Niigata, Jepang. Akhir 1993 M.
Ottmar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku baju, meringkuk berusaha menahan dinginnya angin yang berhembus sesekali. Sial, musim dingin baru saja datang di Jepang. Salju mulai tebal menutupi atap-atap rumah, pohon sakura yang mulai meranggas, jalan-jalan dan apa saja yang bisa di hinggapinya. Membuat semua menjadi putih. Ottmar kembali merapatkan baju tebalnya, meringkuk di bawah atap sebuah toko yang menghadap langsung ke jalan.
Sekilas, Ottmar terlihat seperti seorang pengemis yang juga duduk tidak jauh darinya, bersebelahan dengan tangga toko. Bedanya pengemis itu membawa wadah untuk menaruh uang, sedangkan ia tidak, itu saja. Selainnya, semua orang yang lewat dan melihatnya pasti menganggap ia seorang pengemis yang kehilangan kaleng uangnya.
Udara dingin kembali berhembus, Ottmar mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Berusaha mencari tempat yang lebih aman. Tapi yang terlihat hanya rumah dan jalan yang semakin memutih. Terlintas dalam benaknya, sebenarnya toko itu hangat. Sangat hangat, malah. Pemilik toko tidak akan membiarkan pengunjungnya memilih pakaian dengan bergetar kedinginan. Pemilik toko sudah memasang penghangat ruangan terbaik. Tapi, tidak mungkin ia ikut masuk ke dalam hanya untuk menghangatkan badan. Bisa saja sebenarnya, tapi dengan pakaian begitu pasti ia akan menjadi perhatian pengunjung toko atau kemungkinan terburuknya pemilik toko akan menelepon polisi diam-diam karena ada seseorang berpakaian buruk mondar-mandir tidak jelas di depat mesin penghangat.
Angin kembali berhembus. Ottmar menenggelamkan wajah di bajunya dalam-dalam. Ya Allah, jangan sampai aku mati kedinginan di sini. Lirihnya. Belum selesai ia mengucapkan doa, seorang gadis yang baru saja keluar dari toko itu berhenti persis di depannya. Memandanginya terheran.
“ Gomen misuta, u-oma tsukawanai no?” gadis itu bertanya hati-hati, takut menyinggung perasaan laki-laki di hadapannya.
“ Eh_?” Ottmar mendongakkan kepalanya, tidak paham apa yang di katakan gadis itu.
“ Gomen misuta, u-oma tsukawanai no?” Gadis itu cepat mengulanginya lagi, mengira suaranya barusan tidak terdengar jelas. Angin kembali bertiup, Ottmar merasakan giginya bergemeletuk sendiri. Gadis itu merapatkan tudung jaket bulunya. Ottmar masih bingung. Ia tidak mau bertanya dengan bahasa Azeri. Tapi tidak tahu juga gadis itu berbicara apa, hanya terdengar seperti orang berkumur.
“ Mm..” Ottmar gelagapan berusaha mencari bahasa isyarat untuk menjelaskan kalau ia tidak bisa berbahasa Jepang. Gadis itu langsung memahaminya.
“ Aa... Gomen’nasai..” gadis itu menutupkan tangannya di mulut, “ oh, sorry sir. You can’t speak Japanese?”
Ottmar semakin bingung di buatnya. Beberapa saat ia hanya semakin salah tingkah di perhatikan gadis itu gelagapan menjawab dengan bahasa inggris pula.
“ üzr istəyirəm ingilis dilində danışa bilmirəm. başa düşmürsənsə xahiş edirəm məni tərk etməkdən məmnun ol!”
Ottmar cepat menyuruhnya pergi, walaupun akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Tapi setidaknya Ottmar merasa sedikit lebih lega, seakan gadis itu mengerti apa yang ia ucapkan. Ottmar kembali menekuk wajahnya, tidak mau menatap gadis itu lagi. Tidak ada gunanya.
Tapi keadaan seperti berbalik 180 derajat. Raut gadis itu tiba-tiba berubah, berbinar-binar. Tanpa di sangka gadis itu malah beranjak duduk berjongkok di depan Ottmar. “ Sənin dilini başa düşürəm, aku memahami bahasamu, tuan. ” Lanjutnya.
Ottmar mengangkat wajahnya, menatap gadis itu terheran.
“ Eh, dari mana kamu tahu bahasa Azeri?”
Gadis itu membuka mulut, hendak menjawab cepat. Tapi, ia mengurungkannya. Lebih memilih tersenyum.
“ Aku pernah belajar banyak bahasa, tuan. Terutama negara yang masih berada dalam lingkup Asia.”
Ottmar mengangguk berulang, ikut tersenyum. “ Jadi kau orang Jepang asli?”
Gadis itu mengangguk, wajahnya tidak terlalu jelas di bayangi tudung jaket bulunya. Ottmar hanya terdiam, bingung hendak bertanya apa lagi. Angin berhembus kencang, Ottmar sekuat tenaga meredam getaran badannya di hadapan gadis itu.
“ Oh ya, kulihat tuan tidak memakai jaket bulu.” gadis itu sudah lebih dulu mengeluarkan sepasang jaket bulu beserta topi rajut dari kantong plastiknya sebelum Ottmar sempat menjawab, membuat pemuda itu terbungkam seribu bahasa.
“ xahiş edirəm bundan istifadə, edin, silakan pakai ini, tuan.”
“ Ah, tidak_”
“ Udara di sini sangat dingin, tuan.” Gadis itu cepat menyela sambil meletakkan jaket itu di pangkuan Ottmar. “ Malam nanti bisa sampai lima atau tiga derajat, tuan tidak akan kuat bertahan di sini hanya dengan memakai baju biasa. Lihatlah, bahkan bapak yang ada di seberang sana saja juga memakai jaket tebal.” Gadis itu menunjuk pengemis yang berada di sebelah tangga tadi. Ottmar hampir saja menepuk dahi, gadis itu mengiranya jauh-jauh datang hanya untuk mengemis dan lupa membawa jaket tebal lusuh seperti itu.
“ Tidak usah, nyonya. Anda pasti membelikannya untuk seseorang, bukan?” Ottmar cepat menyerahkan kembali jaket di pangkuannya. Gadis itu tersenyum sambil beranjak berdiri.
“Tidak usah khawatir, tuan. Aku bisa membelinya lagi. Lagi pula, tuan pasti sangat membutuhkannya bukan?”
Ottmar hanya bisa mengatupkan rahangnya kuat-kuat menahan angin kering yang kembali berhembus.
“ Ah, baiklah tuan. Aku harus segera pulang, masih banyak pekerjaan di rumah. Semoga jaketnya tidak kekecilan.” Gadis itu tersenyum lagi, melangkah pergi. Ottmar sampai tidak sempat mengucapkan terima kasih, hanya bisa menatap gadis itu semakin menghilang di telan kabut salju yang semakin menebal.
***
Musim dingin yang menyenangkan.
Ottmar berjalan santai menuju sebuah sungai yang mengeras bagian atasnya. Puluhan pohon sakura yang meranggas tampak berbaris rapi di kanan kiri sungai. Semua tampak hitam putih sekarang, terutama pohon-pohon sakura itu.
Ottmar membersihkan salju dari salah satu sisi bangku panjang, meletakkan buntalan kecil di atasnya. Ia sendiri duduk bersila di samping bangku panjang itu, menghadap langsung ke sungai, tersenyum kemudian. Menyendiri dengan alam adalah cara terbaik baginya untuk menenangkan suasana hati. Ottmar menghirup udara perlahan. Ah, dan ini adalah penyempurnanya.