Perawatan untuk Dimas dilakukan di rumah sakit setempat. Lalu dipindahkan ke rumah sakit di dekat kampus dan dijaga oleh Gery. Sementara aku dan yang lainnya kembali ke rumah masing-masing.
Ego ini tak bisa membendung kegundahan hati. Sesampainya di rumah, kupeluk Iris erat.
Namun saat kuraba dirinya, dari jidat, leher, hingga tangannya panas. "Aku kesulitan untuk tidur," gumamnya.
Esok harinya, Sofyan telepon, "Ikhwan! Lihat Gery, enggak? Gue di rumah sakit tapi enggak ada yang jaga Dimas."
“Lah, gue enggak tahu." Aku hubungi Yayat pun tidak diangkat. Aku temui Sofyan di rumah sakit. Katanya, Gery tidak ada sejak dia awal datang dan tidak bisa dihubungi. Petugas rumah sakit pun tidak ada yang tahu. Aku meminta izin melihat CCTV. Gery keluar dari rumah sakit saat tengah malam. Setelah itu dia tidak kembali lagi. Tiba-tiba seorang perawat yang baru saja masuk memberi tahu kami bahwa Gery berpamitan padanya untuk membeli camilan.
"Ini saatnya Yayat menjaga Dimas," sebutku. Sofyan menyebutkan bahwa Yayat ada di kontrakan sebelum dia berangkat. Aku temui Yayat untuk menjaga Dimas agar aku bisa mencari keberadaan Gery yang tidak bertanggung jawab pada amanahnya. Tidak bertanggung jawab? Ya, bukankah melarikan diri dari amanah adalah ketidaktanggungjawaban? Aku juga tidak mau Yayat mengabaikannya.
Tetapi, kutemukan pintu kontrakan terbuka. Mobil Yayat masih di luar. Aku panggil-panggil namanya tidak ada sahutan. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Aku masuk kamarnya, hanya laptop dengan kamera ditutup itu yang menyala. Aku ke dapur. Tidak ada. Kamar mandi pun terbuka dan tak ada manusia. Kamar lain terkunci, kecuali satu, bekas kamarku. Aku buka. Berantakan. Dokumen-dokumen program kami hilang. Bahkan kain-kain megamendung yang kami simpan tidak ada bersama kotaknya. Oh tidak!
Ini ada apa lagi? Kukunci ruang itu dan kontrakan. Aku hubungi Sinta, ternyata dia pun tak tahu keberadaan Yayat sejak semalam. Aku datangi tempat Yayat biasa berkumpul dengan teman-teman pecinta alam. Mereka menyampaikan bahwa semenjak semester akhir, Yayat tidak pernah ikut kumpul. Aku buka media sosial. Tidak ada sedikit pun kabar terbaru dari akun Yayat; juga akun Gery.
"Akan ke mana lagi harus kucari?"
Namun cuaca tak menjadi sahabatku. Gemuruh di awan gelap terdengar berulang-ulang seperti degup jantungku. Aku coba menenangkan pikiranku di lantai teratas Fakultas Pertanian, mungkin saja dapat berpikir jernih dan sinyal yang bagus. Aku hubungi Sofyan yang masih di rumah sakit, namun dia juga belum dapat kabar keberadaan Gery dan Yayat. Bahkan Sofyan menghubungi ibu Gery. Aduh! Aku memijat keningku.
Ada sebuah panggilan tak dikenali masuk ke ponselku. "Ini Ikhwan? Saya ambu-nya Yayat. Kata neneknya, kalian sudah pulang ke Bogor ya? Ibu teh telepon si Yayat kok enggak nyambung ya? Nanti tolong sampaikan ke Yayat, suruh hubungi ambu-nya ya. Hatur nuhun1." Hanya kujawab "iya" setiap dia bertanya. Engkau mengerti kan mengapa aku hanya menjawab itu?
Nomor tak dikenal memanggil, namun berbeda dengan nomor sebelumnya. Di tengah gerimis yang mulai membasahi atap dan pepohonan di sekitarku, aku angkat telepon itu. "Hai, Ikhwan. Saya dapat nomor dari Sofyan. Sudah bertemu Gerhard?"
Aku hanya menjawab, "Belum". Dia adalah mamanya Gery; Gerhard merupakan nama asli Gery. Dia takut jika Gery hilang dan meninggalkannya. Gery adalah satu-satunya yang dia miliki. Gery anak tunggalnya, sementara dia sudah bercerai. Di akhir, dia menyampaikan bahwa meminta tolong padaku untuk menemukan Gery.
Keroncong perutku menabuh di tengah hari yang semakin siang. Setiap ingat perut, entah mengapa selalu ingat Dik Ris. Ya, sebaiknya aku meneleponnya. Akan aku tanyakan sudah makan belum atau di rumah ada makanan apa. Jika tidak ada, aku bisa mengajaknya makan siang di luar. Setidaknya dia bisa menenangkanku. Siapa tahu bisa membantu mengatasi masalah ini.
Kenapa tidak diangkat? Padahal berulang kali kuhubungi. Aku segera pulang. Jas hujan tertinggal di kontrakanku yang dulu, namun sudahlah yang terpenting aku harus cepat sampai rumah. Hujan semakin lebat. Molekul-molekul air saling merangkai membasahi pakaianku. Gemuruh semakin menggaungkan dirinya. Petir terus saja mengilat lebih cepat dari kecepatan motorku yang kutarik gasnya kuat.
Engah-engah aku turun dari motor dan helm pun jatuh. Motor Iris masih di rumah dengan terkunci. Pintu rumah tidak dikunci. Aku panggil istriku berulang-ulang. Tak ada jawaban. Tidak kutemukan sosoknya di setiap ruang. Aku telepon, ponselnya sudah tidak aktif. Aku telepon Dini dan Sinta. Jawaban mereka sama-sama tidak tahu. Aku keluar. Tampak tapak ban mobil di halaman kami. Dengan payung kuning Iris, aku mendatangi rumah-rumah tetangga. Kutanyakan Iris pada mereka, namun jawaban mereka sama seperti jawaban Dini dan Sinta. Bahkan mereka tidak tahu adanya mobil ke rumah kami.
Maka aku kembali ke rumah. Rumah kukunci dan motor kukendarai tanpa jas hujan lagi. Helm sudah menjadi kolam air hujan, untuk apa aku pakai. Saat hendak keluar perumahan, motorku mogok. Bensin habis. Sial! Sebuah mobil melintas dan sedikit mencipratiku. Mobil itu masuk ke halaman rumahku. Aku lari mendekati. Sesosok wanita berkerudung keluar dari kursi penumpang dan berpayung ke teras rumah. Ya, itu Iris.
"Bagus ya! Bagus! Dari mana saja kamu, huh?! Aku telepon, aku tanya ke teman-temanmu, aku tanya ke para tetangga, tidak ada jawaban!" teriakku.
"Aku.."
Rupanya ada orang di mobil. "Siapa itu!? Keluar!" perintahku.