"Mas Wan, itu di luar bukannya mobil Sofyan?" tanya Iris yang baru saja pulang ujian.
"Emm...kamu sudah selesai semua ujian?" Dia mengangguk setelah pertanyaan itu kulontarkan. "Kita dapat tugas dari keluarga Sofyan. Malam ini kedua orang tua Sofyan mau membuat private dinner di vila mereka. Aku bertugas mempersiapkan segala peralatan. Dan kamu, memasak."
"Memasak? Aku?"
"Pastinya. Sofyan sudah cerita semua tentang keahlian masakmu ke orang tuanya. Jadi buatlah menu dan catat bahan apa saja yang dibutuhkan. Setelah ini kita belanja dan sekalian berangkat. Oh ya, bawa pakaian terbaikmu karena kamu harus tampil spesial untuk klienmu, bukan baju masak."
"Eh, baiklah." Dia masuk kamarnya, lalu keluar membawa koper. Aku masukkan kopernya dan barang milikku ke bagasi mobil.
Roda mobil pun bergulir sesuai arahanku. Iris yang duduk di sampingku mencatat semua menu dan bahannya. Lalu kami ke supermarket khusus bahan makanan. Aku menemaninya memilih sayur-mayur seperti wortel, tomat, cabai, daun bawang, dan sebagainya. Juga kutemaninya memilih rempah-rempah dan buah-buahan.
Setelah itu, kami masuk tol Jagorawi untuk menuju ke vila keluarga Sofyan di Megamendung. Arah yang diambil adalah ke Puncak. Ketika keluar pintu tol dan masuk daerah Gadog, ada truk tangki BBM di sebelahku. Antar gigi atas dan bawah saling berketuk. Suara dentuman-dentuman. Lontaran butir peluru. Tangan yang terlahap kobaran api. Tak dapat kuraih.
Iris membuyarkanku, "Ada apa, Mas Wan?"
"Apa? Tidak ada." Lalu aku menatap si penanya itu dalam beberapa detik. Aku kembali melajukan mobil, lebih kencang. Aku ingin jauh dari truk tangki itu. Ya, jauh. Truk itu tampak semakin mengecil di spion mobil. Tak ada api.
Perempuan GPS mengarahkanku berbelok ke kiri, lalu ke kanan. Ke kiri dan ke kiri lagi. Ke kanan dan sampailah kami di sebuah vila kecil. Aku buka gerbang vila itu dan langsung disambut halaman berumput. Mobil kuparkirkan, lalu kututup kembali gerbang itu dan kami memasukkan barang-barang ke dalam.
Kemudian setelah berada di vila yang berpapan dan berlantai kayu itu, masih juga kurasakan suhu yang sedingin suhu di luar. Usai melihat-lihat isi vila, kuajak Iris ke kamar atas karena itu adalah kamar kami menginap.
"Apa kita sekamar?" tanyanya bersamaan dengan kedua alis tebalnya naik.
Naif jika aku jawab tidak. Aku mengangguk. “Ini yang mereka sediakan.”
Iris bersiap-siap di dapur setelah semua barang kami letakkan. Sedangkan aku mengeluarkan meja dari dalam ke halaman belakang. Halaman itu memiliki rumput yang selebat halaman depan dan terpotong rapi. Meja kulapisi taplak. Lalu kutata dua kursi yang saling berhadapan di kedua ujung meja. Kusimpulkan senyum.
Namun setelahnya, aku mengendap-endap ke dapur yang lokasinya dekat dengan halaman belakang. Kutatap Iris yang memainkan pisaunya untuk mengiris cabai merah. "Butuh bantuan?"
Iris menoleh cepat. "Em..." Dia mencari-cari barang di sekitarnya. "...Bisa bukakan kaleng ikan itu, Mas?"
Segera kubuka kaleng ikan dan memberikan padanya. "Biar aku yang memotong daun bawang. Aku bisa."
Empat daun bawang yang sudah dicuci kupegang dengan tangan kiri dan pisau di tangan kanan. Aku potong beberapa kali.
"Jangan terlalu besar ukurannya, Mas! Begini loh."
Akan tetapi tidak hanya lewat lisan, bahkan Iris hendak merebut pisau dan daun bawang dariku. Aku tetap kukuh menahan pisau dan daun bawang, tidak mau melepas begitu saja padanya. "Biar aku saja," paksanya.
"Kalau kamu mau mengajariku, biarkan kedua tanganku memegangnya. Silakan tanganmu mengarahkan tanganku."
Lalu kedua tangannya memegang masing-masing tanganku; badan kami bersebelahan. Dia menggerakkan kedua tanganku sambil menjelaskan cara memotong yang benar. Aku tahu itu kata-kata yang panjang, dia panjang-panjangkan lebih tepatnya. Kata-kata yang panjang seperti saat kami memulai tinggal bersama. Aku dengar, tapi jika kautanya apa aku mendengarkan, aku ragu untuk menjawabnya. Kutatap wajahnya, meski dia tetap fokus menatap potongan daun bawang di atas talenan dan mengarahkan tanganku. Volume suaranya terdengar semakin tipis di telingaku.
"Akhirnya selesai!" teriaknya.
Mulus tangannya telah lepas dariku, sementara tanganku masih memegang pisau dan akar daun bawang di atas talenan. Dia menatapku. Entah berapa detik yang bergulir, tapi aku rasa itu lama.
"Aku minum dulu, Mas." Dia pergi dariku. Kutetap tak mengeluarkan suara.
Di sore itu, langit terselimuti oleh mega-mega senja yang keemasan dan berdasar magenta. Senja menggelap dan menampakkan bintang-bintang di balik awan-awan kelabu. Aku salat magrib sebagai imam dan Iris sebagai makmum. Masjid terhitung jauh dari vila, sehingga kami berjemaah di vila.