“Bapaaaaak!” teriak Ibu.
Aku terperosok ke depan hingga membentur kursi Bapak secara mendadak. Mata Iqbal terbelalak ke depan, begitu juga dengan Ibu. Iqbal memeluk Ibu dengan erat, bahkan mengubah posisinya ke ujung pintu. Mbak Ila teriak nyaring. Bapak coba membuka pintu mobil, namun tampaknya dia mengurungkan niatnya. Tangan sopir bergetar di kemudinya. Aku membenarkan posisiku dan coba mengintip atas apa yang terjadi di depan kami. Aku terkejut dan segera memeluk Ibu dengan erat, bahkan kami sebandung masuk ke kerudungnya.
Rasanya jantung ini berdegup kencang. Bagaimana tidak terkejut dan takut? Aku sedang lelap tidur, tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Lalu kulihat ada dua sedan hitam di depan kami menutupi jalan kami yang sedikit menanjak itu. Dua pria bertopeng hitam berjalan ke arah mobil kami. Salah satu pria membawa batang kayu seukuran lengan tangan orang dewasa. Sedangkan yang lainnya menodongkan pistol ke arah kami. Kuintip lagi, namun berusaha tidak terlihat. Mereka semakin mendekati mobil kami. Ibu bergetar, meski tangannya mengelus-elus keempat anaknya.
Kuintip lagi. Bapak hendak membuka pintu, tetapi jendela pintu itu dipecahkan oleh pria yang membawa sebatang kayu. Pemilik nama Arfandi Sutomo itu melindungi kepalanya, karena pecahan kaca itu bertebaran ke dalam tepat di depannya. Ketika Bapak membuka tangan berotot yang melindungi dari kepalanya dan hendak memukul orang yang memecahkan kaca, hantaman keras tertuju padanya oleh orang yang menjadi targetnya.
Usaha juga dilakukan sopir yang berada di depanku itu, hendak keluar mobil. Namun satu peluru terlontar dari pistol lalu menembus kaca pintu sopir. Dan terdengar suaranya yang seakan teriak. Tapi itu bukan teriak, suara itu lebih terdengar serak, lalu hening.
Di tengah kekacauan itu, mobil kami terasa bergoyang. Ibu semakin erat memeluk kami berdua, begitu pula kami. Mbak Ila masih teriak dengan kerasnya. Sementara itu terdengar suara terengah-engah di samping Mbak Ila. Mobil berguncang semakin keras. Tak terduga, dari sebelah kanan muncul cahaya dan angin kencang, serta suara suatu benda yang patah. Di dalam kerudung ibuku, kulihat mata Iqbal terbuka lebar dan bibirnya bergetar kencang.
Aku melihat Iqbal ditarik oleh seseorang dan dia pun mengerik kencang, "Ibuuuuu!" Ibu pun ikut teriak, "Jangaaan!"
Napasku tak lagi lambat dan aku pun keluar dari kerudung Ibu. Mobil tak lagi berguncang, namun pintu sebelahnya telah lepas. Orang-orang asing itu tak lagi di sekitar mobil kami. Mereka lari ke dua mobil sedan hitam di depan mobil kami. Kulihat Iqbal digendong salah satu anggota dari kelompok itu. Iqbal berteriak dan memukul-pukul badan pria berpistol itu, tetapi tetap kesulitan untuk lepas.
Bersama deruan detak jantungku, kukeluar dari mobil. Ibu hampir menahan bajuku, namun aku sudah lari ke arah mobil sedan. Dia meneriakiku, "Jangan ke sana! Kembaliii!"
Aku memasang sikap kuda-kuda depan. "Hei! Kembalikan kembaranku!" Sebenarnya tanganku bergetar.
Namun mereka menyernyitkan dahi. Lalu saling memandang satu sama lain dan kembali memandangku dengan memiringkan kepala mereka. Salah satu pria membuka topengnya dan berganti topi – sebelumnya bersama pria pembawa batang kayu di sebelah kiri mobil kami – menodongkan pistol ke arahku. Tak lama, seseorang berkacamata hitam keluar dari dalam mobil, lalu menurunkan tangan pria itu namun tetap memperhatikanku. Pria berkacamata hitam itu menatapku lama. Kulihat janggutnya yang berbulu tipis, namun berkumis tebal.
Yakin dalam hatiku saat itu, diriku berdiri di hadapan mereka.
Aku melihat Iqbal sudah di dalam mobil itu. Ya, mobil itu.