Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke rumah wetan dan mengerjakan tugasnya sebagai juru masak, Kuswati sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya dengan niat ingin menjenguk Rere-cucu Bude Nur.
“Assalamualaikum.” Kuswati yang sudah menyiapkan beberapa bungkusan makanan sepert roti dan susu sebagai bentuk ramah tamah dalam adat menjenguk, berharap kali ini bisa bertemu dengan Rere-cucu Bude Nur.
“Waalaikumsalam.” Orang yang membukakan pintu adalah Widayu-Ibu dari Rere sekaligus anak ketiga dari Bude Nur. “Oalah, Kus! Ada apa pagi-pagi begini?”
“Ini, Mbak.” Kuswati mengangkat bungkusan yang sudah disiapkannya untuk bertemu dengan Rere-anak Widayu. “Mau jenguk anaknya, Mbak.”
“Oalah. Repot-repot begini, Kus! Ayo masuk saja ke dalam. Anaknya lagi ngadep laptop karena kerjaannya ada yang ketunda selama tiga hari ngilang.”
Widayu mengajak Kuswati masuk ke dalam rumah milik Bude Nur yang notabene Kuswati sudah tahu seluk beluknya. Karena tradisi ‘rewang’ saat ada acara apapun baik pernikahan, sunatan dan kematian, hampir semua orang selalu melakukannya dan berkat itu hampir semua rumah di Desa Sayu diketahui oleh Kuswati.
“Re, ada yang jenguk.”
Begitu sampai di kamar di mana Rere tidur, Widayu langsung menepuk bahu Rere karena di kedua telinganya terpasang penyuara telinga.
“Ya, Ma??”
“Ini ada yang jenguk.”
Rere tersenyum sebagai bentuk sapaannya dan Kuswati pun membalas dengan senyuman juga.
“Kamu nggak papa, nduk??” tanya Kuswati penasaran.
“Nggak papa.” Rere melihat ke arah Widayu dengan tatapan penasaran. “Aku harus manggil apa, Ma?”
“Bulik,” jawab Widayu.
Rere menganggukkan kepalanya sebelum mengulangi ucapannya pada Kuswati. “Nggak papa, Bulik.”
“Maaf, Kus. Anakku yang pertama ini sama sekali nggak bisa bicara jawa dan nggak hafal mana saudara mana bukan. Jadi kalo ketemu orang-orang di sini, biasanya tanya aku dulu buat manggil.”
“I-iya. Nggak papa, Mbak.” Kuswati memasang senyumnya sembari melihat ke arah Rere dengan laptopnya yang terus menyala. Ra nduwe unggah ungguh ncen e!
(Nggak punya sopan santun, dasar!)
“Maklum saja, Kus! Rere sama Lia kan kalo berkunjung ke sini cuma sebentar.”
“Ya, Mbak.” Kuswati mengangguk menunjukkan rasa pahamnya meski dalam hatinya merasa sedikit kesal karena Rere yang terlihat sama sekali tidak menghormati dirinya. Tapi karena rasa penasaran, Kuswati masih berusaha bicara dengan Rere. “Kemarin selama tiga hari hilang, nggak ingat apa-apa??”
“Nggak, Bulik.”
“Pas balik nggak bawa apa-apa??” tanya Kuswati lagi.
“Bawa apa? Emangnya aku harus bawa apa-apa, Bulik?” Rere berbalik bertanya pada Kuswati.
“Yah nggak sih. Cuma biasanya orang yang hilang dadakan kayak kamu kemarin, pulang-pulang bawa sesuatu. Biasanya keris, dulu malahan ada yang bawa giok.” Kuswati berusaha menjelaskan. “Kamu nggak bawa apa-apa kan, Rere?”
Rere memiringkan kepalanya. “Nggak bawa apa-apa kok, Bulik. Kalo Bulik nggak percaya, tanya aja sama Mama.”
Kuswati memasang senyumnya melihat bagaimana Rere melihatnya dan menjawab pertanyaannya. “Ya, ya, Bulik percaya kok.”
Setelah puas dengan rasa penasarannya, Kuswati kemudian berpamitan pada Rere dan Widayu. Kuswati juga mampir ke kamar di mana Bude Nur berada, menyapanya dan tak lupa juga menyapa Ana yang sedang memasak di belakang.
“Nggak sarapan dulu, Kus??” tanya Widayu.
“Nggak, Mbak. Udah sarapan kok tadi di rumah.”
Pertanyaan mengenai makan, sarapan, sudah jadi kebiasaan bagi orang-orang desa termasuk dengan orang-orang di Desa Sayu. Jadi ketika pertanyaan itu ditanyakan, orang-orang akan menjawab dengan jawaban tidak karena sudah tahu bahwa pertanyaan itu ditanyakan hanya sebagai bentuk ramah tamah semata.