Malam menjemput dengan selimut gelapnya.
Reiko merapikan jilbab merah mudanya, mematut diri di depan kaca besar. Sejenak memperhatikan mata kirinya yang berwarna biru. Gadis cantik itu menghela nafas, tersenyum. Dua lesung pipit cepat menambah manis kedua pipi kemerahannya.
Entah tiba-tiba bayang laki-laki kemarin seperti muncul di dalam cermin, membuatnya termenung sebentar. Ah, dia laki-laki yang periang. Seumur hidupnya, belum pernah ia menemukan laki-laki sebaik itu. Semua sifat dan perangainya benar-benar tidak terduga dari balik wajah tegasnya.
Reiko menghela nafas lagi. Sedikit menyesal tidak sempat menanyakan nama laki-laki itu. Tapi, setidaknya ia sudah bisa berbincang dengannya. Tidak sia-sia selama ini ia terus mempelajari bahasa aslinya.
Ia cepat-cepat memasukkan beberapa peralatan belajar ke dalam tas kecilnya. Ayah pasti sudah menunggu di rumah.
***
Ottmar termenung menatap butiran salju yang turun perlahan. Dengan sedikit penerangan lampu jalan, salju-salju itu masih terlihat satu persatu mulai turun lagi malam ini. Ottmar menarik nafas dalam-dalam, tersenyum. Reiko. Ia mengingatnya lagi.
Tidak. Ia bukan Reiko. Ottmar sudah mantap sekarang. Setelah perbincangan panjang kemarin, semua pertanyaannya sudah terjawab. Pertama, Reiko menyebutnya dengan Yuudai-san. Tidak salah lagi, ia adalah perempuan yang selama ini di lihatnya dalam mimpi, itu adalah pertanda. Kedua, Reiko memiliki mata biru sebelah. Ia juga mengaku bahwa keluarganya tidak ada satupun yang bermata seperti itu. Dan yang ketiga. Ini yang paling membuatnya yakin. Reiko hampir salah bicara kalau ia memang orang Azerbaijan. Ottmar tersenyum, tidak salah lagi, gadis itu adalah Aysel!
***
Reiko berjalan perlahan di tepian jalan. Sedikit menyesal. Kenapa ia tidak mau di antarkan oleh ayah tadi. Sebenarnya tiap kali belajar malam di rumah teman, ayah selalu menawarkan untuk menghantar. Tapi, tadi ayah terlihat sedang tidak enak badan. Maka ia memutuskan untuk menolak dan lebih memilih berjalan sendiri ke sana.
Reiko mempercepat langkahnya. Sesekali mengedarkan pandangan. Bayangan-bayangan buruk silih berganti terlintas di benaknya. Bagaimana kalau ada penjahat? Atau ninja? Reiko baru sadar kalau baru-baru ini sedang ramai berita ninja turun ke desa. Reiko bergidik ngeri.
Gadis itu meraba senjata andalan yang selalu siap di dalam tas kecilnya. Ah, untung saja ayah pernah mengajarkan senjata itu untuk berjaga-jaga. Tapi, baginya senjata itu tidak terlalu berguna untuk melawan seorang ninja. Reiko menghembuskan nafas perlahan, terus mempercepat langkahnya.
Tiba-tiba, tidak jauh di depan, sebuah bayangan terlihat mendekat. Reiko terkesiap, menghentikan langkahnya. Bayang itu semakin mendekat, derap langkahnya semakin jelas. Reiko berdebar-debar mengeluarkan Kusari-Gama dari tas kecil, melilitkan rantainya di lengan. Oh tidak, jangan sampai apa yang di khawatirkannya terjadi.
Reiko sudah bersiap mengeluarkan segala kemampuannya begitu sosok itu muncul dari kegelapan. Tapi yang terlihat bukanlah sesosok manusia berpakaian serba hitam layaknya seorang ninja, melainkan seorang wanita tua yang berlari terengah. Air mukanya terlihat ketakutan.
“ Tasukkeetee..!!”
Reiko menyelipkan Kusari-Gama nya di balik jaket, terheran melihat wanita tua itu.
“ Ada apa, ibu?”
Wanita tua itu tidak menjawab, malah menghambur memeluk Reiko. “ Tolong saya, anakku. Tolong saya!”
Reiko susah payah menenangkannya.