Genap sudah tujuh semester kulalui. Semester akhir tiba. Sudah tidak lagi ada kelas kuliah. Hari demi hari kami isi dengan membuat proposal dan melakukan penelitian skripsi, bimbingan dengan dosen, datang ke seminar skripsi kakak kelas, dan sebagainya. Pagi di bulan April itu aku dan teman-teman angkatan sefakultasku berebut tempat di seminar skripsi Bang Febrian. Usai kuucapkan selamat dan foto bersama; ada Lina juga yang ikut berfoto, kan dia mantan sekretaris Bang Febrian, aku keluar bersama Farid. Kami berjalan hingga duduk di bangku depan perpustakaan yang kakinya dari besi.
"Eh iya, Cuy! Gue mau fokus skripsi. Gue enggak akan ikut 'Temukan Yang Hilang' lagi," tuturnya.
"Lu mau begitu juga terserah. Elu yang ingin masuk. Sekarang enggak mau ikut juga terserah. Ter-se-rah." Nadaku naik bersamaan daguku maju. Lalu kami diam beberapa saat.
Empat wanita berjalan menuju perpustakaan. Di antara mereka ada Lina dan Dini. Hanya Dini yang menyapa kami dengan menunjuk kami sambil sedikit bergoyang pundak. Lalu Farid kembali mengajakku berbincang terkait skripsinya. Aku pun menjelaskan skripsiku tentang daya saing batik dalam perdagangan internasional.
Selesai kami berbincang, Farid berpamitan pulang. Kemudian aku ke perpustakaan. Ransel kumasukkan dalam loker yang ada di bagian depan perpustakaan. Kuambil laptop, ponsel, dompet, buku-buku, peralatan tulis, dan sebungkus kotak kado. Kumasukkan barang-barang itu dalam tas jinjing transparan berlogo kampus kami; karena tidak boleh membawa ransel masuk ke dalam perpustakaan. KTM aku tunjukkan di barcode scanner dan pintu antrean pun terbuka.
Aku langsung ke komputer untuk mencari buku. Kutemukan buku yang kucari, segera aku ke rak buku yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Satu per satu aku cari buku yang kubutuhkan. Dari celah rak itu, kulihat Dini duduk sambil memelintir rambut keritingnya. Di depannya adalah wanita berambut pendek dengan mengetik di laptopnya.
"Na, mengobrol sebentar boleh?"
Gerak kedua mata Lina dan Dini begitu cepat memandangku dan terbelalak. Dini hendak berdiri, namun tangan Lina menepuk meja beberapa kali tanpa suara. Lina berdiri.
Maka kuajaknya ke bagian perpustakaan yang kacanya memberikan pemandangan rimbun pepohonan. Tidak ada orang di area itu, selain kami berdua. Kami berdiri.
"Ambillah lagi!" Aku mengambil kotak kado dari tas transparan itu. "Gue enggak butuh. Sekarang harus gue jelaskan sebenarnya. Memang dulu ketika awal gue tertarik sama lu. Namun ketika melihat Iris, semua menjadi bercampur aduk. Gue berjalan dengan lu mencoba dapat titik temu. Tetapi ketika sampai di indekos lu, muncul Iris yang mengalihkan. Iya, memang gue akhirnya sering beralasan membeli peralatan mandi ini agar gue bisa mengantar lu, di situ ada kesempatan gue lihat Iris. Jadi ambillah! Dan lu enggak perlu ceritakan ini pada istri gue, nanti akan gue sampaikan sendiri."
Lina berdiri tak bersuara selama aku menuturkannya. Tangannya berkali-kali menyeka sungai yang terbentuk dari kedua matanya. Matanya semakin merah dan begitu pula hidungnya. Lalu dia mengangguk. Segeralah dia meninggalkanku dan kembali ke kursinya. Dini memeluknya dan menggosok-gosokkan tangan di punggung Lina.
Aku tidak jadi meminjam buku. Aku menuju pintu keluar. Saat berjalan, ada seseorang mengintipku dari rak buku. Aku datangi. Sinta. Dia memegang ponselnya. Lalu kusapa dia. Dia menyebut sedang berbincang dengan Yayat. Aku titipkan salam untuk Yayat, lalu kupergi.