Kuliah hendak dimulai. Aku tidak duduk di samping Farid. Farid datang lebih awal dariku dan duduk di barisan yang sudah ditempati beberapa barang di atas bangkunya seperti: buku, tas, penggaris, dan sebagainya. Aku pun duduk di sembarang bangku. Lina dan Dini datang, lalu duduk di barisan depan. Lina menatapku hanya sekali, tidak tampak seperti tatapan melainkan pandangan selewat.
Kemudian di akhir kuliah, dosen memberi kami tugas dan aku mendapat kelompok bersama Farid, Dini, dan Lina; hmm. Kami segera berkumpul usai kuliah agar tugas segera selesai. Entah, Farid dan Lina bersemangat untuk segera menyelesaikan dan tidak mau mengerjakan di luar kampus. Baiklah. Kami menggelesot di teras ruang kuliah yang terdapat terminal untuk menyambungkan daya laptop.
"Ada apa sih? Kalian kok diam semua? Masa gue doang yang kerja?" keluh Dini dengan memegang laptopnya sambil mengikat rambut keriting panjangnya.
"Maaf, tadi sampai mana?" tanyaku.
"Ini sudah rumusan masalah, bukan cari masalah," sahut Farid asal.
Maka Lina memukul Farid. "Kita sudah sampai pembahasan, Rid!"
"Ada baiknya kalian berdua bahas dulu deh, biar semua jelas. Biar penutupnya juga jelas, tidak menggantung dan menyayat hati," balas Farid dengan memandangiku dan Lina. "Buruan! Ke pojokan sana kalau perlu, biar gue dan Dini enggak dengar! Biar gue kerjakan bareng Dini."
Setelah itu aku beranjak ke pinggir koridor, ke tiang silinder putih besar. Lina membuntutiku.
"Izinkan aku minta maaf, jika aku sudah menyakitimu. Aku..."
"Hahaha. Aku berhasil memanfaatkan seorang wanita, sementara aku mendekati temannya. Akhirnya wanita itu baru tersadarkan bahwa dirinya korban PHP, Pemberi Harapan Palsu," sahut Lina dengan nada rendah dan napas berat.
"Sebentar, Lin..."
"Aku Lina. Ya, Lina adalah wanita bodoh itu, yang akhirnya teman dekatnya sendiri dilamar oleh orang pria yang mendekatinya dengan penuh kepalsuan.” Kontak matanya lebih intens dengan pupil melebar.
Namun aku terus berusaha, "Aku minta maaf, Lina. Aku mohon kamu..."
"Gue minta enggak usah pakai 'aku-kamu'! Mulai sekarang, lu enggak usah sok dekat dengan gue! Lagi pula lu enggak butuh lagi 'kan beli peralatan mandi? Sekarang lu pergi! Tenang, nama lu tetap ada di kerja kelompok kita, tapi biar kami bertiga yang selesaikan!" potongnya sambil bersedekap dengan tangan kiri mengepal dan tangan kanan yang di atas menggosok-gosok lengan baju.
Aku pun pergi ke kantin dengan dominasi warna toska di sekelilingnya.
"Tunggu! Ini Mas Ikhwan?"
"Kamu!? Oh, hai! Kamu sudah beres kuliah, Iris?"
"Eh iya, sudah. Tumben kamu di sini."
Cakapan kami terhenti karena ada email masuk ke ponselku. "Yah, tidak lolos."