan tangan kuat-kuat. Darahnya serasa naik ke ubun-ubun begitu mengingat Tentara Merah.

“ Mereka akan datang ke Uni Soviet dengan membawa massa?” ayah mengalihkan emosi, berusaha tenang. Alp membetulkan duduk lagi.

“ Mereka tidak pergi ke Soviet.”

“ Lalu?”

“ mereka akan berkumpul di Ibukota Baku.”

Içindəsən? kau ikut?” ayah memandang Alp. Maksud pertanyaannya adalah ‘ kau memimpin mereka?’.

Alp menggeleng, mengambil sepotong roti.

Yox, tidak. Tapi karena itulah aku datang ke sini, Rash. Mengajakmu untuk bersiap mempertahankan negara. Kau menyadari sendiri bukan, perbuatan orang-orang Azeri ini sangat berbahaya. Kemungkinan terburuknya Soviet akan menyerang Azerbaijan. Kau tahu watak komunis bukan?”

Ayah mengangguk, tetap menatap serius.

“ Nah, tugas kita adalah berjaga-jaga semampu kita bila mereka datang. Tapi, kita selalu mengharapkan yang terbaik untuk kita dan orang-orang Azeri.”

“ Amiin, semoga. Insya Allah saya selalu siap menjaga Azerbaijan. Menjaga Azerbaijan sama dengan menjaga Islam, bukan?”

Alp mengangguk berulang, tersenyum hangat. Salut akan semangat teman seperjuangannya ini. Alp terus memperhatikan ayah yang sudah mengunyah roti. Mata biru itu. Ia kembali teringat ayah Arash, kakek Ottmar, yang di juluki Tentara Merah Kabil Bora karena ketajaman mata birunya.

“ Ada apa, Alp?” ayah yang merasa di perhatikan tersenyum, tahu Alp sedang memperhatikan matanya.

“ Oh, tidak. Mata itu mengingatkan saya pada ayahmu, Muzaffer.” Alp mengalihkan perhatian, menyeruput sarbet perlahan. Ayah melambaikan tangan, tertawa renyah.

Tamam, baiklah, Rash. Kalau begitu saya pamit dulu. Masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan.” Ujar Alp seraya berdiri, tersenyum. Tangan kirinya terlihat memegangi pinggang.

“ Hati-hati Alp, sering-sering lah datang ke rumah.” Ayah ikut berdiri, menghantarkan Alp sampai ke pintu. Alp mengucapkan ‘insya Allah’ berulang.

“ Oh ya, jangan lupa sering olahraga.Pinggangmu sepertinya tidak pernah di latih lagi.” Lanjut ayah, tertawa di akhir kalimatnya. Alp tersenyum lebar, menepuk-nepuk bahu temannya itu. Terlihat akrab.

Sementara di Ibukota, para demonstrasi Azeri mulai berkumpul. Rata-rata dari mereka adalah para pemuda tanggung yang begitu bersemangat memperjuangkan kemerdekaan Azerbaijan. Alun-alun Baku akan menjadi saksi bisu peristiwa pada penghujung Januari itu.

***

Sabtu, 20 Januari 1990. Ibukota Baku, Azerbaijan.

Para demonstrasi baru saja melewati hari pertama mereka di alun-alun kota. Siang dengan cepat berganti, malam menjemput dengan kegelapan membungkus seantero kota. Warga Baku mulai terlelap, beberapa pendemo masih terlihat di alun-alun kota. Sedangkan yang lain, memilih untuk kembali dan tidur, berniat melanjutkan acara esok pagi. Entah mengapa, malam itu langit bersih tanpa bintang. Bulan pun enggan menampakkan wujudnya.

Seakan tidak ingin melihat kengerian yang akan terjadi malam itu.

“ BUUMM..!!”

Satu ledakan tiba-tiba terdengar memilukan dari pusat Ibukota. Menghancurkan bangunan, memecahkan kaca, meratakan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Suara jeritan, teriakan minta tolong, tangisan meratap terdengar bersahutan beberapa saat setelah itu, menambah kengerian malam yang gulita.

“ BBUUMM...!!!”

Ledakan berikutnya menyusul lebih keras, korban semakin banyak berjatuhan. Malam yang tenang berubah tragis. Suara rentetan tembakan menyusul beberapa saat kemudian. Menteri pertahanan Soviet seperti mengamuk, dua Divisi[5] lebih turun ke jalan-jalan Ibukota, menghabisi para demonstrasi yang berkumpul di alun-alun.

Beberapa ledakan kembali terdengar, tiga pesawat tempur Ilyushin melintas di langit gelap, menderu mengerikan. Ibukota Baku benar-benar hendak di lumatkan. Puluhan tank-tank berat berputar menyapu setiap sudut kota.

Dan hanya Ibukota yang merasakan perih para demonstran yang terkepung puluhan ribu Tentara Merah Uni Soviet itu.

***

Pagi.

Ayah bersama Ottmar sedang berlatih panah di lapangan. Anak berambut cokelat pekat itu semakin mahir menembakkan anak panah. Tiga panah sekaligus. Ayah memperhatikan dengan bangga, Ottmar dengan cepat menguasai semua tehnik yang ia berikan. Lihatlah, bahkan tubuh Ottmar sekarang sudah hampir menyamai ayahnya. Umur Ottmar genap enam belas.

Seseorang datang tiba-tiba, berlari terengah. Ayah menoleh, mengernyitkan dahi.

“ Ada apa sampai lari-lari begini?” ayah bertanya begitu berhadapan. Orang itu mengatur nafas sebentar, lantas menyerahkan sebuah surat.

Mister Alp-dan, dari tuan Alp, katanya sangat penting. secepat mungkin surat ini harus segera sampai pada tuan.” Jawabnya menjelaskan. Ottmar menatap heran.

“ Baiklah, təşəkkür edirəm, terima kasih.”

Orang itu mengangguk lantas pamit diri. Ayah membuka surat perlahan. Mata putra Muzaffer Kabil Bora itu membulat begitu membaca isi surat. Ottmar menatap penasaran.

“ Ada apa yah?”

***

Ayah bergegas mengambil panah dan seluruh anaknya, memasukkan ke dalam quiver[6] pinggang. Bergegas lagi. Mengambil beberapa helai pakaian tebal, memasukkannya ke dalam tas, menggendongnya. Terakhir, berjalan cepat menuju ruang belakang. Berhenti sebentar. Menghirup nafas sejenak, lalu mengambil yatagan yang tergantung di dinding. Mengeluarkan bilahnya, memperhatikan sebentar, memasukkannya kembali, lekas menyelipkan di pinggang. Ottmar hanya bisa mondar-mandir melihat ayah yang bergegas ke sana kemari.

Ibu yang ikut mengambilkan air mengajak ayah duduk sebentar. Berbicara empat mata.

“ Apa yang di katakan Alp, canım?” ibu berusaha berbicara selirih mungkin, agar Ottmar tak mendengarnya. Ayah menghela nafas, memperbaiki tas di punggung.

Lihat selengkapnya