Busur panah itu berdebu, sudah dua bulan tidak terpakai. Ottmar membiarkannya tergeletak di atas lemari tinggi. Setelah kepergian ayah, semangat berlatihnya hilang. Ia menganggap busur panahnya tidak berguna, nyatanya, busur itu hanya bisa melindungi dirinya, tidak bisa melindungi orang lain, bahkan orang yang paling ia cintai. Maka apalah gunanya memakainya lagi? Lebih baik membantu pekerjaan ibu di rumah, walaupun ibu berkali-kali melarangnya untuk membantu, bilang lebih baik ia kembali berlatih memanah.
Alp meluangkan waktu seminggu sekali ke rumah sahabatnya itu, sekedar menjenguk Ottmar. Ia tahu, pasti anak itu tidak mau lagi berlatih. Kejadian saat itu pasti membuatnya sangat terpukul.
“ Ottmar, kau tidak berlatih?” Alp bertanya lembut, menyentuh pundak Ottmar. Yang di tanya hanya menggeleng, kembali menatap jauh ke depan. Alp menghela nafas, ikut menatap ke depan.
“ Kau tahu, Ottmar, kalau tahu begini, ayahmu pasti akan menyuruhmu untuk berlatih lagi.” Kalimat itu terdengar lirih, Alp seperti kembali mengenang betapa nyawanya berkali-kali terselamatkan dengan panah Arash. Ottmar menarik nafas dalam, lantas perlahan menunduk. Matanya tiba-tiba terasa panas. Benar apa yang di katakan paman Alp, tapi ia sudah terlanjur putus asa dan merasa sangat bersalah kepada ayah. Ayah mengajarinya tanpa mengenal lelah, menyelamatkan nyawanya yang kala itu sudah berada di ujung tanduk, tapi apa yang ia perbuat? Bahkan ia tak mampu melindungi ayah pada saat detik-detik terakhir kehidupannya. Ia merasa menjadi anak paling durhaka di muka bumi.
Sebulir air menetes, membasahi tanah di bawah kakinya.
“ Berlatihlah lagi, Ott. Semua pewaris mata biru, mereka ahlinya dalam masalah memanah. Bahkan ayahmu pernah bilang, ia sangat bangga denganmu. Kau anak yang cerdas, cepat sekali menguasai semua tehnik yang ia ajarkan.” Paman Alp masih mengusap pundak Ottmar berulang. Ottmar sudah sempurna menangis, perasaannya campur aduk, serba salah.
“ Tapi Ottmar tak bisa, paman. Setiap melihat busur itu Ottmar selalu teringat ayah, setiap melihat busur itu perasaan bersalah Ottmar selalu muncul.” Ottmar menatap paman Alp sendu, matanya sembab. Paman Alp tersenyum, menarik nafas perlahan.
“ Ayah bisa memaklumimu, Ottmar. problem deyil, bagaimana pun kau tak ada bandingannya dengan ia. Bahkan menguasai diri dalam keadaan sangat terpepet, seperti saat kau di serang harimau, kau tahu Ottmar? ayahmu mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa setenang itu saat taring harimau itu tinggal sejengkal lagi dari kepalamu. Sudah terlampau yakin dengan tembakannya, bagaimana kalau saat itu ayahmu terlalu lama membidik setengah detik saja, atau tembakannya tidak tepat, atau malah mengenaimu.” Paman Alp tertawa kecil di akhir kalimatnya, “ kau tak akan bisa duduk bersama paman sekarang.”
“ Tapi ayah meninggal karena Ottmar, paman.” Ottmar menyela, matanya kembali berair.
“ Itu bukan salahmu, Ott.” Paman Alp melambaikan tangan, menatap putra Arash itu lekat-lekat. “ apa paman perlu ulangi, ayah pasti memaklumimu, karena kau belum bisa seperti ia, kau belum bisa setenang itu. Kau memilih berteriak, ingin menyuruh ayah menghindar. Itu pilihan terbaikmu, Ott. Sekali lagi kau tidak salah. Pelatuk itu memang sudah di tarik, bahkan sesaat sebelum kau berteriak.” Paman Alp menghela nafas sesaat, berat teringat teman terbaiknya itu.
“ Ayah paham maksudmu, Ott. Ia sangat paham. Tapi apalah daya dengan takdir? Peluru itu sudah terlepas, Ott. Sekali lagi paman katakan, tidak ada yang salah dari kalian berdua, karena kau sudah mengerjakan yang terbaik, dan ayahmu telah menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Asal kau tahu, Ott, entah berapa banyak nyawa musuh yang melayang di tangannya. Bahkan paman, paman sangat merasa banyak berhutang budi padanya.”
Paman Alp mengusap matanya dengan jari, menahan air mata yang hendak mengalir tiba-tiba. Ottmar sudah sesenggukan, mengutuk perbuatannya yang memilih untuk berhenti memanah. Merasa berdosa melanggar pesan ayah saat akan pergi dulu. “ kamu di rumah saja, temani ibu. Oh ya, jangan lupa berlatih terus. Besok ketika ayah datang kamu harus sudah menguasai semuanya. Siap?”. Kalimat itu, kini seperti terdengar jelas di telinganya.
“Ayahmu telah menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Tuhan bahkan tidak memberi waktu untuknya merasa letih. Ia ingin langsung mengganjarnya, memberinya hadiah syahid lantas menempatkannya di surga-Nya yang terindah.”
Paman Alp berusaha tersenyum, merengkuh pundak Ottmar.
“ Sudahlah, Ott. ikhlaskan ayahmu tenang di sana. Kuatkan hatimu, seberat apapun beban masalah yang kau hadapi saat ini, percayalah bahwa semua itu tidak pernah melebihi batas kemampuanmu. Sekarang, bangkitlah kembali, laksanakan apa yang ia pesankan, berlatihlah lagi dengan lebih giat. Paman yakin, ayah pasti sangat bangga melihatmu bisa menjadi seorang Kabil Bora seperti kakekmu.”
Ottmar mengangguk berulang. Menarik nafas, mengusap matanya dengan punggung tangan. Lantas mencium tangan paman Alp, menenggelamkan mukanya di sana, mengucapkan təşəkkür edirəm berulang. Paman Alp hanya bisa tersenyum, di dalam hati ia berjanji akan menemani putra Arash itu berlatih. Ia tahu, Arash menyelamatkan nyawanya untuk itu. Terima kasih, Arash. Lirihnya.
“ Oh ya, Ott. Bagaimana kalau paman kenalkan kau dengan salah satu senjata lagi.” Ujar paman Alp setelah Ottmar mengangkat wajahnya. Ottmar menatap heran, maksud tatapannya adalah senjata apa lagi itu, paman?. Paman Alp terkekeh.
“ jangan menatapku seperti itu, Ott. Kau belum tahu begini-begini paman punya satu jurus senjata yang langka di daerah ini.”
Ottmar tersenyum, menarik nafas dalam-dalam.
“ Yatagan kan?” Ottmar menebak. Paman Alp menjawab dengan senyuman.
“ jelas bukan, Ottmar. Kalau itu pasti kau sudah tahu. Senjata ini berasal dari salah satu negara yang sangat jauh. Senjata itu sejenis pedang, namanya Katana.”
Mata Ottmar membulat, tak sabar ingin cepat mengetahuinya.
***
“ Paman dapat senjata ini dari mana?” Ottmar menimang-nimang senjata bernama katana itudi tangan, benda itu memang mirip seperti pedang, hanya saja sedikit melengkung di ujung dan lebih panjang. Selepas perbincangan panjang itu paman Alp mengajak Ottmar ke rumahnya.
“ Paman dapatkan sekaligus belajar langsung kepadasalah satu teman yang berasal dari jepang.”
“ Dari jepang? Jauh sekali.”
“ Jangan heran, Ottmar. Pamanmu ini sudah hidup lima puluh tahun lebih, sudah banyak berkelana, sudah banyak negara yang paman datangi.” Jawab paman Alp yang kemudian duduk di samping Ottmar, meminta katana dari tangannya.
“ Kau ingin berlatih menggunakannya?” paman Alp melirik Ottmar, yang langsung di jawab dengan anggukan. Paman Alp tersenyum.
“ baiklah, tapi sebagai selingan saja. Bagaimanapun kau harus lebih menguasai panahmu.” Lanjutnya memberi syarat. Ottmar kembali mengangguk, tersenyum.
“şübhəsiz, pasti, paman. Ottmar akan menjadi Kabil Bora seperti kakek.”
Paman Alp terkekeh pelan, semangat anak ini mirip sekali dengan ayahnya. Sejenak ia memperhatikan Ottmar, sejak terakhir kali melihat beberapa tahun yang lalu Ottmar sudah banyak berubah. Lihatlah, bahkan postur tubuhnya sudah sangat dewasa, padahal umurnya baru mendekati tujuh belas. Garis wajahnya terlihat tegas, dan mata itu, mata yang selalu membuatnya kagum, membuatnya tak bisa melupakan Arash, teman seperjuangannya.
“ Kapan kita belajar, paman?” Ottmar membuyarkan lamunan paman Alp. Paman Alp mengembalikan kesadarannya sebentar, lantas berpura-pura mengeluarkan katana dari sarungnya.
“ Oh, kapan saja bisa, Ott. Tapi, baiklah, kita mulai latihannya besok. Sebelum kau bisa menguasai jurusnya, kita menggunakan pedang kayu dulu.” Paman Alp bangkit dari duduk, memutar-mutar perlahan katana di tangannya.
“ Pedang kayu?” Ottmar menatap terheran, hanya saja pandangannya terus tertuju pada bilah katana yang berputar. Paman Alp memperlambat gerakannya, lantas dengan indah kembali memasukkan katana itu ke dalam sarungnya.
“ Ya, dalam ilmu menggunakan katana, pemula harus menggunakan pedang kayu terlebih dahulu, atau yang biasa disebut dengan Bokken. Agar mereka terlatih dengan berat yang terdapat pada pedang kayu sekaligus mengurangi resiko terluka bila gerakannya salah.” Ujar paman Alp menjelaskan. Ottmar mengangguk-angguk paham.
“ Besok kita mulai paman? Kita latihan di mana?”
“ Di mana saja boleh, asalkan tertutup.”
“ Okelah, bagaimana dengan lapangan di sebelah tempat biasa Ottmar berlatih panah?” Ottmar memberi tawaran, paman Alp mengangguk.
“ Bisa, kita berlatih Bokken dua kali seminggu saja. Sisanya kau gunakan untuk berlatih panah. Oh ya, sebentar Ott.” Paman Alp beranjak ke belakang, kembali dengan dua mangkuk piti[1] yang masih mengepulkan uap.
“ Sekali-kali bertandang ke rumah, bibi memasakkan menu kesukaan keluarga ini khusus untuk putra Arash. Silakan, Ottmar, jangan malu-malu.” Paman Alp tersenyum, meletakkan mangkuk piti di atas meja. Ottmar menelan ludah, teringat dari pagi ia belum makan apapun. Lantas dengan meniupnya terlebih dahulu, Ottmar mencoba satu sendok yang bergelimang lemak domba. Cita rasa masakan khas nasional Azerbaijan ini langsung merasuk ke dalam saraf lidah, membuatnya ingin menyendok terus menerus.
“ Bagaimana masakan bibi, Ott?” istri paman Alp datang tiba-tiba dengan membawa beberapa piring lagi berisi dolma hangat. Ottmar hampir tersedak hendak menjawabnya langsung. Paman Alp tertawa, menyodorkan segelas air.
“ləzzətli, enak, bibi. Ottmar jarang sekali makan piti. Ibu biasa membuat dolma seperti ini atau kufta bozbash.” Jawab Ottmar setelah menelan suapan. Alis bibi terangkat mendengarnya.