Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #31

Lahad (3)

Dari pukul 06.30 kami sampai di Gedung Graha Widya Wisuda. Kami sengaja berfoto bersama dahulu di salah satu tenda resmi sebelum acara wisuda dimulai. Setelah itu, aku dan istri segera ke barisan masing-masing sesuai fakultas dan jurusan. Anakku kutitipkan Mbak Ila. Sementara Ibu dan juga kedua adik kembarku dijaga Mas Hafiz. Kami masuk gedung dengan antre. Paduan suara ‘Agria Swara’ yang menjadi UKM istriku menyanyikan lagu 'Tanah Air' hingga semua dosen dan jajaran rektorat yang terlibat dalam acara wisuda duduk di tempat mereka masing-masing. Acara wisuda berlangsung begitu khidmat. Lalu namaku disebut dengan predikat Sangat Memuaskan.

Aku mencari istriku yang barisan fakultasnya bersebelahan dengan fakultasku usai acara. Saat kutemukan istriku, seseorang menepuk pundakku.

Rupanya Sofyan. Sontak kupeluknya. Lama tidak mendapat kabarnya. Kami bertiga ke luar gedung bersamaan.

"Ikhwan. Kemarin gue berberes kontrakan dan di ventilasi pintu bekas kamar lu, gue temukan ini." Dia memberiku sebuah kertas: 'Goresan petunjuk itu ada di kamar asrama'. Itu adalah tulisan Yayat.

"Maaf, Wan, kenalkan ini adik gue. Dia kuliah di sini juga, masih semester 2. Asramanya di C2." Aku berjabat tangan dengan lelaki yang wajahnya banyak perbedaan dengan Sofyan. Sofyan dan adiknya pamit hendak ke tempat parkir mobil.

Aku masih berpikir tentang tulisan itu. Apa aku harus ke asrama? Apa kubiarkan saja? Sementara itu, Dik Ris yang di sampingku terus saja mendapat ucapan selamat dan banyak bunga juga bingkisan diberikan untuknya. Aku terus menarik tangannya menuju titik temu dengan keluarga kami, yaitu di dekat tulisan nama gedung biru itu.

Namun aku melihat pria bopeng dan pria mohawk serta beberapa pria lainnya tersebar di belakang kami. Aku segera tarik istriku cepat-cepat. Kami menerobos kerumunan itu. Kulihat Mas Hafiz bersama Ibu dan kedua adikku. Sampailah kami di situ. Ternyata ada Badai juga. Namun tidak ada Mbak Ila juga Lelaki. Seseorang menjerit. Itu adalah Mbak Ila. Seorang pria hendak merebut Lelaki yang sedang menangis itu dari tangan Mbak Ila. Aku tonjok pria itu tepat di hidungnya. Lalu berdarah. Itu membuat orang-orang di sekitarku panik. Kutendang perutnya, lalu kami tinggalkan.

Uh! Beberapa pria mendatangi keluarga kami. Aku meninju perut salah satu dari mereka. Badai dan Mas Hafiz juga menghalangi mereka. Kami meninju dan menendang siapa pun yang hendak meraih anggota keluarga kami. Beberapa dari mereka terkapar. Sedangkan yang lainnya kabur.

Sementara itu, aku meminta keluargaku untuk kembali ke mobil kami. Aku jelaskan keadaan yang mengancam itu sembari berpindah tempat. Kupinta Badai melindungi mereka. Sedangkan kakak laki-lakiku kuminta untuk menyetir lewat pintu belakang, namun menggunakan jalur rektorat ke kandang Fakultas Peternakan, lalu ke kumpulan fakultas di barat, barulah ke asrama putra.

Itu artinya aku tidak ikut mereka. Aku menemui Sofyan untuk mengantarkanku ke asrama sebentar dengan mobilnya. Kuminta adiknya juga ikut. Kami melewati jalur depan Gymnasium dan asrama putri yang jalannya sudah dibangun ulang. Jalur itu lebih cepat dari pada jalur rektorat.

Aku buka topi dan jubah wisuda hitam itu. Kutitipkan di mobil Sofyan. Lalu segera kami turun bersama adik Sofyan. Kami ke gedung asrama C1. Ada satpam yang menanyai kami dan Sofyan menjawab ada keperluan dengan adiknya. Kami segera ke kamar kami yang dulu, di lorong 8. Sehingga selain tangga naik gedung C1, harus naik lagi ke lantai 2. Sampailah kami di depan kamar itu.

Maka kuketok pintu itu dan ada dua orang mahasiswa sedang di kamar. Kujelaskan bahwa kami dulu pernah tinggal di kamar itu, namun aku ada sesuatu yang sedang kucari. Setiap goresan pada meja belajar kuteliti. Inginnya lemari juga kami periksa, namun kedua mahasiswa itu menolak. Dipan-dipan bertingkat itu pun aku telusuri. Aku lebih fokus mencari di dipan yang utara. Tidak ada yang aneh pada dipan itu. Aku hampir putus asa dan berpegang pada tembok di dipan atas.

Upayaku sia-siakah? Tembok itu sedikit kasar karena bertekstur. Tembok yang sudah dicat ulang. Aku raba tembok itu perlahan.

Rabaanku seperti memberi arti. Aku minta kertas dan meminjam pensil pada salah satu mahasiswa itu.

Niatku adalah menimpa, namun kertas itu tidak cukup. Aku meraba dari tekstur paling kiri. Tekstur itu menurun rapi ke samping kiri seperti motif batik udan liris. Terdiri dari titik dan garis menurun dan dilanjutkan di sampingnya. Aku gambar ulang apa yang aku raba: Titik tiga garis. Titik garis. Dua garis titik. Titik garis. Dua titik. Titik empat garis. Tiga titik dua garis. Dan terakhir, garis empat titik.

Lihat selengkapnya