Dengan membawa beberapa bungkus daging kambing hasil masak di dapur rumah wetan, Kuswati berjalan pulang menuju rumahnya yang berjarak 10 blok dari rumah wetan.
Wedus maneh, wedus maneh! Kuswati mengeluh melihat bungkusan daging kambing yang dimasaknya dengan bumbu krengsengan. Lek ngene iki ndak heran, sak kampung lorone tensi dukur, kolesterol, stroke! Panganane ae modelan ngene iki tok!
(Kambing lagi, kambing lagi! Kalo gini ini, nggak heran satu desa sakitnya tekanan darah tinggi, kolesterol, stroke. Makanannya saja gini ini terus!)
Sembari berjalan pulang ke rumah membawa makanan yang dimasaknya sebagai berkat untuk orang yang datang ke pesarehan, Kuswati mengingat percakapannya dengan empat rekan kerjanya di rumah wetan.
Iki wes rong dino.
(Ini sudah dua hari.)
Untuk tiba di rumahnya, Kuswati harus melewati rumah Bude Nur yang sekarang sedang bersedih menunggu kabar mengenai Rere-cucu pertama perempuannya yang berumur 30 tahun dan masih belum menikah.
“Wid!”
Melihat Widayu-anak ketiga Bude Nur yang sedang keluar dan menyapu teras rumahnya, Kuswati mau tidak mau harus menyapa Widayu.
“Ya, Kus! Mau ke mana?” Widayu membalas sapaan Kuswati.
“Mau pulang.” Kuswati mengangkat bungkusan daging yang ada di tangannya. Tadinya Kuswati enggan mengangkat bungkusan itu, tapi Kuswati tahu dengan baik bagaimana Widayu itu yang tidak terlalu suka menerima pemberian orang lain terutama jika berhubungan dengan rumah wetan. “Ini bawa daging buat di rumah. Mampir ke rumah wetan, Wid!! Ada daging kambing kalo mau!”
“Nggak lah, Kus!! Di rumah juga ada banyak makanan. Ndak usah!”
Wes tak duga! Kuswati memasang senyumnya karena tahu dengan baik bagaimana Widayu itu. “Anakmu gimana? Udah ada kabar belum??”
Widayu menggelengkan kepalanya. “Belum, Kus! Orang-orang masih nyari tapi sama sekali nggak ada jejaknya.”
Kuswati terdiam sejenak mengingat momen terakhir di mana Rere terlihat datang ke Desa Sayu bersama dengan Widayu. Empat hari yang lalu, Bude Nur sakit. Yang tinggal bersama Bude Nur adalah Ana yang menjanda setahun lalu dan membesarkan dua anaknya. Ana bekerja sebagai penjual makanan sekaligus pengurus dua keponakannya dari kakak tertuanya: Tiwi yang bekerja sebagai TKW di luar negeri. Dua anak Tiwi: Akbar dan Baruna, semuanya sudah menikah. Akan tetapi karena sejak kecil sudah hidup hanya dengan Bude Nur dan Ana, baik Akbar dan Baruna masih bergantung pada Ana untuk masalah makanan. Jadi Ana menyediakan makanan untuk Akbar dan Baruna sebagai gantinya Tiwi-ibunya akan menggaji Ana setiap bulannya. Sementara itu Widayu tinggal bersama dengan anaknya di kota Jember, dan dua anaknya yang lain hidup terpisah dengan alasan pekerjaan.
Karena Ana kewalahan harus mengurus banyak hal, Ana meminta bantuan Widayu dan Rere untuk datang merawat Bude Nur yang umurnya sudah mendekati 80 tahunan.
Hari itu saat Rere hilang, semuanya berjalan seperti biasanya. Widayu datang bersama dengan Bude Nur ke rumah wetan memeriksa segalanya di pagi hari hingga siang hari. Kebetulan Ana hari itu mendapatkan banyak pesanan kue, jadi ada beberapa orang yang datang membantu di rumah. Sementara itu Rere yang juga membantu, membawa anak Ana yang paling kecil-Arsya berjalan-jalan. Pagi itu … Arsya terus menangis ketika ditinggal Rere, jadi Rere akhirnya membawa Arsya berjalan-jalan.
Rere mampir ke rumah wetan dengan berjalan bersama dengan Arsya dan pamitan dengan Widayu dan Bude Nur buat berjalan-jalan ke pesarehan. Dan satu jam kemudian … rumah wetan heboh karena Arif-petugas yang berjaga di pesarehan datang ke rumah wetan dengan membawa Arsya yang terus menangis. Arif dan Kuswati kemudian mengantar Arsya ke rumah Bude Nur sembari menjelaskan kejanggalan dipesarehan.
“Loh, loh!! Arysa kok bareng Mas Arif?” tanya Widayu panik. “Anakku-Rere mana?”
“Lah iki sing aku bingung. Arsya kok dewenan di pesarehan, dik!”
(Ini aku yah bingung. Arsya kok sendirian di pesarehan, Dik!)
“Eh??” Widayu tambah bingung. “Lah tadi yang bawa Arsya, Rere-anak pertamaku, Mas. Lah kok Rerenya ndak ada??”
Mendengar percakapan Widayu dan Arif, jelas semua orang langsung panik. Widayu langsung lari ke rumah, mencari hpnya dan berusaha untuk menghubungi Rere. Dari cerita Widayu, Rere biasanya selalu membawa hpnya karena pekerjaannya. Tapi entah bagaimana kali ini, Rere meninggalkan hpnya di kamarnya begitu saja.
“Gimana Mbak??” tanya Ana yang juga sama paniknya.