Distrik Agdam, 2 Tahun Kemudian.
Malam semakin larut. Angin malam berhembus sesekali, dingin menusuk tulang. Orang tua itu kembali merapatkan jaket tebalnya, menghalangi hawa dingin yang diam-diam menyelinap masuk. Musim dingin baru saja datang. Malam lebih panjang dari pada biasanya, satu – dua butiran putih mulai turun perlahan. Orang tua itu menengadahkan tangan, membiarkan sebutir putih darinya hinggap. Dingin. Menggenggamnya, butiran salju itu meleleh.
Hawa dingin kembali berhembus, ribuan bahkan ratusan ribu butiran salju meningkahi gelapnya malam. Cahaya lampu teras bersinar temaram, sedikit membantu orang tua itu melihat dengan jelas salju-salju yang turun di sekelilingnya. Orang tua dengan secangkir teh panas itu menarik nafas perlahan, menghembuskannya, membentuk asap tipis di sana.
Bibirnya pelan menyeruput teh hitam. Nikmat. Kembali memandang jauh ke depan. Seorang perempuan dengan jilbab panjang datang dari belakang, ikut duduk di sampingnya. Orang tua itu tak menoleh sedikit pun, ia sudah tahu siapa yang datang.
“ Malam dingin begini masih di luar, sevim[1]?” perempuan itu bertanya lembut, yang di tanya hanya mengangguk.
“ Sedang memikirkan apa?” lanjutnya, tersenyum.
“ Keluarga Arash.” Jawabnya pendek. Perempuan di sebelahnya itu ikut menatap ke depan, menghela nafas pelan, sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar.
“ Aku paham apa yang kamu rasakan, sevim. Kamu bahkan menganggap Arash bagaikan saudara, benar begitu, sevim?”
Orang tua itu mengangguk.
“ Arash itu orang yang baik. Tapi malang sekali, suasana di sini tidak mendukungnya untuk terus memberikan kebaikan pada orang lain. Kau ingat, sevim? Kejadian belasan tahun yang lalu, apa yang di inginkan orang-orang dengan mata warisannya itu? ia tak pernah berbuat buruk pada mereka, lalu apa alasan mereka untuk menghalangi mata warisan itu supaya berakhir pada dirinya saja?”
Orang tua itu mendesah pelan, tubuhnya terasa lebih hangat menahan luapan emosi yang entah cepat sekali menyeruak. Perempuan di sebelahnya hanya terdiam, memikirkan hal yang sama.
“ Beruntung ia memiliki Ottmar. Ia anak yang baik pula, sevim. Mirip seperti ayahnya. Anak itu menirunya persis, bahkan selama aku bersamanya, aku merasa selalu bersama Arash. Karena itulah aku bertekad akan menuntunnya sampai ia bisa menyeimbangi ayahnya, menjadi Arash kedua.”
Orang tua itu menyeruput teh hitamnya sebentar, kembali menatap ke depan. Butiran salju semakin tebal membungkus malam, butiran-butiran kecil tadi sudah berubah menjadi butiran yang lebih besar.
“ Dan juga mempersiapkan ia untuk mengambil alih tugas ayahnya, menggantikan apa yang telah hilang.” Kalimat terakhirnya terdengar dalam, kalimat itu betul-betul keluar dari hati.
“ Benar, sevim. Ottmar lah satu-satunya harapan keluarga kecil itu. Aku pun sangat yakin, ia masih bisa menemukannya.” Perempuan tua itu menoleh, tersenyum yakin.
“ Paman Alp akan menjadi Arash bagi Ottmar!” seru orang tua itu, menyeringai, lantas tertawa kecil.
Dan hanya mereka lah yang memahami apa yang mereka perbincangkan pada malam itu.
***
“ HEEAAHH..!!” Ottmar berteriak lantang, melompat ke sebatang pohon besar, berputar, menyabetkan katana ke arah serumpun bambu. Memangkasnya beberapa.Ottmar mendarat dengan satu kaki, kembali memasang kuda-kuda rendah. Sebenarnya ia hanya bermain-main, mencoba beberapa jurus yang paman Alp ajarkan dua tahun yang lalu, juga pengembangan jurusnya sendiri. Ternyata masih begitu lancar.
Lapangan yang tak jauh dari rumah paman Alp yang di penuhi bambu dan beberapa pohon besar itu terlihat lengang.
Ottmar kembali berlari, berbelok tajam mengitari sebuah pohon besar. Bermanuver di udara, memainkan katana di tangan. Menggabungkan tiga jurus, rambut panjang sebahunya meliuk kanan – kiri mengikuti tubuhnya.
“ Wusshh...!!” tebasan terakhir ia tutup dengan menyerong, kuat sekali, bagaikan seorang musuh ada di depannya. Angin berhembus lembut, memainkan anak rambutnya yang menjuntai ke depan. Nafasnya menderu.
“ Tangkas sekali kau,Ottmar.” Seseorang muncul dari balik rumpun bambu memecah keheningan. Ottmar menoleh, memasukkan pedang ke dalam sarung. Lantas berbalik badan, tersenyum. Paman Alp datang dengan memakai pakaian tebal berwarna hitam panjang. Di pinggangnya terikat sebuah katana. Warna keemasan gagangnya indah memantulkan sinar matahari yang kebetulan menyelinap masuk melewati celah dedaunan.
“ Hanya bermain-main, paman.” Ottmar menyengir. Paman Alp berjalan mendekat, “ pagi ini paman akan menyelesaikan latihanmu, Ottmar.”
Mata Ottmar menyipit, menunggu apa yang akan dikatakan orang tua itu selanjutnya.