Astana, Republik Kazakhstan.
Sebuah mobil angkutan tua berhenti persis di bahu jalan, menurunkan penumpangnya yang sudah lama berdesakan di dalam. Berloncatan, beberapa sigap menutupkan tas, buku, atau apa saja di atas kepala, beberapa mengembangkan payung. Matahari siang itu terasa begitu menyengat. Hanya seseorang yang tidak menutupkan apapun di atas kepalanya, begitu menjejakkan kaki di tanah negara yang terkenal dengan julukan Virgin Lands[1] itu, ia langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Membuka kertas lusuh yang sudah menemaninya melewati tiga negara, mencari petunjuk selanjutnya di sana.
Sebuah rumah di desa pinggir kota, 60 kilometer dari ibukota Astana. Pria berjaket hijau tua itu langsung bergegas. Walaupun berada di negara dua benua dengan berjuta keindahan itu, keinginannya sama sekali tidak mengarah ke sana. Bahkan, sesegera mungkin ia harus langsung meninggalkan negara itu, karena status keberadaannya sekarang adalah : Orang asing dengan tanda pengenal palsu.
Tidak jauh di depan sebuah toko roti berdiri dengan gagah, replika kincir angin berputar perlahan pada bagian paling atas bangunan berlantai tiga itu. Di bawahnya tertera sebuah nama dengan huruf besar-besar; HOLLAND BAKERY. Ottmar meringis melihatnya, ternyata produk roti milik Belanda itu menyebar sampai Asia tengah juga. Pemuda itu mempercepat langkahnya, lantas berteduh di emperan toko itu yang bersebelahan langsung dengan bahu jalan, menunggu kendaraan yang bisa membawanya sampai ke desa Kabanbay Batyr. Peluh mulai mengalir satu –dua dari dahinya, menganak sungai menuju dagu, membentuk butir-butir yang kemudian menetes membasahi sepatu dan lantai semen di bawahnya.
Sebuah mobil Mitsubishi Galant hitam metalik terlihat dari kejauhan sebentar kemudian. Ottmar segera melambaikan tangan, mobil itu melambatkan lajunya. Di Kazakhstan, semua orang boleh menggunakan taksi nonformal, tinggal melambaikan tangan dan negosiasi harga sesuai jarak yang di tempuh, semua jenis kendaraan bisa menghantarkan sampai tujuan. Ottmar segera naik begitu pemilik mobil membukakan pintu depan. Mobil itu menderu pelan sebelum akhirnya kembali merayap menyusuri jalan utama ibukota Astana.
***
Ruangan berukuran 4x4 itu terlihat begitu menawan dengan perpaduan warna cokelat pastel dan kremnya yang lembut.Tirai sederhana dengan warna senada anggun menghiasi jendela besar yang menghadap langsung ke jalan besar di samping rumah. Di pojok ruangan, sebuah pot berukuran sedang terlihat cantik dengan bunga krisan yang merumpun di atasnya. Ruang utama terasa ramai walaupun hanya tujuh orang yang terlihat duduk melingkar menghadap meja makan. Berbincang ringan, sesekali bercanda mencairkan suasana tegang. Memang ada satu orang yang merasa perlu di cairkan ketegangannya dengan candaan, seorang pria dengan jaket berwarna hijau tua.
“ Siapa tadi namamu? Ottmar?” seorang ibu dengan jilbab merah panjang datang dari belakang dengan membawakan mangkuk besar berisi kuyrdaw[2]. Pria itu mengangguk. “ tidak usah canggung, Ottan.. Eh, maaf, Ottmar. Kami di sini memang suka sekali bila kedatangan tamu. Bahkan hampir seluruh rakyat Kazakhstan, dan sebagai penghormatan dari kami, daging kuda selalu tersedia untuk tamu-tamu spesial.”
Ibu berkerudung merah itu tersenyum lebar, meletakkan mangkuk di tengah meja. Meja bulat berukuran sedang itu terlihat penuh sekarang. Sebelumnya secara berangsur dua gadis kecil membantu menghantarkan piring dan mangkuk berisibesbarmak[3], palaw[4], beberapa macam buah-buahan dan roti kering dari dapur. Sedangkan dua anak laki-laki lainnya menyiapkan meja dan gelas-gelas minuman.
“ Omong-omong barang apa yang di kirimkan Khan kemarin?” ayah dari mereka angkat suara, menuangkan air dari teko tanah liat. Ottmar tersenyum, “ barang-barang untuk perjalanan, paman.” Jawabnya berbohong. Terang saja, keluarga itu pasti akan bertanya ke sana - kemari begitu tahu isi barang kiriman itu. Ayah mereka mengangguk pelan. Ottmar kembali sibuk dengan daging kuda di piringnya. Lezat. Sebenarnya, daging kuda ini tidak ada bedanya dengan daging sapi, hanya teksturnya saja yang lebih kenyal dan padat.
“ Hendak pergi ke mana memangnya?” ayah mereka kembali bertanya. Ottmar menghentikan suapan, cepat menelan makanan di mulutnya. “ ee.. mungkin ke Rusia, paman.”
Ayah mereka mengangkat alis, “ Rusia? Sedang ada perlu apa?” Ottmar mengutuk jawabannya sendiri dalam hati, kenapa pula ia jujur sekali. Ottmar tersenyum kering, menggaruk kepalanya yang entah gatal atau tidak.
“ Ee.. jalan-jalan, paman.” Ayah mereka mengangkat alis lagi, mengangguk-angguk. Ottmar menelan ludah,untung saja sampai acara makan selesai orang tua itu tidak bertanya lagi.
Terakhir, sebagai penutup tradisi menjamu tamu mereka yang orang Kazakh sendiri menyebutnya sebagai konakasy, ibu berkerudung merah itu menuangkan susu kental dari wadah yang terbuat dari kayu. Ottmar dapat mencium aroma asam dari gelas kecil yang di sodorkan kepadanya.
“ Ini susu kuda, Ottmar. Namanya kymyz, susu kuda yang sudah di fermentasi. Rasanya, lezaat... Kau belum pernah mencobanya, bukan?”
Ottmar menelan ludah, menatap jerih keluarga kecil itu yang kompak menenggak susu kuda di gelasnya masing-masing sampai tandas tak tersisa. Ottmar menutup hidung, menghabiskan susunya dengan susah payah.
Ottmar berpamitan setelah acara makan bersama selesai, ayah dan ibu berkerudung itu menghantarkan sampai pintu, empat anak mereka mengikuti.
“ Hati-hati Ottmar, kalau ada waktu jangan sungkan-sungkan untuk datang kembali. Oh iya, sampaikan salam kami ke Khan. Ya tuhan, ia sekarang sibuk sekali, bukan?” Ayah mereka tersenyum, menepuk pundak Ottmar. Ottmar mengangguk, jahil menjawil pipi gadis kecil yang berdiri memegangi rok ibu berkerudung merah itu. Tertawa melihatnya malu-malu beranjak bersembunyi.
“ Insya Allah bila bertemu nanti Ottmar sampaikan.” Ottmar beranjak menyalami keluarga kecil itu, tersenyum lebar, memperbaiki posisi kardus panjang berukuran besar di tangan kirinya. Melangkah pergi.
***