HILANG

rizky al-faruqi
Chapter #11

GƏZƏN

Seorang pria dengan baju panjang menghempaskan punggungnya pada sebatang pohon, membuka kantong air minum. Menenggaknya beberapa kali. Air mengalir melewati jakunnya yang bergerak naik turun, perlahan membasahi baju lusuhnya. Sejenak laki-laki itu memejamkan mata, menghirup udara segar. Dari raut wajahnya tampak sekali ia baru saja melewati perjalanan panjang. Lantas menyelonjorkan kaki, merenggangkan otot-ototnya yang sakit.

Belum selesai laki-laki itu melepas letih, seseorang berlari terengah dari satu arah dengan baju kotor bernoda merah. Wajahnya pucat. Laki-laki itu berdiri, menghadang lajunya. Menenangkan. Orang tua berbaju kotor itu terlihat cemas sekali.

“ Tenang, tenang, pak. Ada apa ini?” tanya pemuda itu menyelidik.

“ Anak saya, tuan. Mereka membawanya pergi.” Orang tua itu menyeka peluh di dahi, berseru tertahan.

“ Mereka siapa?” laki-laki itu sudah bersiap, meraba pedang di pinggang.

“ Oh, bukan. Dia satu orang. Benar, tuan. Dia satu orang, berambut gondrong_”

“ Ke arah mana?!” laki-laki itu cepat menyela, membuat orang tua itu gelagapan menunjuk jalan di depannya. Dan sebelum orang tua itu sempat berkata-kata lagi, laki-laki berbaju panjang itu sudah melesat mengikuti arah tangannya.

                                            

***

Ottmar berlari lebih kencang, terus mengatur nafasnya yang memburu. Si pelempar lobak membawa pergi gadis kecil itu diam-diam ketika menyadari kedua anak buahnya akan segera kalah. Ia tahu, hanya dengan cara itu sang ayah akan rela memberikan apa saja demi keselamatan anaknya. Dan pemuda berjaket itu pun pasti tidak akan berani menyerang jika anak itu ada bersamanya. Di balik karung yang membawa gadis kecil malang itu, si pelempar lobak menyeringai penuh kemenangan.

Ottmar mendengus begitu si pelempar lobak terlihat, terus memperpanjang langkahnya. Pemuda itu berpikir cepat. Pilihan terbaik adalah menghentikan penjahat itu sekarang juga. Tanpa mengurangi kecepatan Ottmarsegera mempersiapkan busurnya, menarik satu anak panah terbaik. Tapi, ia tak mau membunuh di negara asing. Kalau melanggar undang-undang, semua akan menjadi rumit. Hukuman bunuh tidak untuk semua pelaku kejahatan. Ottmar terus memperpanjang langkahnya, belum mengangkat busur. Si pelempar lobak berbelok, memasuki gang kecil. Meliuk-liuk melewati beberapa belokan. Ottmar susah payah mengikuti.

Ottmar terus berpikir keras. Bagian tubuh tidak mungkin. Karung itu terlalu besar hingga menutupi seluruh punggungnya. Sejenak matanya tertuju pada bagian kaki. Benar juga, tapi terlalu sulit untuk membidiknya. Bagaimanalah membidik dua kaki yang saling membalap dengan posisi berlari seperti ini? Target bergerak yang tidak di harapkan.

Si pelempar lobak lebih kencang berlari, sudah biasa baginya berkejar-kejaran seperti ini. Ayolah, kejar saja sekuatmu.Si pelempar lobak berteriak dalam hati. Senyumnya merekah di antara peluh yang membuncah sana-sini. Di belakang, Ottmar memperlambat langkah tiba-tiba, bersimpuh dengan satu kaki. Ia menemukan cara itu.

Ottmar membidik ke arah kaki, mengatur nafas. Ia hanya punya beberapa detik atau si pelempar lobak itu berhasil membawa pergi gadis kecilnya. Ottmar tahu apa yang harus ia lakukan. Membuka mata kirinya.

SHUUUTTT....!!

Anak panah meluncur deras. Membelah angin. Melesat cepat mengikuti arah mata birunya.

“ AAARRGGHH...!” Si pelempar lobak jatuh tersungkur. Berguling bersama karung besar yang terlepas dari tangannya. Terseret beberapa meter terbawa gaya pegas yang terhenti tiba-tiba.Si pelempar lobak mengerang kesakitan, memegangi betis kirinya yang tertembus anak panah. Darah segar mengalir deras membuat anak sungai di tanah yang berdebu. Ottmar tersenyum dari kejauhan. Berlari menghampiri.

***

Laki-laki berbaju panjang berhenti terengah di pertigaan jalan. Ia kehilangan arah. Sejenak, ia menunggu barangkali ada seseorang yang lewat. Sepuluh menit. Hanya ada dua orang yang terlihat dan mereka semua mengaku tidak bertemudengan orang yang membawa anak kecil. Laki-laki berbaju panjang mendengus. Suasana sekitar benar-benar sepi. Laki-laki itu berpikir cepat, memilih salah satu jalan.

Belum saja ia berbelok, seseorang terlihat dari kejauhan. Laki-laki itu menghentikan langkahnya. Menatap tajam. Orang itu berambut gondrong. Dan, seseorang di belakangnya. Dengan tubuh kecil berdebu. Terkulai lemah di punggungnya. Tanpa berpikir dua kali laki-laki berbaju panjang itu bagaikan menemukan mangsa, berlari kencang sambil menghunus pedangnya. Dia yakin itulah anak bapak berbaju kotor tadi.

***

Ottmar berjalan tertatih. Rambut cokelat pekatnya terurai panjang, menutupi sebagian wajahnya yang terlihat begitu letih. Tangannya erat memegangi gadis kecil yang terkulai di punggungnya. Sejenak, pemuda itu menatap jalan yang lengang di hadapannya. Hanya ada satu orang yang terlihat, berlari mendekat. Astaga. Ottmar memperjelas pandangannya. Kenapa dia menghunuskan pedang?

Ottmar mengendurkan tangannya, bergerak memindahkan anak itu ke atas tanah, membaringkannya perlahan. Bertatap mata tajam. Siapa lagi musuh yang datang?! Ottmar bersiaga, tangannya memegang erat katana. Sosok berbaju panjang itu semakin dekat. Ottmar semakin merapatkan tubuhnya ke tanah, bersiap melompat.

Persis ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah, Ottmar melontarkan kedua kakinya. Menyambut sosok berbaju panjang itu. Pedang-pedang mereka tajam membelah angin.

TRAAANGGG...!!!

Ottmar menjejakkan kakinya di atas tanah, tersenyum sinis. Kekuatan benturan itu mengingatkannya pada paman Alp saat mereka mengadu jurus di hutan bambu. Laki-laki berbaju panjang itu cepat berbalik arah, kembali menyerang. Ottmar berlari menuju anak kecil itu, menggendongnya dengan satu tangan, menahan serangan dengan tangan lainnya. Ottmarmemberi isyarat agar laki-laki itu menahan serangannya.

“ Sebentar. Aku tidak mau gadis kecil ini terlibat. Biarkan ia menjauh dari sini.” Ottmar cepat membawa gadis kecil itu, tidak menunggu jawaban, menyenderkannya pada sebuah tembok rumah.

“ Sebaiknya kau serahkan gadis kecil itu sekarang juga.” Laki-laki berbaju panjang itu berkata dingin.

Ottmar tersenyum sinis. “ kau pernah merasakan katana?”Laki-laki itu menggeleng, tidak tahu apa itu katana.

“ Kemarilah, aku beri tahu kau rasanya katana. Aku sudah mencobanya beberapa kali.” Ottmar tertawa. Laki-laki itu tidak mendengarkannya, kembali menyerang dengan kekuatan penuh.

***

Matahari semakin naik di atas kepala.

Ottmar meringis menahan serangan dari atas. Berkelit, membuangnya ke arah lain. Laki-laki itu cepat menyerang lagi. Ottmar menangkis kuat. Berputar. Melancarkan tendangan belakang. Laki-laki itu terbatuk, mundur beberapa langkah, tersenyum sinis.Ottmar mengatur nafas, menyeka darah di dahi. Ia salah, laki-laki itu bukan orang sembarangan. Kekuatan mereka benar-benar seimbang.

Ottmar memasang kuda-kuda rendah. Tak mau berlama-lama lagi. Ia harus segera menyerahkan gadis kecil itu kepada ayahnya dan melanjutkan perjalanan. Ottmar merentangkan tangan, menyatukan keduanya di sisi wajah dengan katana terarah sempurna ke depan. Ittouryuu Tatsu Kaen. Laki-laki berbaju panjang itu menggenggam pedangnya erat. Bersiap menyerang lagi.

Gadis kecil itu masih terlelap.                                                                                                     

Saat keduanya sudah bersiap melontarkan kaki masing-masing. Saat katanaOttmar mungkin akan mengakhiri nyawa laki-laki berbaju panjang itu. Bapak penjual daging datang dengan nafas naik turun, terengah menahan beban badannya yang besar.

“ HENTIKAANNN.......!!!”

Orang tua itu menghentikan langkah. Tersengal. Menopang badan dengan satu tangan di lutut.

“ Kumohon hentikan, tuan...” satu tangannya lagi terarah lurus ke depan, memohon agar kedua pemuda itu menghentikan pertempurannya. Laki-laki berbaju panjang itu menatap terheran. Ottmar cepat menyarungkan pedangnya. Berlalu menghampiri gadis kecil itu dan menggendongnya. Laki-laki berbaju panjang itu tidak beranjak sedikit pun, masih terheran. Kenapa pemuda bermata aneh itu meninggalkannya?

Ottmar menggendong gadis kecil itu perlahan, tertatih membawanya menuju bapak penjual daging. Menyerahkannya. Orang tua itu membulatkan mata, berbinar-binar menggendong gadis kecilnya. Membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih berulang. Ottmar tersenyum saja, mengelus lembut kepala gadis kecil itu. Laki-laki berbaju panjang semakin terheran, ragu-ragu menyarungkan pedangnya.

“ Hei, pak tua. Bukankah dia yang kau cari?”

Bapak penjual daging itu menatap laki-laki berbaju panjang, tersenyum.

“ Kau keliru anak muda. Bahkan dialah yang menyelamatkan gadis kecilku ini.”

Laki-laki itu menahan nafas. Menatap Ottmar dan orang tua itu bergantian. Ottmar menyungging senyum, berjalan menuju laki-laki itu.

Lihat selengkapnya