Kuberjalan sendiri, lalu berhenti di kantin atas danau kampus. Siang itu aku sudah berjanji makan bersama Yayat, Sofyan, Gery, dan Dimas di situ. Kami membahas terkait perpindahan kami ke kontrakan. Aku menyebutkan barang-barang yang perlu dibeli untuk bersama.
"Eh, maaf. Sebentar ya, Guys! Sebentar!" Gery mengangkat tangan kanannya tak lama dari kami mengobrol. Lalu dia berjalan keluar. Kami berempat hanya saling menoleh.
Muncul seorang wanita seusia kami, dengan potongan rambut lurus hitam sebahu tersenyum pada Gery. Lalu dia melambaikan tangan pada Gery seperti lambaian tangan Puteri Indonesia. Gery tampak senyum-senyum tanpa menampakkan giginya, sempat menunjuk kami sekali, namun wanita berkulit putih langsat itu tidak memandang kami. Mereka mengobrol dengan beberapa senyum dan tawa. Wanita itu berbicara dengan menggerak-gerakkan tangannya, ketika tertawa dia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Sesekali melambai ke arah Gery, seakan menampar dada bidangnya – ya, dada bidang, karena Gery memang berbadan atletis, dia atlet renang dan sempat mewakili kampus kami di kejuaraan provinsi hingga nasional. Wanita itu melambai seperti saat mereka awal bertemu, lalu pergi.
Beberapa saat kemudian, Gery kembali duduk di kursinya. Delapan mata kami langsung menyorot ke mata Gery seketika. Gery menggulingkan kedua bola matanya ke mata kami satu per satu. "Cuma teman. Teman kelas kecil." Dia tampak menahan senyum setelah mengatakannya dan pipinya yang sawo matang tampak sedikit memerah.
Akhirnya, makanan pesanan kami telah tiba dan empat gelas es teh manis, serta satu gelas teh hangat juga sudah siap untuk dinikmati. Kami menyantap hidangan masing-masing dengan sedikit gurauan untuk Gery. Pipinya semakin memerah dan kami pun semakin semangat untuk meledeknya. "Dengar! Dia cuma teman sekelas kecil, itu saja. Gue juga enggak ada perasaan apapun." Tangan kirinya mengelus-elus leher samping kirinya dan pipinya yang tetap memerah. Kami berempat tertawa.
Ragam makanan kami itu telah dibereskan oleh petugas kantin. Hanya bersisa es teh kami yang mulai semakin bening, serta teh hangat Dimas yang masih ¾ gelas.
Aku mengeluarkan buku sketsaku, untuk menuliskan barang yang hendak kami beli – terkadang aku memanfaatkan barang yang ada untuk mencatat. Berbagai wajah kulewati hingga kutemukan warna putih kosong.
Namun ternyata Dimas memperhatikanku. "Wan, coba lihat buku sketsa lu, dong!" Dimas mencondongkan dagunya sedikit ke depan. Alis kiriku naik sedikit, lalu kuserahkan buku sketsa bersampul plastik hitam keras itu. "Wuih, banyak banget sketsa wajahnya. Ini wajah siapa saja to?" Dia membuka lembaran-lembaran dengan perlahan.
"Kalau saja lu tahu, sebenarnya sebagian besar dari situ bukan orang yang gue kenal. Gue suka iseng saja, tanya ke orang lain untuk mendeskripsikan seseorang yang berhubungan dengannya. Lalu coba gue sketsakan deh," jawabku.
"Urang teh1 pernah minta Ikhwan buat sketsain wajah Ambu2 loh, Dim," potong Yayat. "Masih ada kan?"
"Masih," jawabku.
"Eta bawa ka dieu!3" pinta Yayat untuk memberikan buku sketsaku padanya. Yayat membuka lembaran dalam buku sketsa itu lalu memamerkan ke Dimas. Dia mengambil ponselnya dan memperlihatkan layar ponselnya ke Dimas agar bisa dibandingkan.