Otakku sedang panas karena UAS dimulai. Setiap hari aku belajar terkait materi kuliah, meski beberapa kali juga mengurusi soal proyek ‘Temukan Yang Hilang’ dan aku sudah tidak lagi melanjutkan BEM atau organisasi sejenisnya lagi; apalagi organisasi yang sama dengan Lina. Nilai-nilai UTS-ku banyak yang baik, hanya saja beberapa mata kuliah seperti Ekonometrika masih perlu ditingkatkan. UAS ini adalah penentuanku. Semester selanjutnya, tahun yang baru; 2013, adalah hasil dari penentuanku.
Habisnya UAS masih membuatku ragu untuk penentuanku. Teman-temanku sudah berkemas pulang. Lalu hanya tertinggal aku dan Dimas.
Kemudian mengajakku sore itu, "Yuk, Wan! Waktunya berangkat."
Aku dan Dimas menaiki kereta yang sama baik KRL hingga kereta malam pun kami duduk bersebelahan. Namun aku lebih dahulu turun. Kemudian Dimas melanjutkan perjalanannya hingga Kediri dengan tetap duduk di kursinya. Aku melambaikan tangan, lalu keluar stasiun.
Namun tidak ada jemputan. Aku naik taksi hingga rumahku.
Di depan pintu Bapak sudah berdiri saat aku turun dari taksi. Ketika aku sampai di teras, dia langsung masuk tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Eh, sudah sampai? Ibu wis masak tengkleng. Yuk, sarapan!" ajak Ibu.
Nasi masih mengepul di meja makan. Aku, Ibu, Bapak, dan kedua adikku memakannya bersama di ruang makan dengan tengkleng. Selesai makan, Bapak keluar lalu pergi dengan mobilnya, tidak ada pamit hendak ke mana. Ibu hanya tersenyum padaku lalu mengangkat piring-piring kotor.
Gara-gara aku mendengar suara orang bercanda, aku masuk ruangan itu. Aku masuk ke ruang karyawan-karyawan membatik tulis. Mereka menyapaku dan aku membalas sapaan mereka. Mereka bercerita kalau Ibu dapat order batik tulis dari kedutaan Perancis yang beberapa minggu lagi akan berkunjung ke Solo.
"Apa kabar kuliahmu, Le?"
Namun aku balas senyum saja pada ibuku. Lalu aku menyentuh lengan kirinya. "Baik."
***
"Nah, kamu sudah siap?" tanya Bapak padaku di ruang tamu.
"Ya." Aku mengangguk.
Aku diberinya sebuah amplop. "Itu calonmu. Namanya Ayu. Dia sekampus denganmu. Sebut ayahnya, Ayu sudah kenal kamu."
Oh ya? Aku ragu untuk membuka amplop itu. "Aku tidak punya teman di kampus bernama Ayu selain dari kelasku. Meski di luar kelasku juga banyak yang bernama Ayu, namun entahlah. Tapi sebagai wujud tanggung jawabku, aku terima siapapun itu."