Satu tahun kuliah di perguruan tinggi berbasis pertanian ini usai sudah. Mahasiswa baru angkatan ke-48 pun sudah berdatangan dan mengikuti MPKMB1, seperti aku dan mahasiswa lainnya. Namun aku dan teman-teman seangkatanku, tidak berhenti di tahun pertama saja untuk masa perkenalan ini. Pasalnya kami masih harus mengikuti serangkaian acara yang disebut MPF2 dan MPD3.
"ECONOMICS"; tulisan itu tertulis di papan tulis dan di bawahnya ada tulisan "ESP dan Eksyar", saat kami seangkatan departemen dikumpulkan di akhir masa kami kuliah tahun pertama. Acara kumpul ini digagas oleh himpunan mahasiswa dari depatemen kami. Pertama kali departemenku – Ilmu Ekonomi (IE) – mengadakan kumpul calon mahasiswa IE, aku mengajak Farid karena dia satu-satunya teman sekelas besarku dan selorong yang jurusannya sama. Kami duduk bersama di suatu kelas dan aku duduk di samping Farid. Kakak senior memberikan gambaran bagaimana pelaksanaan MPD.
Kemudian di sela-sela penjelasan itu, ada beberapa calon mahasiswa IE yang terlambat. Banyak di antara mereka adalah perempuan. Di antara perempuan-perempuan itu, tampak sesosok yang seperti tak asing dari ingatanku. Kulit putih langsat, rambut hitam lurus sebahu, mata sipit, dan bibir yang terpoles tipis; dan indah di kala tersenyum. Giginya tampak putih seperti warna gading dengan celah di gigi seri atasnya. Dia tersenyum lebar sambil berjabat tangan dengan perempuan yang lebih dahulu duduk di sebelahnya. Terlintas tatapan singkatnya ke sekelilingku. Kukembali fokus pada kakak senior yang berbicara di depan. Kuintipnya lagi dengan sedikit kucondongkan badanku, namun sebagian besar masih tertutupi badan Farid.
Aku korek-korek tasku, lalu kuambil buku sketsa yang sebagian besar ada wajah di setiap lembarnya. Kubuka dan terus kubuka. Farid menoleh ke arahku. Kutengok sebentar, lalu kulanjutkan pekerjaan membuka lembaran sketsa itu.
Lembaran itu adalah coretan pensilku ketika di kantin bersama segerombolan pria sekontrakanku.
Itulah yang kubandingkan dengan gadis berambut hitam lurus itu. Pada saat kulirik lagi, dia tepat menghadapku dan tersenyum. Bukan main, dada ini seperti ada desiran ombak pada pasir putih di Pantai Seminyak. Pohon kelapa di tepi pantai meliuk-liuk sesuai irama lagu ‘Love Song’ dari Adele, lalu daun-daun melindunginya dari serangan sinar matahari yang siap menggelapkan kulitnya. Angin sepoi merambat ke setiap helai rambutnya, sehingga terhempas begitu bak daun-daun pohon kelapa itu. Aroma segar menyelinap di sela-sela rambut.
Duh, sebentar, tapi ini aroma busuk. Ah, sial! Farid meminta maaf padaku karena dia buang angin. Suasana Pantai Seminyak itu hilang seketika, karena aroma busuk dari dubur pria di sebelahku ini; kampret!
Akhirnya pertemuan itu selesai, lalu aku mengantre untuk keluar ruangan; berdesak-desakan memang. Sesampainya di pintu keluar, ada sentuhan di pundakku. Farid lah itu dan dia bilang mau ke toilet dulu sambil meremas perutnya. Baguslah.