Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #17

Akad (3)

Rintik hujan turun semakin deras dari luar membuatku dan yang lainnya masih tetap berada di dalam. Di antara kami yang membawa payung atau jas hujan bergegas pulang. Sementara aku, Iqbal, dan Badai tidak membawa keduanya, sehingga kami menunggu di dalam kelas bersama sebagian yang lain. Satu per satu anak dipanggil karena orang tua mereka datang menjemput. Kemudian aku dan Iqbal pun dipanggil. Kulihat Ibu membawa dua payung dan kantong plastik putih berisi sandal jepit.

"Eh, kok tiga pasang sandal jepit?" tanyaku.

Kemudian Ibu tersenyum. Aku dan Iqbal masuk ke dalam kelas, memanggil Badai. Kami pun pulang bersama dengan meninggalkan sepeda di sekolah. Iqbal berpayungan dengan Ibu, sedangkan aku dengan Badai. Kami menenteng sepatu kami; kantong plastiknya robek. Aku merasakan percikan air hujan, aliran air selokan yang meluap, tiupan angin nan basah, serta aroma segar khas hujan.

Aroma hujan masih saja menjadi aroma favoritku setiap kali turun hujan, meski usiaku sudah 20-an tahun. Ditambah lagi ketika aku menyusuri jalanan itu banyak pohon yang dibiarkan hidup; hijau nan kokoh. Daun-daun lemahnya gugur bersama tetesan air hujan yang hinggap terlebih dahulu pada pohon. Lalu jatuh di atas jalanan maupun payung yang kupakai. Tidak hanya daun, melainkan bunga-bunga ungu yang tuntas mekar pun ikut jatuh ke jalanan dan tak sengaja kuinjak dengan sepatu bot.

Rangkaian kata pun muncul dari ponselku, "Kamu di mana, Le?"

Eh, Ibu ternyata. "Di jalan, Bu. Habis salat zuhur di masjid kampus dan mau masuk kelas. Tadi sudah makan sebelum salat. Pripun? "

"Ning atimu1, kamu yakin menyanggupi kemauan bapakmu itu?"

"Aku yakin, Bu, karena aku akan membuktikan bahwa pernyataanku benar. Aku juga tanggung jawab pada kuliahku; nilaiku. Sampun2 lah, Bu. Ikhwan saget3."

***

Dan sampailah aku di kelas, lalu dimulai – bulan keempat di semester 5. Namun aku sulit untuk berkonsentrasi pada penjelasan dosen dengan mata kuliah Perekonomian Indonesia. Aku berkali-kali melirik ke kanan dekat jendela; ada Lina dan Dini. Farid – duduk di sampingku – mendeham dengan volume rendah setiap kali aku menoleh ke kanan. Aku menggerak-gerakkan bolpen berulang. Berapa lama lagi ini kuliah berakhir?

Itu pun akhirnya selesai. Aku menghampiri mereka berdua yang masih duduk di dekat jendela. Sementara mahasiswa lainnya mengosongkan kelas. Farid mengatakan kalau dia pulang lebih dulu. Baik, aku duduk di depan Lina dan Dini.

"Ada apa, Wan?" tanya Dini.

Sebentar! Iya ya, aku mau apa?

"Eh, kok diam? Ya sudah deh gue keluar. Kalian mengobrol saja berdua." Dini keluar sambil memilin rambut keritingnya.

Pada saat itu aku hanya berdua dengan Lina.

"Emm.. Aku...mmm... aku bawa ini buat kamu." Aku memberinya sebuah miniatur wayang kulit Dewi Sumbadra dengan tangkai dari kawat yang kuat.

"Repot-repot, kamu ini. Terima kasih ya."

Tanpa banyak obrolan, aku mengajaknya pulang, "Pulang, yuk! Sekalian aku mau beli facial wash. Tapi aku enggak bawa motor."

Lihat selengkapnya