Ottmar termenung sendiri di dalam sel tahanan. Memainkan sepotong ranting kecil yang masuk terbawa angin melewati celah jendela jeruji di atasnya. Menatap kosong sel tahanan lain di depannya dari balik pintu jeruji.
Sepi. Malam sudah tinggi. Tapi ia belum bisa memicingkan mata. Berbagai macam pertanyaan muncul silih berganti, menghunjam bagaikan ribuan titik air hujan yang menderas di luar.
Ottmar mendesah, menarik sehelai kain dari atas kasur tipisnya. Berselimut. Menenangkan suasana hatinya yang gundah gulana. Ritme jutaan bulir air hujan yang menerpa atap dan tanah berbatu di luar menambah runyam perasaannya. Ottmar mendesah lagi. Entah yang ke berapa. Berusaha melepaskan perasaan itu dari dalam hatinya.
“ Mata itu mungkin dari setiap seratus orang penduduk dunia ada satu orang yang bermata seperti itu.”
Ottmar menekuk kepala. Memandangi ranting di tangannya. Bukankah ayah sendiri yang bilang mata itu hanya di wariskan lewat jalur keluarganya? Dulu ayah juga bilang ia tidak punya saudara, apakah ayah berbohong lagi?
Ottmar memandang langit-langit sel. Mengikuti seekor cicak yang terlihat mengendap-endap. Mencari makan malamnya. Apakah wasiat ayah ini bohong juga? Sudah dari awal ia begitu ragu, tapi ibu dan paman Alp menepis keraguan itu jauh-jauh.
Hujan di luar semakin menderas. Cicak itu belum juga mendapatkan mangsa. Ottmar menekuk kepala. Terbesit rasa menyesal dalam hati. Lihatlah. Apa hasil dari semua ini? Jejak yang di tuju sudah di bawah pijakan kaki, tapi malah bukan pada tempat yang diinginkan. Bahkan,bisa jadi besok adalah hari terakhirnya.
Ottmar mendesah pelan. Merebahkan punggungnya di atas kasur tipis. Kembali memperhatikan cicak yang belum juga beranjak dari tempatnya. Bersabar menunggu umpan selanjutnya. Sejenak, ia merasa seperti di ejek oleh cicak itu. Lihatlah. Hewan itu merayap, menempel di dinding. Tapi ia dengan begitu sabarnya menunggu mangsa yang terbang. Tidak pernah menyerah ataupun nekat melompat untuk menangkapnya. Sedangkan dia? Apa yang dicari sama-sama berjalan di atas tanah. Tapi ia sudah berapa kali hampir menyerah dan berputus asa.
Ottmar berusaha memejamkan mata. Tapi bayang ayah selalu melintas di benaknya. Ah, kenapa ayah berbohong? Kenapa ayah memudarkan rasa ingin untuk menjadi sepertinya? Ottmar menghirup dinginnya angin hujan yang berhembus diam-diam. Menyelinap melewati celah jeruji jendela kecil.
Tapi, ah. Tiba-tiba ia terbayang ibu. Jika masih ada kesempatan, aku akan menayakannya pada ibu.
***
Ratusan tahanan memenuhi tempat duduk bertingkat amfiteater yang berbentuk lingkaran tanpa atap. Bersorak-sorai menunggu petarung yang akan mengadu nasib mereka pada tahun itu. Biasanya, setiap ada tahanan yang hendak di hukum mati, mereka akan di jadikan hiburan dengan diadu di arena gladiator. Dengan ketentuan yang dapat bertahan hidup sampai akhir akan di bebaskan dan hukuman mati akan di cabut.
Puluhan bahkan ratusan polisi terlihat ikut mengamankan para tahanan yang menonton. Para gladiator yang akan bertarung di siapkan dalam ruangan berbeda yang terhubung langsung dengan jalan menuju lapangan pertarungan. Termasuk Ottmar. Ia bukan di jatuhi hukuman mati karena membunuh lima tentara di hutan. Hanya saja jenderal polisi itu ingin melihat langsung bagaimana kehebatan pemuda itu yang bisa membunuh lima orang prajurit tentara dengan waktu yang begitu singkat. Tapi mungkin juga selebihnya.
Lonceng besar di pojok arena pertarungan di bunyikan. Sorak-sorai kembali membahana menyambut dua gladiator yang mulai memasuki arena berpasir itu. Satu dari mereka memakai topeng dan pengaman kaki yang terbuat dari besi, serta membawa tombak pendek dan tameng kecil bersenjatakan besi tajam pada bagian dalamnya. KostumHoplomacus pada zaman Romawi. Sedangkan yang lainnya memakai kostumScissor, memakai baju besi beserta topeng dan baju besi pula. Bersenjatakan pedang pendek dan pisau berbentuk bulan sabit yang di hubungkan dengan tabung besi yang meliputi seluruh tangan sampai ke bahu.
Dua petarung itu langsung mengambil kuda-kuda. Semua menahan nafas menunggu aba-aba dari sipir pemukul lonceng. Dua petarung itu saling menatap tajam dari balik topeng besi masing-masing, mengayun-ayunkan senjata entah menggertak atau sekedar menghilangkan grogi. Pertarungan ini antara hidup dan mati. Berarti di antara mereka pasti ada yang mati, dan yang menang pun belum tentu selamat begitu saja. Bisa jadi mati pula karena luka yang begitu parah.
Lonceng kembali di bunyikan. Kedua petarung itu langsung melesat bagaikan anak panah yang di lepaskan dari busurnya. Gemuruh penonton ramai memenuhi langit-langit arena pertarungan.
Gladiator Scissor mengambil kesempatan lebih awal. Melayangkan pukulan tangan dengan pengaitnya. Menusuk ke arah jantung. Gladiator Hoplocamus ternyata sudah bersiap lebih dahulu. Membuang pengait dengan senjata yang terdapat pada tameng kecilnya, melanjutkannya dengan tendangan depan ke arah perut gladiator Scissor yang terbuka. Gladiator Scissor terjengkang ke belakang. Di sambut dengan gemuruh dukungan para penonton. Gladiator Hoplocamuscepat menyusulnya lagi dengan tombak yang menghunjam tepat ke arah dada Gladiator scissor. Tapi gladiator Scissor sudah lebih cepat kembali pada posisi siap. Menangkis dengan tangan besinya. Melancarkan sapuan kaki. Gladiator Hoplocamusmenghindar, membiarkan lawannya berdiri.
Gladiator Hoplocamuskembali menyerang. Mengayunkan tombak pendeknya dengan cepat. Gladiator Scissor berkelit, membuat langkah berputar untuk menghindari ayunan tombak itu. Lantas begitu mendapatkan celah, Gladiator Scissor mengait salah satu tangan Gladiator Hoplocamusdan mengeluarkan jurus andalannya. Gerakan menggunting.
Penonton berteriak ketika salah satu tangan Gladiator Hoplocamusterkulai dengan darah membanjiri lapangan berpasir itu. Lihatlah. Bahkan belum ada sepuluh menit petarung itu sudah bisa melumpuhkan salah satu senjata terpenting lawannya. Gladiator Hoplocamusmenyeringai menahan sakit setelah sempat berteriak sebelumnya, tidak membiarkan Gladiator Scissor tersenyum begitu saja.Tetap berusaha menyerang dengan satu tangan.
***
Ottmar tepekur menatap lantai di bawahnya. Sejak tadi masih terus berusaha menenangkan suasana hatinya yang gundah. Bukan karena ia takut dengan para gladiator itu, tapi bayang akan ayah masih belum bisa pergi dari pikirannya.Ottmar memejamkan mata. berusaha mengusir bayang itu jauh-jauh. Ah, ayah. Kenapa semuanya menjadi rumit sekarang.
“ Kau sudah siap, anak muda?”
Ottmar mengenali siapa pemilik suara itu. Jenderal polisi. Ottmar menoleh. Menemui jenderal polisi itu di sana. Laki-laki bertubuh besar itu tersenyum. Tapi di mata Ottmar itu bukan sebuah senyuman, melainkan seringaian hewan buas yang bersiap menyantap buruannya. Ottmar hanya mengangguk kecil, lantas kembali memalingkan wajah. Jenderal polisi itu melipat tangannya di depan dada.