Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #30

Lahad (2)

Yang sudah tiada tak akan kembali. Begitu juga hari lalu, sudah berganti hari. Meski demikian, para pelayat terus saja berkunjung ke rumah kami. Ibu lebih sering dipeluk oleh mama mertua dengan matanya yang sangat sayu. Sementara aku dan Mas Hafiz menerima tamu.

Aku masuk ke rumah. Kudapati istriku menggendong Lelaki di dekat rak buku koleksi Bapak ditemani kedua adik kembarku yang mengajak bayiku bermain. "Bapak banyak mengoleksi buku sejarah ya?"

"Walau Bapak itu guru kimia dan punya banyak buku tentang biologi dan kimia, dia juga suka mengoleksi buku-buku peristiwa di dunia. Terutama peristiwa di Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Buku merah ini adalah buku yang sering dia baca."

"Apakah logo hitam dalam lingkaran putih ini bentuk swastika atau...?"

Aku tersenyum dan membuka buku berjudul ‘Mein Kampf’ itu. "Kamu bisa bahasa Jerman, 'kan?"

"Rupanya kamu masih berpikir begitu. Aku di sana masih belum banyak bicara, Mas. Bagaimana aku bisa berbahasa Jerman, maupun bahasa Perancis dan bahasa Polandia?"

Fitra dan Fitri terus saja bermain dengan anakku. Di tengah percakapan itu juga, seketika Mas Hafiz memintaku menemaninya di depan. Para pelayat dari sekolah Bapak datang dan kami menyalami mereka. Setelah mereka pulang, aku menarik kakak lelakiku itu ke luar tenda.

"Apa kamu percaya kalau Bapak kecelakaan mobil tunggal, Mas?" tanyaku pada Mas Hafiz.

Napasnya sekali, lalu menjawab, "Ya. Ini foto-foto mobil itu di TKP."

"Duh! Bukan itu. Ada luka di wajahnya yang tampak bukan sebuah kecelakaan mobil saja. Aku mau ke TKP sekarang."

"Ikhwan! Untuk apa?"

"Aku mau buktikan."

"Kamu ini bagaimana!? Ini masih banyak pelayat!"

Aku tetap pergi saja. Aku rasa itu sudah kata pamit. Mobil kukendarai sendiri. Sampailah di TKP, di Klaten. Di area pohon besar tempat Bapak kecelakaan, hanya aku temukan remukan sisa-sisa mobilnya. Kutelusuri ke sekitar, tidak ada hal mencurigakan. Aku hampir putus asa. Aku terus berjalan ke arah sebelum Bapak menabrak pohon. Di antara kerikil-kerikil di pinggir jalan raya itu, ada gelang hitam berpola huruf ‘W’ beraturan tergeletak. Gelang itu terputus. Kuambil, namun ada butiran debu yang menempel dalam bentuk gumpalan. Aku menceraikan debu-debu itu. Ternyata gumpalan itu adalah darah.

Lihat selengkapnya