Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #16

Akad (2)

Masa mudik ke rumah tiba. Urusan kampus sudah selesai, meski dilanjut lagi setelah libur lebaran. Urusan membuat sketsa juga tidak ada. Untung saja aku sudah pesan tiket pulang tiga bulan sebelumnya, sehingga aku kebagian tiket kereta api.

Ibu dan karyawannya sedang membatik cap maupun tulis. Bapak masih di sekolah, adik-adikku ada pesantren kilat di sekolah mereka, serta Mas Hafiz dan Mbak Ila belum mudik. Aku membantu Ibu mengangkat kain-kain yang selesai dijemur.

"Bisa ke sini sebentar, Le!" pinta ibuku yang sedang melipat kain-kain batik sendirian. Aku ikut melipat kain-kain itu dan mengelompokkannya sesuai jenis batiknya; parang, truntum, sekar jagat, madu bronto, udan liris, dan sebagainya.

"Emm... Ibu kok bisa sabar sih kalau hadapi Bapak?"

"Rahasianya? Sabar itu anjuran Allah kepada manusia, Le. Ada lebih dari seratus kali kata sabar disebut dalam Alquran, bukan? Karena kesabaran adalah proses untuk mencapai kemuliaan hidup. Kamu lihat batik-batik ini! Betapa lama dan banyaknya proses yang harus dijalani oleh karyawan-karyawan kita? Dan ini tidak bisa mak bedunduk1 jadi, butuh kesabaran. Kamu pernah kan lihat karyawan yang ndak sabar? Amburadullah hasil batiknya. Ya sama dengan keluarga ini, kalau tidak diiringi dengan sabar, dengan Ibu mengalah pada Bapak, bisa amburadul keluarga kita."

"Terus Ibu juga sabarkah saat kehilangan Iqbal?"

"Eh, bapakmu datang."

Mobil masuk halaman. Ibu segera keluar. Aku sedirian melipat kain hingga waktu menjelang berbuka puasa tiba. Saat berbuka, dia menyiapkan menu berbuka dan kolak pisang. Sementara Bapak hanya bercerita bahwa baru saja bertemu teman lama di Sleman, lalu diam. Diambilnya hanya sedikit nasi serta lauk dan sayur. Dilanjutkan Ibu dan aku dengan porsi normal untuk kami masing-masing. Ya, tidak banyak kata-kata penting yang kami bicarakan, baik saat berbuka hingga selesai salat tarawih.

***

Usai sudah bulan Ramadan, lalu Idul Fitri tiba. Kami salat id bersama di lapangan. Aku bersama Fitra, sementara Ibu bersama Fitri. Bapak berkumpul dengan kelompok bapak-bapak. Sedangkan kedua kakakku belum tiba karena merayakan Idul Fitri di keluarga mertua mereka terlebih dahulu.

Pada saat kami sudah di rumah, kami melakukan sungkeman. Dimulai dari Bapak yang duduk di kursi dan Ibu sungkem ke suaminya. Kemudian giliranku sebagai anak paling tua yang saat itu ada di rumah.

Aku pertama sungkem ke Bapak lalu Ibu, "Sedoyo lepat kulo nyuwun ngapunten2."

Nah, barulah masing-masing orang tuaku memaafkanku, lalu mendoakanku.

"Doa Bapak, semoga kamu bakti pada orang tua, fokus kuliah, dan bisa meneruskan usaha keluarga," ucap pria itu saat aku masih mencium tangannya.

Aku bersama keluargaku berkeliling ke rumah para tetangga untuk bersilaturahmi dengan menikmati berbagai kue atau camilan yang mereka sediakan selama dua hari. Sementara di rumah, Ibu sudah membuat opor ayam dan juga nasi liwet yang aromanya begitu harum nan lembut di hidung.

Namun di lebaran hari kedua itu, keluarga Mas Hafiz dan Mbak Ila belum juga datang. Jadi hanya ada aku, Bapak, Ibu, Fitra, dan Fitri yang menikmati makan siang bersama di hari kedua.

Gerakan pria berkumis tipis pada piringnya yang sudah bersih dia hentikan. "Ikhwan, semester ini kamu mau fokus pada kuliahmu, bukan? Tidak lagi ada perkelahian di halte busway?"

Dan aku tersedak karena di tengah makan siang, Bapak seketika menanyakan itu padaku. Aku minum dalam tiga kali teguk untuk segelas penuh air putihku. Aku diam. Aku tenang. Aku tenang.

Aku diperlihatkan ponselnya. Oh, dia membuka KRS-ku. Ya, Bapak sudah minta kata sandi KRS-ku semenjak aku masuk kuliah – tidaklah mudah mengganti kata sandi seperti pengaturan di akun media sosial. Aku masih terpaku tanpa beradu dengan mata tajamnya, namun sendok dan garpu yang kupegang ikut bergetar mengikuti detak jantungku yang temponya semakin cepat. Buah-buahan berwarna segar seolah berubah nadanya menjadi hitam putih. Cahaya dari luar seakan meredup dengan ditutup oleh mendung yang besar. Dan cahaya serta warna hanya keluar dari layar ponselnya; KRS-ku.

Namun pemilik rambut hitam klimis mengeluarkan suara lagi, "Turun."

Diam. Aku masih bergeming. Tetapi gigi-gigi atasku mulai berbenturan dengan gigi-gigi bawahku berulang-ulang tanpa kubuka mulutku. KRS, huh! Halte!? Dari mana Bapak...

Ia menyalakan sebuah video. Video dengan kualitas rekaman kamera ponsel yang memperlihatkan kejadian beberapa kali tembakan dan perkelahian di jembatan sebuah halte. Oh, tidak! Ya Allah, bagaimana bisa?

"Ada teman Bapak di halte itu. Sebelum kamu pulang, dia sudah mengirimkan video ini. Dan sekarang waktu yang tepat Bapak tanya, untuk apa kamu berkelahi!? Mau jadi preman, huh!? Mau jadi jagoan!? Bu, bawa si kembar ke kamar dulu!" Dia berdiri dengan menunjukkan dada bidangnya.

Lihat selengkapnya