MPD sudah selesai dipersiapkan, datanglah liburan semester. Liburan semester bagiku sama saja dengan libur-libur biasa. Hanya saja, liburan ini lebih panjang dan bertemu dengan keluargaku di rumahku – Cemani, Sukoharjo (masih Solo Raya). Di sana akan ada Bapak, Ibu, dan kedua adik kembarku – Fitra dan Fitri.
Empat tahun sudah Mbak Ila menikah, ikut suaminya di Pekanbaru, tidak akan pulang saat aku liburan semester. Mbak Ila sibuk dengan profesinya sebagai bidan. Dia memang layak berprofesi itu. Dulu, aku dan Iqbal sering diurus olehnya; dibuatkan sarapan, dirapikan olehnya tempat tidur kami, bahkan hal yang tak lepas darinya adalah mendongeng untuk kami sebelum tidur. Ketika sepasang adik kembarku lahir pun, dia membantu Ibu untuk mengurusi mereka. Namun pernikahannya bersama suaminya yang berprofesi sebagai tentara itu, belum juga dikaruniai buah hati.
Mas Hafiz yang tinggal di Bekasi bersama istrinya, Teh Putri, pun tak akan pulang. Dia tentu sibuk dengan pekerjaannya sebagai kontraktor di Jakarta dan terkadang ada proyek ke Bogor – tapi tak pernah memberitahuku ketika dia ke Bogor. Istrinya pun sibuk sebagai dokter di sebuah rumah sakit di Bekasi.
Pada kenyataannya, meski rumah yang mereka tempati setelah sebulan menikah itu berada di Bekasi, aku belum pernah menginjak lantainya; bahkan batu kerikil di depan gerbang rumahnya. Padahal berapa sih jarak Bogor ke Bekasi dibandingkan Bogor ke Solo? Bukan karena aku tak mau ke sana. Pernah aku akan ke sana, namun ada saja alasan Mas Hafiz yang menjadikanku tak pernah bisa ke rumahnya; entah karena alasan apa.
Entahlah!
Rumah akan lengkap jika momen lebaran. Itu pun hanya beberapa hari dan tidak tepat ketika hari lebaran, karena suami Mbak Ila harus segera kembali ke Pekanbaru. Mas Hafiz juga harus kembali ke Bekasi karena dia dan istrinya harus segera bekerja.
Jadi kini tak heran jika aku pulang sendiri dengan kereta api. Kereta api ini melaju dari Stasiun Senen dan aku turun di Stasiun Purwosari. Kalau stasiun yang terkenal di Solo sih stasiun yang diabadikan dalam lagu ‘Stasiun Balapan’ oleh Didi Kempot. Lagu ‘Stasiun Balapan’ terngiang dalam benakku selama perjalanan kereta. Bukan karena kekasih, aku hanya teringat ketika aku meninggalkan kampung halaman untuk kuliah di Bogor. Ibuku hanya mengantarku sampai di Stasiun Solo Balapan.
Untung saja kala itu belum ada larangan pengantar masuk ke stasiun, sehingga aku bisa mendapatkan momen melihat aliran di pipi dari muara dalam mata ibuku. Kumelihatnya dari jendela kereta, karena aku duduk di ujung dekat jendela dan Bapak di sampingku. Kutersenyum pada ibuku, dengan harapan bisa menenangkan hatinya dan mengatakan dari hati bahwa aku akan baik-baik saja, seperti Mas Hafiz maupun Mbak Ila yang sudah lebih dulu jauh dari rumah. Fitra dan Fitri yang berada di samping ibuku melambaikan tangan mereka. Aku pun melambai sebagai balasan untuk mereka dan ibuku. Lalu sesampainya di Bogor, aku mengabari ibuku dan kedua adik kembarku pun ikut menimbrung. Bapak hanya menemaniku sehari, lalu dia sendirian ke rumah Mas Hafiz dan setelahnya dilanjutkan pulang ke rumah.
Aku ingat, sebelumnya kedua orang tuaku berjanji, jika aku mampu masuk perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia dan selama semester pertama memperoleh IPK di atas 3,00, aku akan dibelikan Ninja dengan warna biru. Syarat pertama masuk di salah satu perguruan tinggi yang dimaksud mereka telah terpenuhi. Kemudian syarat kedua pun bisa kupenuhi. Maka aku memperolehnya; aku juga menyumbang sebagiannya dari hasil lomba bela diriku selama SMA.
Namun bukan berarti aku pulang menggunakan motor itu pula. Bagiku, jika ada yang lebih memudahkan dan lebih nyaman, aku akan memilih itu. Maka kupilih pulang dengan angkutan kereta api.
Gerbong yang kupilih termasuk penuh sejak berangkat malam hari sekitar pukul 09.00-10.00 malam. Sebelahku saja ada tiga orang, padahal kursi ini muat hanya untuk tiga orang. Aku berada di sebelah jendela. Pemandangan yang tampak di jendela saat itu adalah hitam dengan lampu-lampu yang berseliweran.
Kuputuskan menggunakan kereta ekonomi dengan alasan lebih hemat, sehingga aku bisa menyisihkan dana pulang untuk simpanan. Risiko menggunakan kereta api jenis ini adalah satu kursi untuk tiga orang dengan sudut 90o dan elastisitasnya sama dengan busa yang membatu; fasilitas bukan AC melainkan AJ (Angin Jendela). Aku beruntung mendapat kursi karena jika tidak, bisa berdiri atau tidur di kolong dengan beralas koran seperti orang yang kepalanya hampir terinjak olehku. Risiko selanjutnya: menahan untuk tidak ke toilet karena ketika pergi ke toilet, tempat duduk akan ditempati orang lain; serta ringtone dari ‘pramugari’ – yang ikut berdesak-desakan dengan menenteng termos dan gendongannya – yang berbunyi "Akua.. Mijon... Akua...". ‘Pramugari’ lain menyahut, "Kopi... Popmi... Kopi, Pak". Bahkan ada ‘Pramugara’ yang menambah ringtone itu "Sayang anak... sayang anak...".
Akan tetapi, setelah terlelap karena sudah bosan mendengar ringtone para ‘pramugari’, guncangan kereta, pegalnya pantat di kursi 90o, dan juga sandaran kepala penumpang di sebelahku, aku pun terbangun karena cahaya matahari sudah menggelitik kulitku. Kereta tak lagi tampak padat penumpang. Tak lama, papan bertuliskan ‘PURWOSARI’ pun terlewat, lalu kereta berhenti. Aku segera menurunkan barang bawaanku berupa ransel dan bungkusan oleh-oleh. Kuturuni tangga kereta, lalu keluar dari stasiun.
Napasku kuatur untuk menghirup udara pagi itu. Kuhampiri mobil hitam yang terparkir di dekat pagar setelah kupastikan plat nomornya. Kuketuk pintu sopir dan keluarlah lelaki dengan kacamata dan polo shirt kelabu yang dimasukkan ke dalam celana bahan hitamnya. Dibukanya pintu belakang dan aku langsung duduk. Hening.
"Nek1 bisa ya sopan sedikitlah. Aku bukan sopir, Le."