Musim semi masih panjang.
Pohon-pohon yang meranggas termakan dinginnya salju kemarin mulai mengeluarkan tunas satu –dua. Tumbuhan warna-warni saling berlomba menampakkan warna terbaiknya, menarik perhatian. Musim semi adalah waktu paling tepat untuk tumbuhan berkembang kembali, begitu pula dengan hewan-hewan, satu –dua terlihat berkejaran di antara rumpun semak yang belum begitu tinggi. Setelah empat bulan mendekam di sarang, mereka merayakan musim semi bersama jenis hewan yang lain –yang bisa bermain bersama tentunya. Hampir seluruh macam bunga bermekaran, mengundang burung-burung penghisap nektar untuk singgah menikmati cairan manis dari mahkota-mahkota indahnya.
Ottmar menghirup nafas dalam-dalam, menikmati udara segar pagi itu. Pandangannya tak sengaja tertumpu pada tupai-tupai yang berlarian di antara dahan-dahan pohon yang tak jauh darinya. Ia tersenyum, mengambil beberapa biji mete yang sengaja ia bawa dari rumah untuk sekedar camilan, melemparkannya. Seekor tupai terlihat malu-malu turun dari pohon. Ekor indahnya bergerak-gerak menggemaskan. Mengambil beberapa buah kacang mete, cepat-cepat kembali. Ottmar tertawa kecil, hewan-hewan itu takut sekali dengan manusia.
Laki-laki berambut cokelat itu kembali duduk di kursi panjang. Menatap ke depan, tersenyum. Perlahan menyentuh luka di pundaknya yang belum sempurna kering. Ingatannya melayang lagi ke hutan bambu itu, pertarungan yang sangat menegangkan. Ia tertawa kecil.
Paman Alp yang katanya hendak membunuhnya itu ternyata malah mengajarkan banyak hal besar, secara tidak sengaja memupuk keberanian, ketangguhan, ketangkasan, sampai ketajaman instingnya dari pertarungan duel itu. Luka-lukanya sudah tidak begitu ia hiraukan lagi, perkataan paman Alp beberapa hari yang lalu masih terngiang jelas di telinganya. Kau tidak akan menjadi petarung sesungguhnya kalau belum bisa terbiasa dengan rasa sakit. Laki-laki itu tersenyum sendiri.
Memang semua yang paman Alp lakukan waktu itu hanyalah sandiwara ujian terakhir. Teriakannya, hardikannya, ejekannya. Tapi, jujur saja, saat mendengar orang tua itu menyinggung tentang ayah perasaannya benar-benar tersinggung. Siapa yang mau di bilang begitu? Bahkan ia sudah bersumpah tidak akan mengecewakan ayahnya lagi selamanya.
Entah kenapa tiba-tiba pikirannya kembali teringat akan secarik kertas yang ia temukan di saku baju ayah, tak sengaja ketika membereskan kamar belakang. Semua senjata dan pakaian terakhir yang ayah gunakan ketika penyerangan itu memang di letakkan menjadi satu tempat, di kamar belakang. Ibu tak mau terus bersedih melihatnya setiap hari di kamar.
Kertas itu dilipat dua, Ottmar memberanikan diri untuk melihat isinya. Keningnya berkerut begitu membaca tulisan dengan tinta hitam itu.
Canım, əminəm ki, o hələ də var. Alp ilə danışmağa çalışın.[1]
Pendek saja. Apa maksudnya? Ia siapa? Paman Alp? Masih ada apanya?
Ottmar menepuk dahi, lupa harus segera menyerahkannya pada ibu. Siapa lagicanımdi situ kecuali ibu? Melangkah tergesa menuju rumah, celingukan mencari ibu.
“ Ibu?” Ottmarberjalan cepat menuju dapur. Benar saja, ibu sedang menyiapkan sarapan pagi. Ibu sedikit terkejut melihat Ottmar yang terburu-buru menghampirinya.
“ Ada apa, nak?” ibu mematikan kompor, membuka tutup wajan. Aroma khas nasi plov langsung merebak menggugah selera. Ottmar melongok sebentar melihat wajan, tersenyum.
“ Ibu masak nasi plov, mau makan sekarang?” ibu beranjak mengambilkan piring, Ottmar cepat menggeleng.
“ Nanti saja bu. Ehm, sebenarnya Ottmar mau menyerahkan ini.” Ottmar merogoh saku celananya, mengeluarkan secarik kertas. Ibu mengernyitkan dahi, menerimanya. “ dari siapa?” Ottmar tersenyum. “ baca saja dulu, bu.”