HILANG

rizky al-faruqi
Chapter #9

Menemukan Jejak

Selimut malam kembali membungkus kota Agdam. Bintang-bintang bertebaran menghiasi langit kota. Indah. Tapi tak seindah jika kau menurunkan pandanganmu ke bawah. Kota itu sepi, memang. Tidak ada lagi suara-suara tembakan, desingan mesin peluru, dentuman bom, teriakan-teriakan kesakitan, tentara yang berseru-seru, sampai deru pesawat tempur seperti saat itu. Kota itu kini bagaikan di sulap.Senyap dan sepi. Tapi bukan tenang, kawan. Bukan tenang. Kota itu mengerikan. Lihatlah. Tumpukan reruntuhan terlihat sana-sini, bau anyir darah, puing bangunan, mayat-mayat tak berdosa, menyatu menjadi pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri di sana. Tiga bulan sudah kota itu di penuhi kekacauan, tiga bulan yang merubah semuanya, kini kota Adgam benar-benar menjadi kota yang tak berpenghuni.Kota mati.

Satu bulan setelah penyerangan itu, tentara Azerbaijan tak mampu lagi mempertahankan Adgam, mereka mengungsikan penduduk Adgam yang masih selamat secara berangsur ke daerah lain. Bahkan beberapa ke negara tetangga. Adgam hancur total. Hanya menyisakan puing bangunan, mungkin beberapa masih berdiri, tapi dengan begitu menyedihkannya. Selebihnya rata dengan tanah.

Nun jauh dari kota mati itu, berpuluh-puluh kilo meter, seseorang dengan rambut terurai –yang sesekali bergoyang di mainkan angin, baju lusuh berdebu, wajah kusam terbakar panasnya matahari, dengan panah dan pedang yang terbalut kain, berjalan terseok di tepi jalan. Perutnya terlilit lapar lebih dari lima hari, sampai membuat tirus wajahnya yang cerah. Bagaimana tidak? Sepeser pun ia tidak membawa uang dari rumah. Hanya berbekal badan dan tekad yang kuat. Senjatanya bahkan belum berguna sama sekali, kecuali ujung anak panahnya yang tadi ia gunakan untuk mengais sisa makanan yang menumpuk di pinggir sebuah rumah.

Laki-laki itu terus berjalan, walaupun ia sendiri belum tahu akan menuju ke arah mana. Badannya benar-benar lemah, hanya sorot matanya saja yang masih tajam, terlebih mata birunya yang begitu menarik perhatian. Beberapa orang saling bisik sambil terus memperhatikan matanya yang berbeda warna itu. Tentu saja mereka tidak menertawakannya, mata itu sangat cocok dengan wajahnya yang tampan –walau sekarang terlihat sangat kusam. Mata seperti itu langka, karena itulah mereka membicarakannya. Mungkin selebihnya tentang penampilan laki-laki itu yang gembel dan asing.

Matahari semakin jatuh di ufuk barat. Cahaya jingganya melukis cakrawala dengan begitu indah. Langit sore bersih, ikut merona jingga seiring dengan burung-burung yang kembali pulang selepas seharian mencari makan. Ottmar menghentikan sejenak langkahnya, menyenderkan punggung pada dinding sebuah rumah besar di sampingnya. Mengeluarkan secarik kertas yang sudah tak berbentuk lagi dari saku, membukanya hati-hati. Matanya sedikit menyipit memperhatikan tulisan di dalamnya yang sudah tidak begitu jelas. Karaj? Ia menghembuskan nafas, kepalanya mendadak terasa berat. Petunjuk pertama paman Alp Karaj? laki-laki itu mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang bisa menunjukkan keberadaannya sekarang. Sebuah toko dengan papan nama besar-besar terlihat dari kejauhan. Ah, Ottmar menggelengkan kepala berulang. Pandangan matanya begitu kabur. Ia mencoba melihat lebih jelas, nama daerah itu pasti tertera di bagian bawahnya.

R-a-s-h-t ?

Ya Allah, benar ternyata. Tujuan pertamanya masih sangat jauh. Ottmar merasakan tubuhnya mendadak lemas. Dua Minggu sudah ia berjalan dengan tanpa bekal secuil roti pun, makan dari bekas makanan orang lain, sesekali menampung air hujan untuk sekedar bisa minum. Dua Minggu ia berjalan sendiri, tanpa menghiraukan letih dan sakit yang menyerang sekujur tubuh, membayangkan perjalanan itu sudah lebih dari cukup. Tapi, apa kenyataan sekarang? Petunjuk pertama pun ia masih terlalu jauh dari kata sampai. Lalu ia harus bagaimana lagi? Terus berjalan? Sampai kapan? Mencari kendaraan? Mustahil. Ia berada di era 90-an, uang adalah segalanya. Tanpa uang ia tak akan bisa mendapatkan apapun, bahkan sekedar makanan remeh. Bekerja? Hanya membuang waktu. Ia harus bergerak cepat atau polisi negara asing akan menangkapnya.

Ottmar merebahkan punggungnya ke atas semen yang sedikit lembab, mengatupkan mata yang sudah kian berat. Entahlah, mungkin ia harus beristirahat terlebih dahulu. Walaupun hanya beralaskan lantai semen dan beratapkan langit yang semakin gelap. Ia pun tak tahu, mungkin ajal akan lebih dahulu menemuinya sebelum ia menemukan sang adik. Bisa jadi malah, adiknya sudah menunggu lama di alam sana.

Kamu bisa memiliki apa pun yang kamu inginkan jika kamu mampu menghilangkan keyakinan bahwa tidak mungkin untuk mendapatkannya. Perkataan paman Alp waktu itu terngiang lagi di telinganya. Ottmar tersenyum kecil, meringkuk memeluk busurnya. Ayah, akan ku korbankan segalanya demi menyenangkan ayah dan ibu.

Adzan maghrib berkumandang, satu –dua bintang bermunculan di langit seiring dengan lantunan lafadz-nya yang syahdu.

***

Gerimis tipis membungkus kota. Malam begitu panjang, beberapa pejalan kaki mulai mengembangkan payung-payungnya yang berkilauan teterpa lampu jalan. Dari ujung jalan raya, terlihat seorang pemuda berjalan seorang diri dengan kantong plastik di tangan. Ia tidak membawa payung, hanya menghalangi rintik hujan yang semakin membasahi rambut tebalnya dengan tudung jaket yang ia naikkan ke atas kepala. Wajah laki-laki itu tidak begitu jelas terlihat, hanya hidung mancungnya yang tersiram cahaya kendaraan yang berlalu lalang terlihat menawan.

Lelaki bertudung jaket tebal itu kembali mengambil sapu tangan dari saku jaketnya, mengusap pelan kedua mata yang terlihat sembab. Laki-laki itu mendesah pelan, seperti melepaskan sesuatu yang begitu berat. Tiga rumah berikutnya ia mulai berbelok, menyusuri gang sempit yang sedikit tergenang air sana-sini. Sejenak, ia tertegun melihat seseorang yang meringkuk di pinggir tembok rumah di sampingnya. Pemuda itu mengernyitkan dahi, beranjak berjongkok di sebelahnya. Seorang laki-laki. Ia terus memandangi sekujur tubuhnya. Nampaknya ia datang dari jauh, pakaiannya begitu kumal, rambut panjangnya tidak terurus. Beberapa saat laki-laki itu menyelidik wajah tirus di hadapannya. Wajah itu terlihat asing, hanya air mukanya saja yang teduh, kelihatannya ia lelaki yang baik-baik.

“ Hei..?” lelaki berjaket itu menggoyang pelan pundak lelaki yang masih tertidur pulas di depannya. Senyap. Tidak ada reaksi. Sekali lagi ia menggoyangnya. Lebih keras. Tetap diam. laki-laki itu menggeleng berulang, kelihatannya orang ini benar-benar letih. Terakhir, ia tak mau mengganggunya lagi kalau memang yang ini tidak berhasil. Lelaki itu menggeser posisinya sedikit, mendoyongkan badannya ke samping. Sebuah genangan air beriak kecil menerima telapak tangan pemuda itu. Lantas dengan satu kali ayunan saja, belasan butir air sudah berpindah ke wajah si lelaki gembel. Membuatnya kalap terbangun.

“ Oi, oi !” lelaki itu cepat meraih busur dan memasang anak panahnya. Pemuda di depannya mundur teratur beberapa langkah, cepat memberi isyarat supaya ia tidak menembakkan anak panah. Si lelaki gembel memandang tajam pemuda itu, menyelidik.

“ Siapa kamu?” tanyanya dengan aksen Azerbaijan. Pemuda itu tertegun, laki-laki ini bertanya dengan bahasa Azeri? Berarti?

“ Sebentar, kamu datang dari Azerbaijan?” pemuda itu balik bertanya dengan bahasa Azeri pula. Si lelaki gembel belum menurunkan anak panahnya, mengangguk tegas. Lelaki berjaket tebal itu tersenyum hangat.

“ AkuKhan, Azərbaycandan da gəlmişəm, datang dari Azerbaijan pula. Salam kenal.” Lelaki berjaket tebal itu mengulurkan tangan, matanya terus memandangi mata unik laki-laki gembel yang masih menatap tajam ke arahnya.

“ Ottmar.”

Laki-laki gembel itu menjabat tangan Khan setelah mengendurkan panahnya. Khan tertawa kecil, ikut duduk di atas lantai semen. Ia merasakan kepayahan yang di alami Ottmar, pemuda gembel di hadapannya itu seolah merasuki dirinya juga, membuat ia dengan senang hati membiarkan celana mahalnya terkotori dengan debu jalan.

“ Kenapa kamu bisa sampai di sini, Ott?” Ottmar menghembuskan nafas berat. Berat mengatakannya. Beberapa detik tidak ada jawaban yang terdengar, hanya suara tetes air yang merembes dari atap rumah dan deru kendaraan yang terdengar dari kejauhan. Lelaki berjaket tebal bernama Khan itu tersenyum, ia tahu pasti pertanyaannya terlalu berat untuk di jawab.

“ Oh, Ottmar. mungkin lebih baik kita berbincang di rumah. Ayolah, tidak usah sungkan, kita masih satu keluarga, bertemu dengan sesama warga negara di tanah orang lain seperti ini bagaikan saudara rasanya.” Khan tersenyum renyah, mengulurkan tangan lagi. Ottmar menatap bingung, kenapa pula orang ini? belum saja di jawab sudah membahas perkara lain. Tapi, ya sudahlah, lebih baik begitu, memang. Ia sendiri sebenarnya sangat membutuhkan orang yang bisa membantu selama berada di negara orang ini.

Ottmar mengulurkan tangan, Khan membantunya berdiri.

“ Jangan menganggapku orang asing lagi, kawan. Anggap saja kita saudara, orang Azeri semuanya saudara.” Khan tertawa kecil, memperbaiki pegangan kantong plastik di tangannya. Ottmar menyengir saja, berjalan mengikuti dari belakang.

***

Api lilin di meja itu bergoyang pelan, bersinar temaram. Di sekitarnya tersusun rapi beberapa piring dan mangkuk. Hidangan khas Irani dan Azeri memenuhi meja makan berukuran kecil itu. Ash reshteh[1], nasi irani, khoresh[2], dan satu lagi yang sudah tidak asing, dolma. Khan tersenyum melihat Ottmar yang datang dari belakang. Setelah mandi dan berganti pakaian pemuda itu terlihat lebih tampan sekarang.Khan mempersilakannya untuk duduk di kursi makan. Ottmar terlihat lebih akrab sekarang, tidak lagi memasang tatapan tajam. Pemuda itu menjawab dengan senyuman, menuju kursi yang sudah di sediakan.

“ Makanlah, Ott. Kau pasti sangat lapar bukan?” Khan menyodorkan sebuah piring berisi nasi irani dan khoresh. Ottmar tertawa kecil, mengambil sendok. Malam itu gerimis masih mengguyur kota. Beberapa saat ruangan makan itu lengang, hanya terdengar suara sendok dan piring yang beradu. Ottmar lahap menghabiskan nasi di piringnya, perutnya benar-benar lapar setelah empat hari hanya di isi dengan air dan roti bekas. Khan beberapa kali melirik pemuda itu, sebenarnya ia ingin banyak bertanya, tapi, sudahlah. Mungkin selepas makan nanti ia baru akan bertanya.

bunu bişirdin?Kau memasak ini semua?” Ottmar meletakkan piring, mengambil secangkir chai[3]di hadapan. Khan tersenyum, menggeleng. “ makanan Iran ini aku beli barusan. Kalau dolma aku membuatnya sendiri, sengaja agar tetap terasa di kampung halaman.” Jawabnya terkekeh pelan, Ottmar ikut tertawa.

“ Ayo, di habiskan Ott. Kan sudah aku bilang tadi, jangan malu-malu, aku ini saudaramu.” Khan tertawa sambil menuangkan lagi nasi irani ke piring Ottmar. Yang di ajak bicara hanya tertawa sambil kembali mengambil piringnya, memang benar ia masih lapar.

“ Kau bisa memasak dolma, Khan?” Ottmar kembali menyuap nasi irani, mengambil dolma dengan tangan, menggigitnya. Khan melambaikan tangan, “ itu mudah, Ott. Ibuku dulu sering membuatnya, karena aku suka mengikuti ibu ke dapur, jadilah aku bisa memasaknya.” Khan menyeruput chai perlahan. Tertawa kecil. Ottmar mengangguk berulang.

Selesai acara makan malam, Khan mengajak Ottmar bersantai di depan rumah. Gerimis sudah mereda, hanya saja bintang-bintang belum mau menampakkan dirinya dari balik awan. Khan ingin tahu lebih dalam segala sesuatu dari teman barunya itu.

“ Baiklah, Ott. kalau boleh tahu, kamu berasal dari Azerbaijan bagian mana? Baku? Sirvan? Atau Barda?” Khan memulai perbincangan setelah mereka duduk bersebelahan di atas tikar teras rumah yang menghadap ke jalan. Ottmar tidak langsung menjawab. Tangannya sibuk membersihkan busur panahnya yang kusam.

“ Agdam.” Jawabnya singkat.Khan tertegun. Dadanya tiba-tiba berubah sesak. Apa? Agdam? Ia tak salah dengar bukan?

“ Agdam?”

Ottmar mengangguk, masih sibuk dengan busurnya.

“ Agdam, Ott?!” Ottmar menoleh, bingung melihat Khan yang tiba-tiba bertanyaseperti tidak percaya. Beberapa detik kemudian ia menangis, menangis sambil memegangi pundak Ottmar yang masih terheran-heran.

Dan malam itu, Tuhan menghendaki dua orang yang bernasib sama bertemu dengan cara yang tidak di sangka-sangka.

“ Azerbaijan banyak cerita, Khan.” Ottmar sudah sempurna ikut menangis setelah tahu kalau pemuda di sampingnya itu adalah anak kandung paman Alp yang beliau ceritakan saat itu.

“ Aku sudah tahu, Ott... Aku sudah tahu...” Khan terisak menatap jalan di hadapan. “ Kau mengenal ayahku?”

Ottmar mengangguk, “ Bahkan sangat mengenalnya, ia mengajarkan jurus pedang katananya kepadaku. Dan pedang yang aku bawa itu, Khan, pedang itu merupakan hadiah darinya sebelum aku pergi dari Adgam.” Khan semakin terisak, bergeser menatap Ottmar dalam-dalam. “ Boleh aku melihatnya, Ott?” Ottmar mengangguk cepat, berlari mengambilkan katananya di dalam, kembali sebentar kemudian.

Khan menerima pedang itu dengan hati-hati, memandanginya sebentar, lantas memeluknya erat. Ottmar ikut terharu, melihatnya tak tega. Tapi kenapa ia sedemikian sedihnya seperti itu? Bukankah ia bisa saja pulang dan menemui ayahnya sekarang?

“ Bersabarlah, Khan. Aku tahu ayahmu pasti mengikuti pertempuran yang sekarang berkecamuk di Agdam. Tapi aku yakin, ayahmu lebih dari bisa melindungi diri sendiri bahkan keluargamu di sana.” Ottmar mengusap-usap bahu Khan, berusaha menenangkannya. Tapi bukannya mereda, tangis Khan malah semakin menjadi-jadi.

“ Menemuinya, Ott? apa yang akan ku temui?! Adgam sekarang sudah menjadi kota mati, Ott. Tidak ada lagi kehidupan di sana.”

Ottmarganti tertegun, kota mati?Pemuda itu beringsut menarik tangannya dari pundak Khan, pandangan matanya seketika berkunang-kunang.

“ Ibu?”

Lihat selengkapnya