Enam hari berturut aku terus mempelajari silat bersama Mang Dadang yang aku sendiri menempuhnya dengan mengendarai motor. Seperti nostalgia untuk setiap geraknya. Selain itu, Mang Dadang mulai mengajariku menggunakan tongkat dan juga ruyung. Namun Mang Dadang belum juga memberiku kesempatan untuk beradu dalam sesi pertarungan.
Suatu ketika, di saat para peserta bergegas pulang, Mang Dadang memintaku duduk sebentar bersamanya di depan teras rumahnya.
"Kamu tahu? Dulu silat Cimande diawali salah satunya jurus monyet. Namun jurus itu sudah punah. Ya, itulah yang banyak orang ketahui. Namun mereka tidak tahu bahwa jurus itu masih ada. Hanya orang-orang tertentu yang tahu jurus itu."
"Itu artinya Mang Dadang tahu jurus itu?"
"Pan Mamang teh tidak bilang bisa. Mang Dadang teh hendak menceritakan bahwa di setiap persilatan ada beberapa jurus yang tidak bisa sembarangan orang menguasainya. Jurus monyet adalah contoh jurus yang Mamang maksud di silat Cimande. Sementara jurus di perguruan silat kita yang tersulit adalah nama dari perguruan silat itu sendiri; Kijang Kujang. Senjata yang digunakan adalah kujang kembar."
"Eh, kujang kembar?"
Raut wajah Mang Dadang tampak lebih cerah. "Iya. Kujang kembar adalah senjata Prabu Siliwangi. Memang kujang kembar identik dengan mistis, memiliki khodam Maung Loreng dan Maung Bodas. Tapi itu sulit didapat. Akan tetapi jurus ini menggunakan kujang kembar yang tidak harus memiliki khodam."
"Kemudian?"
"Entah mengapa, melihat perkembanganmu, suatu saat kamu teh bisa menguasai jurus itu," jawab Mang Dadang dengan tangannya menepuk pundakku.
Lalu aku tersenyum. Entah apa yang ada di pikiran Mang Dadang. Aku hanya berpikir bahwa terlalu jauh untukku akan hal itu. Namun kalau saja aku memang layak untuk melakukannya, mengapa tidak? Iya, 'kan?
Aku berpamitan dengan Mang Dadang. Ketika hendak naik motor, ponselku berdering. Badai.
"Halo! Wan, lu kita terima sebagai forensic sketch artist," ucap Badai.
"Ini serius? Lalu?"
"Apa gue terdengar bercanda? Sekarang tugas pertama lu. Kasus penculikan anak. Segera ke kantor!"
Naiklah aku ke motorku. Tanpa berpikir panjang, aku segera ke kontrakan, mandi dan ganti pakaian yang rapi. Lalu semua peralatan gambarku kumasukkan dalam tas. Aku naik motor. Baiklah, hari pertama.
Sudah disiapkan laptop yang berisi database bagian-bagian wajah di kantor polisi itu. Juga aplikasi Photoshop. Ternyata tidak perlu pensil. Cukup apa yang biasa aku lakukan dengan Photoshop. Akhirnya.
"Ibu, bisa tolong diceritakan tentang bagaimana wajah orang yang Ibu maksud?" tanyaku pada saksi kasus itu yang telah kuminta untuk duduk senyamannya.
"Perawakan lelaki itu tegap. Dia terlihat muda, masih umur 20-an, seperti mas lah. Rambutnya ikal hitam legam. Kulitnya sawo matang. Wajahnya memiliki tulang pipi yang menonjol. Secara umum sih wajahnya seperti persegi panjang. Bagian rahangnya tegas. Matanya belo dan alisnya rata juga tebal. Bibirnya tebal. Hidungnya besar dan pendek. Telinganya sedikit tertutup rambut dan ada tahi lalat di dekat telinga kirinya," jelas ibu itu dengan menutup matanya dan meraba setiap bagian wajah yang dia jelaskan.
Semua informasi yang diberikan si ibu kutulis. Aku kosongkan dalam otakku tentang sosok yang akan kubuat sketsanya. Aku membuka setiap foto dari setiap folder bagian wajah yang kutunjukkan pada si ibu dan memasukkannya ke lembar kerja Photoshop.
Entahlah. Aku tidak memprediksikan akan menjadi wajah seperti apa.
Dari setiap anggota wajah yang dipilih itu, aku mulai dari bentuk wajah dan warna kulit. Tentu saksi ikut mengarahkan langsung. Kemudian aku lanjut pada bagian-bagian lain yang ukuran, posisi, serta warnanya disesuaikan dengan bentuk wajah. Tak lupa tahi lalat di sebelah telingaa kirinya. Selain itu juga, kuaksir dengan brush untuk membuat kontur wajah yang tajam pada tulang pipi dan rahang. Aku juga memberikan aksiran gelap dan terang pada bagian lain, sehingga wajah itu tampak berdimensi.
Ibu itu kutunjuki apa yang sudah kugambar dan dia mengoreksi beberapa bagian. Wajah yang kugambar terlalu lebar, jarak mata terhadap hidung terlalu dekat, alis kurang lebat, dan sebagainya. Lalu aku segera memperbaiki bagian-bagian yang sudah dikoreksi. Selesai.
Aku dimintai ibu itu untuk segera menemukannya. Hanya senyum yang kulukiskan karena kutahu itu bukan ranahku. Lalu aku mengetuk meja dengan telunjukku bertekanan normal sambil memandang hasil sketsaku. Subhanallah! Sementara itu si ibu berpamitan.
Aku berikan hasil itu beserta laptopnya pada Pak Bobby – anggota Pusat Identifikasi – yang menemaniku selama pembuatan sketsa. Tidak perlu kufoto karena itu melanggar peraturan. Namun aku bisa mengingatnya untuk kubuat sketsa ulang di rumah. Lalu Badai datang. Kemudian aku pulang dan Badai memberiku amplop.
***
Kulihat Yayat sedang sibuk dengan laptopnya. Kuhampiri dan duduk di kanannya. "Yat, lu bisa buat website kan? Gue mau buat website. Jadi di situ akan gue pajang foto korban penculikan beserta ciri-cirinya dan nomor yang bisa dihubungi serta foto DPO terutama pelaku penculikan."
Untuk beberapa saat, dia berhenti mengetik. Dia menoleh padaku. Telapak tangan kanannya menempel pada bibirnya, jempol menempel ke samping kanan, telunjuk menempel bagian kanan hidung, dan tiga jari lainnya melipat ke bawah menutupi bibirnya. Baginya ada waktu hingga satu menit untuk menatapku. "Jadi lu memang serius?"
“Hahaha.” Lalu aku mengangguk. "Uang segini cukup enggak buat bikin websitenya beserta jasa lu?" Aku menyodorkan uang Rp 300 ribu – uang dari amplop yang diberikan Badai.
"Alah, dua lembar saja sih, domain dan hosting. Sisanya buat kebutuhan lain. Karena gue akan ikut rencana PKM-M yang akan lu buat," jawab Yayat yang buatku melongo untuk beberapa saat.
Dan aku tersenyum lebar. Aku memberinya foto para korban penculikan yang sudah diumumkan di publik beserta ciri-cirinya. Juga beberapa DPO yang sudah resmi disebar.
***
Aku mengatur waktu dalam setiap hari untuk kuliah, mengerjakan tugas kuliah, rapat BEM, kepanitiaan, belajar silat dengan Mang Dadang, menyempurnakan sketsa wajah kriminal menggunakan Photoshop lalu mengirimnya, berdiskusi dengan Yayat dan Farid untuk pembuatan website, dan sebagainya. Oh ya, sesekali ke stan PKM-K Sofyan dan teman-temannya – duh.
Pada sore itu, Badai menelponku – tak bisa kuduga kapan panggilan itu ada. Ya, untuk membuat sketsa. Kini aku mendapat tugas di Polda Metrojaya. Namun aku memilih untuk menggunakan KRL ke sana dengan menitipkan motorku di stasiun Bogor. Lalu kulanjut naik TransJakarta. Aku tidak perlu terburu-buru karena saksi masih diinterogasi oleh penyelidik, kata Badai.
Itu ruangan sudah ada seorang lelaki berkacamata sekitar umur 30-an bersama seorang anak perempuan yang aku perkirakan masih SD. Ternyata benar anak itu masih kelas 4 SD dan saudara kembarnya hilang. Lelaki itu adalah ayahnya yang merupakan orang tua tunggal. Lelaki itu menaruh curiga pada seorang lelaki yang sering mondar-mandir sebelum anaknya hilang.
Tentu, aku memintanya duduk tenang dan menceritakan ciri-ciri orang yang dimaksudnya secara spesifik. Aku menyodorkan layar laptop yang menunjukkan setiap bagian-bagian wajah. Dan dia menunjuk foto yang mirip dengan kesaksiannya.