Pada saat itu semester enam, hampir tiga tahun aku kuliah. Aku tak menyangka bisa melamar seorang wanita, padahal aku belum lulus kuliah. Aku masih mengandalkan uang orang tuaku untuk biaya kuliah – biaya harian bisa aku dukung dengan upah membuat sketsa di kepolisian (walau tidak sering) juga order gambar yang disebabkan aku memposting foto-foto hasil gambarku di Instagram. Terlebih aku tidak menyangka bahwa dijodohkan dengan Iris. Wanita itu selalu kunantikan wajahnya, meski harus diam-diam dan berupaya melalui modus mengantarkan Lina hanya untuk melihat wajahnya.
Aku sudah membuat janji dengan Iris untuk bertemu sore hari di Yellow Corner – kantin di dekat gedung wisuda. Aku duduk di ujung selatan yang dekat dengan ATM center. Aku meminum jus mangga dan siomay. Iris pun datang sendirian, lalu dia memesan minuman; jus jeruk.
"Kamu enggak makan?"
"Umm.. Sudah tadi siang. Aku enggak suka makan banyak. Hehe."
"Sungguh, aku baru tahu nama lengkapmu Lembayung Iris Lutea. Iris kan nama bunga ya? Kalau Lutea?"
"Asalnya, Iris Lutea itu salah satu nama ilmiah dari bunga iris kuning, nama ilmiah alternatif. Mama suka banget dengan bunga-bunga, terutama bunga iris kuning. Makanya aku dinamakan itu dan Mama juga menanam bunga iris di rumah, Mas."
Dengan sedikit terkejut aku menyahutnya, "Mas!?"
"Aku panggil 'Mas' enggak apa-apa kan? Umur kita beda setahun dan itu sebagai wujud aku menghormatimu."
"Ris, aku panggil kamu Ayu, Iris, Lutea?"
"Ih, jangan Lutea! Aneh kalau jadi panggilan. Kamu panggil Iris saja. Aku lebih suka dipanggil Iris."
"Siplah, Dek Iris."
"Eh, maaf nih Mas Ikhwan, maaf kalau mungkin menyinggung. Apa alasan Mas Ikhwan melamarku?"
Huh! Apa yang harus aku jawab? Aku meneguk jus mangga. "Aku tidak pernah percaya pada perasaan melalui pandangan pertama. Tapi kamu membuat aku penasaran dari pertama melihatmu. Maka aku selalu berusaha untuk bisa mencuri waktu dan kesempatan untuk melihatmu. Tak kusangka, Bapak dan ayahmu berteman sejak kita belum ada dan menjodohkan kita."
"Itu artinya, ketika kamu mengantar Lina lalu datang ke stan PKM-K untuk..."
"Nice! Iya itu." Aku tersenyum dan tanganku mendekat ke tangannya. "Kalau kamu, mengapa mau menerimaku?"
Gadis di depanku itu hanya menatapku, tak menjawab. Lalu diminumnya jus jeruk, barulah menjawab, "Mimpi Papa adalah ingin melihat aku menikah sebelum dia meninggal, Mas."
***
Gery mengajak kami teman sekontrakan, Farid, dan Badai berenang di hari Minggu. Berenang? Iya berenang. Dia mengajak kami berenang di tempat biasa digunakannya berlatih; di Jakarta. Kami menaiki mobil Sofyan, kecuali Badai.
Akhirnya kami sampai di lokasi, lalu berganti pakaian dengan celana renang. Dimas ingin belajar loncat pada Gery, Sofyan dan Yayat masih duduk-duduk, aku dan Badai memanaskan badan dengan push up dan scott jam, sementara Farid belum keluar dari ruang ganti.
"Apa lu yakin, Wan?" tanya Badai sambil menunjuk kolam renang.
"Kita lihat saja."