Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #9

Ruang (2)

Sehari berselang, Mas Hafiz dan istrinya kembali beraktivitas seperti biasa. Aku ditinggal lagi di rumah. Sebelum mereka pergi, istri Mas Hafiz mengajakku sarapan bersama mereka, namun aku berpura-pura sibuk di kamar mandi. Tak lama, suaranya terdengar berpamitan. Mobil Mas Hafiz sudah keluar gerbang.

Empat detik kemudian, aku keluar kamar dan bergumam, "Inilah saatnya aku menuntaskan rasa penasaranku." Sebelum itu, aku sarapan dulu yang berupa sup hangat, dada ayam goreng, dan sambal terasi. Kenyang sudah, kini aku beraksi. Jarum jam kuputar 10.10, pintu kaca terbuka. Kali ini lampunya padam. Aku tak menemukan saklar ruangan itu. Aku keluar dari toilet mencari senter. Kukembali masuk dengan senter dan kutemukan saklar di atas jam dinding dalam ruangan. Kututup rapat pintu itu, ya jam pun memutar jarumnya ke 05.18 dan menutup kacanya.

Kuturuni anak tangga satu per satu. Sepi. Ruang di bawah tampak remang-remang. Senter kuarahkan untuk mencari saklar yang lain dan "ketemu," bisikku. Di ruang bawah itu ada beberapa meja kursi serta berbagai barang tertutup kain. Kudekati meja yang menempel pada tembok. Di atas meja ukuran sekitar 120 x 80 cm2 itu ada berbagai kertas bergambar konstruksi rumah dan bangunan. Kuamati secarik demi secarik. Ketika aku mengangkat selembar sketsa gedung seperti akuarium, ada tiga kain batik bermotif megamendung berbentuk persegi seukuran telapak tangan di bawahnya. Dua di antaranya sedikit terbakar di bagian ujungnya, namun motif dan warnanya masih tampak jelas yaitu sama-sama berwarna biru putih. Ada kertas ditempelkan di masing-masing potongan kain dan ada tulisan yang berbeda: G-398 (kain yang tak terbakar), I-137, dan L-083.

I, G, L, atau angka-angka itu aku tidak mengerti. Sekali lagi, ruang ini dan segala isinya mungkin hanya Mas Hafiz yang tahu. Aku meletakkan kain-kain itu lagi, lalu menelusuri sisi-sisi lainnya. Aku penasaran dengan sisi ruang di ujung yang tidak terkena sinar lampu. Ruang itu memiliki bagian miring di sampingnya hingga menyentuh 'langit-langit', namun bagian ujung bawahnya tidak begitu menyentuh lantai.

Lalu kusingkap kain kelabu yang menutupi benda di ruang ujung itu. Aku menyalakan senter. Oh, terkejut bukan main. Polesan benda dengan cat warna biru namun banyak goresan. Sudah tak ada lagi kain yang menutupinya dan Ninja-ku benar-benar nyata ada di depanku dengan bentuk yang sangat berantakan. Lututku lemas, meski aku juga merasa nyeri di bagian balutan benda putih di kakiku. Aku duduk di lantai yang kotor itu sambil mengusap motorku.

Aku mendengar suara mesin mobil Mas Hafiz. Aku segera meninggalkan ruang bawah itu tanpa menutup kembali motorku dengan kain, tanpa mematikan semua lampunya, dan tanpa menutup lagi pintu rahasia itu. Mas Hafiz mematung menatapku saat aku keluar dari toilet dapur. Aku tidak bisa melemaskan wajahku. Masih dengan sedikit lemah pada kakiku, tetap kucoba untuk mendekati Mas Hafiz dengan cepat.

"Satu hal yang ingin aku tanyakan. Mengapa Mas Hafiz sembunyikan semua ini?" tanyaku sambil mendekatkan kunci yang kucabut dari motorku ke wajahnya.

"Dengarkan!" Mas Hafiz memberi jeda dengan menghirup inhalernya. "Jika ada polisi yang menemukan motormu pasti akan menginterogasimu. Polisi akan mencarimu dan menginterogasimu karena bagaimana bisa motor masuk tol. Terlebih lagi, polisi akan curiga ketika mendapatimu di rumah sakit setelah kecelakaan di tol hingga kamu patah tulang, tapi sehari setelahnya kamu sudah banyak pulih seperti sekarang, padahal belum dilakukan operasi."

"Apaan sih, Mas? Mengasal kamu. Ikhwan sudah aku operasi kok malam itu, karena kebetulan tidak banyak pasien," sahut Teh Putri.

"Ruang itu jangan pernah kau masuki lagi! Tinggalkan kunci beserta motormu di sini! Aku akan mengantarkannya ke bengkel atau ketok magic setelah beberapa bulan berlalu, agar berita kecelakaan itu sudah basi di laporan kepolisian," pinta Mas Hafiz dengan wajah datar.

"Ini," balasku sambil meletakkan kunci motorku yang sudah tak ada gantungan kuncinya di meja makan. Dibalas Mas Hafiz dengan bergeming; diam tak bergerak.

Setelah itu, aku bergegas ke kamar dan disusul Teh Putri dengan menatang berbagai peralatan. Dia tersenyum padaku, lalu memintaku berbaring di tempat tidur. Dipegangnya perban di kakiku. Perban dilepas dan kulihat jahitan-jahitan tergambar di kakiku. Lalu dia menutup lagi dengan perban yang baru.

Lihat selengkapnya