"Halo. Alhamdulillah baik, Pak Agung. Oh ya, Pak, kata Bapak ada teman atau saudara yang mengajari silat di Cirebon ya?" tanyaku melalui ponsel.
"Aduh, kontaknya hilang. Dia sudah lama pindah ke Bogor ternyata. Nanti Bapak kasih alamatnya ya," jawab Pak Agung. Lalu dia pamit menutup telepon. Tak lama setelah itu, Pak Agung kirim alamat yang dimaksud.
Dimas menghampiriku bersama Yayat. "Wan, muka lu kok bisa babak belur begitu sih?"
"Ah, ini bukan babak belur, tapi masih babak penyisihan," jawabku datar.
Ponselku berdering. Ah, ternyata Ibu. "Assalamu'alaikum, Bu. Ya, pripun?"
"Ibu kan badhe1 telepon, aku sudah tahu," jawabku basa-basi setelah dia menanyakan mengapa aku belum tidur.
"Piye to, Le?2 Ibu khawatir sama kamu. Kamu sudah ndak ikut balapan lagi to? Pokoknya nanti kalau motor kamu sudah dikembalikan kangmasmu, jangan dipakai balapan! Ora usah aneh-aneh ning ndalan!3 Ingat masa depan yo!? Jangan lupa salat dan doa juga! Sudah itu saja nasihat ibumu. Assalamu'alaikum," tutup ibuku yang setiap kalimatnya kujawab "nggih". Lalu kututup di akhir dengan menjawab salamnya.
Esok harinya, aku berangkat kuliah berboncengan dengan Dimas. Lalu aku turun dan berjalan menuju ruang kuliah dengan bekas memar yang kucoba tutupi dengan memakai tudung hoodie dan menunduk. Aku kuliah di ruang kuliah yang harus tiga kali naik tangga; lelah tentu saja karena kaki masih terasa pegal. Aku masuk sudah lewat jam masuk, namun belum ada dosen. Sedangkan teman-temanku sudah memenuhi bangku ruangan. Sebagian besar dari mereka yang aku lalui menatapku, ada yang saling berbisik, ada juga yang menanyakan keadaanku namun aku hanya bergeming maupun senyum palsu. Aku mencari Farid tapi bangku sebelah-sebelahnya sudah penuh. Baiklah, aku duduk saja di bangku belakang dekat gerombolan cewek yang suka bergosip.
Ruang kuliah sudah penuh. Mata kuliah dimulai dengan dosen menggambar kurva-kurva melengkung, diiringi suara berisik cewek-cewek di dekatku. Hingga aku tak menyadari kuliah di ruang itu selesai.
Mahasiswa-mahasiswa keluar ruangan dan bergegas istirahat; kecuali aku dan Farid.
"Ada apa sih lu, cuy!?" Farid menghampiriku. "Bilang sama gue kalau lu kenapa-kenapa kemarin! Jujur saja sama gue sampai lu rela enggak ikut futsal demi babak belur begini!" Farid menginterogasiku dengan tempo cepat. Dia duduk di bangku yang mejanya ditempelkan dengan meja bangkuku.
"Sebenarnya gue belum pernah cerita ini ke siapapun, Rid, tolong jangan sampai bocor! Tapi sebelumnya gue minta maaf banget, gue sampai enggak ikutan futsal. Jadi begini: Kemarin gue lihat ada orang yang gue curigai bahwa dia anggota komplotan penculik. Gue ikuti dia sampai di dekat Terminal Laladon. Ternyata benar, dia mau menculik. Lalu gue hajar dia dan ternyata teman-temannya datang mengeroyok gue," ceritaku dengan aku sudah berani menampakkan wajahku yang masih perih di bibir, pipi, dan mata.
"Apaan sih yang lu omongkan, cuy? Enggak percaya gue. Pertama, bagaimana lu tahu itu penculik? Kedua, buat apa lu kejar kalau memang itu penculik? Lu polisi? Agen rahasia?" tanya Farid sambil mundur ke sandaran bangku dengan cepat, secepat dia berbicara, hingga rak di bawah bangku berbunyi ‘cring’.
"Lu perlu tahu, sebenarnya itu bukan kali pertama gue. Jadi ini kali ke.." Aku menghitung jari. "...keempat. Kali keempat gue berhadapan dengan penculik. Namun yang terakhir ini gue bisa menyelamatkan anak yang hendak diculik."
"Apa!? Lalu pertama sampai ketiganya?" tanya Farid sambil mencondongkan badannya ke arahku.
Hal pertama yang aku jelaskan adalah peristiwa penculikan Iqbal. Kedua yaitu penculikan anak kecil di kampus yang kemudian aku jatuh di tol menggunakan motor.
"Apa!? Sebentar!" potong Farid. "Lu punya kembaran? Terus yang kata-kata orang ada motor terobos tol itu benar dan ternyata elu?"
"Nah, iya, benar. Gue lanjutkan ya? Jadi gue dirawat di rumah kakak gue beserta motor gue juga. Sepulang dari sana, ada penculik yang sudah bawa korbannya, namun gue enggak bisa kejar dia."
"Kemudian mengapa lu kejar penculik-penculik itu sih? Kalau memang, maaf, kembaran lu sudah meninggal dan lu mau balas dendam ke para penculik, kembaran lu enggak bakal hidup lagi, Wan," ujar Farid.
"Emm.. Rid, setelah bertahun-tahun gue beranggapan bahwa Iqbal, kembaran gue, sudah meninggal dengan fakta bahwa sudah dikuburkan. Tapi di penculikan kedua yang gue hadapi itu, gue lihat penculik itu memiliki wajah yang mirip dengan penculik Iqbal," jawabku.
"Ha!? Maaf gue potong lagi. Bagaimana lu tahu detail tentang kronologi cerita penculikan kembaran lu sementara lu masih usia enam tahunan?" tanya Farid.
"Itu selain karena gue mengalami sendiri di situ, seluruh anggota keluarga gue juga di situ. Sementara untuk wajah, dari usia lima tahun gue mudah untuk mengingat. Itulah kenapa gue suka menggambar wajah-wajah orang sejak SMP."
"Dapat gue lanjutkan lagi?" Aku mengeluarkan buku sketsa dari ranselku dan membuka lembar per lembar. "Ini dia. Ini adalah wajah penculik Iqbal yang selalu gue ingat. Dan ini adalah wajah penculik yang di dekat kampus. Dari situlah gue berpikir harus bisa mendapatkan informasi lebih darinya, bagaimana dia masih hidup? Dan apakah sebenarnya Iqbal masih hidup? Jika masih hidup, berarti perasaan gue selama ini benar bahwa Iqbal tidak meninggal terbakar, namun hanya hilang; dan harus gue temukan," jelasku pada Farid yang tidak lagi memotong ceritaku.
"Uh, wow! Sulit dipercaya arah cerita lu. Gue anak tunggal dan belum pernah berurusan dengan penculik atau tindakan kriminal lainnya. Jadi gue enggak tahu seberapa berat perasaan lu hingga saat ini. Ini kan risikonya besar, kalau berhadapan dengan penculik seperti itu, mengapa lu berani?" Farid semakin mencondongkan badannnya ke arahku.
Pertanyaan yang bagus, Rid. "Mereka saja berani mengambil risiko besar untuk berbuat kejahatan, mengapa kita takut untuk ambil risiko menghadapi mereka demi kebaikan? Apa mau kejahatan semakin merajalela karena orang baik takut melawan kejahatan?" tanyaku balik.
"Apa mau lu sekarang?"
"Nah, gue butuh bantuan lu. Lu orang Bogor, 'kan? Antar gue ke alamat ini! Lu akan tahu apa yang akan gue lakukan setelah ini. Tenang, gue enggak akan cari gara-gara." Aku sodorkan alamat yang dikirim oleh Pak Agung.
"Desa ini mah masih sekecamatan sama kampus kita, Wan. Masih di Dramaga. Dekat dari sini, tapi pakai motor. Oke yuk gue antar sekarang!" ajak Farid.
"Eh, jangan sekarang, lah! Nanti ada kuliah lagi. Gue enggak mau titip absen. Beres kuliah terakhir saja! Sekarang kita ke Sapta dulu aja, gue lapar!" sanggahku, lalu kami ke kantin.
Namaku tiba-tiba disebut saat aku duduk menikmati tauge goreng dengan oncom dan Farid sedang mengantre nasi bakar. Lina duduk di kursi depanku, lalu meraba pipi kananku. "Ikhwan!"