HILANG

rizky al-faruqi
Chapter #8

Kota Mati

Distrik Agdam, Juni 1993 M.

Kalian pasti sudah tahu, bukan? Puluhan tahun sebelumnya, Azerbaijan bersama Georgia dan Armenia pernah membentuk satu republik yang bernama RDA, perserikatan tiga negara dengan penduduk mayoritas muslim. Tapi itu dulu. Tahun inimalah berbalik 180 derajat, Armenia yang pernah menjadi ‘sahabat’ bahkan merupakan tetangga langsung Azerbaijan itu menjelma menjadi musuh baru bagi rakyat Azeri. Entahlah, dunia ini cepat sekali berubah. Jangankan berpuluh tahun, kalian dengan teman kalian pun, pernah bukan? Hari ini berteman esoknya saling memiting? Itu baru dua hari, bagaimana dengan puluhan tahun?

Di salah satu pojok Azerbaijan yang bersebelahan langsung dengan Armenia terdapat satu daerah kecil yang bernama Nagoro-Karabakh. Satu daerah yang akan membuat panjang cerita ini. Sama halnya dengan Azerbaijan, daerah kecil ini berupaya untuk memisahkan diri dari Negara Azerbaijan. Upaya ini di sambut dan di dukung oleh Armenia yang memang bersebelahan dengan Nagoro-Karabakh. Entah berapa tahun, sampai mereka benar-benar siap, peperangan sengit memperebutkan ‘daerah kecil’ itu pun tak dapat di hindari.

Lalu apa hubungannya dengan Adgam? Jangan di tanya, sebenarnya inilah inti dari hasil peperangan tentara gabungan Nagoro-Karabakh – Armenia dengan tentara Azeri.

***

Udara sore itu benar-benar panas.

Ottmar keluar dari rumah, merenggangkan badan di depan pintu, menghirup udara musim panas yang baru saja menggantikan musim semi beberapa Minggu lalu. Berjalan malas, menghempaskan badan di kursi bambu yang langsung berderit –menerima tekanan tubuhnya. Laki-laki itu berpikir sejenak, memandangi pohon –tempat bersarang tupai-tupai itu dulu yang mulai menguning terbakar panasnya sinar matahari. Tidak ada tupai-tupai itu lagi di sana, entah mereka pergi mencari makan, atau memang sedang malas saja keluar dari sarang(sama malasnya dengan dia).

Ottmar tepekur sejenak, teringat pembicaraan dengan ibu beberapa bulan lalu. Jujur saja, ia sendiri sampai sekarang masih sama bingungnya dengan ayah. Bagaimanalah mencari sesuatu yang bahkan sudah bertahun-tahun hilang? Mustahil. Semua orang pun pasti berpikiran yang sama, kemungkinan hanya dua; sudah di temukan orang lain –yang kalau dia berbaik hati di angkat menjadi anak atau kalau tidak dia buruk dan menjualnya, atau kemungkinan terburuk –kedua adalah mati. Apalah daya bayi lima bulan kalau sudah di culik begitu? Melawan? Melapor polisi? Bisa saja kalau hanya menangis.

Ottmar belum berani mengatakannya pada paman Alp. Ia sendiri masih bimbang, masih belum begitu percaya diri menerima sepenuhnya tugas ini. Berat, pastinya sangat berat. Bahkan ia lebih sanggup bertarung dengan paman Alp sehari semalam dari pada mengerjakannya. Tapi ini wasiat, siapa lagi yang harus menanggungnya kalau bukan dia? Oh tuhan, ia harus berani. Ia sudah berjanji tidak akan mengecewakan ayah, pasti inilah harapan terbesarnya, bahkan, bisa jadi ayah melatihnya hari-hari agar bisa menggantikan posisinya sebagai ‘ayah’ dalam keluarga kecilnya.

Ottmar menjejakkan kakinya di atas lantai, berdiri sempurna. Ia harus memulai, ia tidak mau menjadi pengecut seperti yang paman Alp katakan waktu itu, ia tidak mau mengecewakan ayah, ia akan menunjukkan yang kedua kalinya siapa putra Arash sesungguhnya. Laki-laki itu beranjak, menuju rumah paman Alp.

Rumah itu tetap seperti biasanya, dengan hamparan rumput hijau mengelilingi, hutan bambu yang hanya sepelemparan batu dari pagar rumah, domba-domba yang ribut sekali di belakang rumah –menagih jatah makan selanjutnya, dan sebuah ayunan yang tergantung pada sebuah dahan besar pohon depan rumah. Tentunya bukan ayunan untuk anak paman Alp, karena anak paman Alp hanya satu dan sudah merantau entah ke negeri mana, umurnya beberapa tahun jauh lebih tua di bandingkan ia. Ayunan itu sering kali di datangi anak-anak kecil sekitar sana, sekedar berayun-ayun sambil saling cekikikan, sesekali saling timpuk, berceloteh riang, tidak jarang jahil saling tarik rambut –dan akan bubar ketika sudah ada salah satu yang menangis. Bibi Meryem sering menyempatkan keluar untuk sekedar membagi manisan, tersenyum ketika mereka berebut untuk mendapatkan pertama kali –walaupun sebenarnya akan tetap di bagi rata. Bibi Meryem senang sekali melihat mereka riang bermain kembali di ayunan, teringat akan anaknya.

Ottmar berjalan menuju pintu belakang, biasanya paman Alp sore-sore begini sedang sibuk menyiapkan makan domba. Ottmar tersenyum, benar saja.

“ Paman.”                                        

Paman Alp setengah terkejut, menoleh, sejurus kemudian tersenyum melihat Ottmar yang sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya mengumpulkan rumput. Ottmar balas tersenyum, beranjak berjongkok di dekat orang tua itu.

“ Mau Ottmar bantu, paman?” Ottmar mengambil sebuah sabit lagi, paman Alp melambaikan tangan.

“ tidak usah, Ott. paman sudah selesai. Rumput-rumputnya sudah cukup banyak.” Ujarnya menunjuk tumpukan rumput yang menggunung, menoleh ke arah Ottmar yang sudah mengembalikan lagi sabit ke gerobak kayu. “ ada apa Ott?”

Ottmar berjalan menghampirinya, berjongkok kembali.

“ Ini, paman. Ehm_” Ottmar bingung akan memulai dari mana. Orang tua itu mengangkat alis.

“ Kenapa? Katakan saja, Ott. tak perlu malu-malu di depan pamanmu ini.”

“ Ehm, jadi maksud Ottmar datang ke sini_”

“ Iya?”

“ Begini, paman. Ayah_ eh, ada wasiat dari ayah.”

Mata paman Alp membulat, bergeser menghadap Ottmar. “ wasiat? Wasiat apa?”

Ottmar tersenyum hambar, menggaruk kepala. Menceritakan dari awal ketika ia menemukan kertas itu. Paman Alp menekuk kepala, berusaha mengingat-ingat kejadian belasan tahun silam itu.

“ Oh, lebih baik kita bicarakan di rumah. Kau masuklah dulu, paman akan menyelesaikan ini sebentar lagi.” Paman Alp beranjak mengangkat karung-karung yang sudah padat dengan rumput itu ke atas pundak. Ottmar mengangguk pelan, beringsut pergi.

***

Lihat selengkapnya