Rintik mulai turun. Kukemudikan mobil mencari itu. Aku masuk tol Jagorawi. Hujan turun semakin deras di tengah kemacetan panjang. Tak ada musik atau radio yang kuhidupkan. Sehingga melodi dari hujan, mesin kendaraan, dan klakson-klakson kendaraanlah yang membentuk paduan suara yang tak beraturan. Campur aduk. Seperti suasana hatiku.
Kukeluar gerbang tol Puncak. Malam sudah hampir larut karena kemacetan di tol berlanjut di jalan arah Puncak. Sampailah aku di Megamendung.
Aku tanya pada orang-orang yang masih menampakkan diri di luar. Mereka tidak tahu lokasi yang seperti itu. Sepanjang jalan di Megamendung kutemui satu per satu orang yang kulihat dan kutanya mereka. Ada salah satu orang menunjukkan arah padaku.
Itu ternyata lokasi yang kecil dan terbuka. Aku telusuri, namun tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Seseorang keluar dari rumah di dekat situ. Dia menanyakan maksud kedatanganku di tengah malam itu. Kuceritakan tentang lokasi itu dan tentang kedua adikku. Pria tersebut punya gambaran tentang lokasi itu. Pak Ardi – nama pria itu – berjanji akan mengantarku setelah subuh karena dia mau istirahat. Kudimintanya menginap di rumahnya. Meski awalnya ragu, namun kuturuti. Aku ditempatkan di salah satu kamarnya. Tidak banyak perabotan yang ada. Di ranjang itu, aku terfokus menatap dua foto gadis kecil yang wajah mereka memiliki kemiripan.
Telah usai salat subuh, kami berangkat yang didahului oleh sarapan roti dari istri Pak Ardi. Dia duduk di sampingku sembari mengarahkanku. Ketika masuk gang dari jalan raya, aku merasa tidak asing. Semakin masuk, semakin ingat akan jalan itu. Benar saja, itu adalah jalan menuju vila milik keluarga Sofyan. Vila yang menjadi tempat dua kunang-kunang menikmati malam sepi itu kulewati. Tidak jauh dari situ, pria itu memintaku menepi di jalan yang sepi itu.
Pak Ardi menepuk tanganku. "Kita sampai," tuturnya.
"Eh!" Aku terheran. Ternyata ada gang di dekat situ. Kusetir masuk gang. Kulihat bangunan besar, namun sunyi aktivitas. Pria itu turun. Aku mengambil ponselku. Oh tidak! Sinyal lemah. Aku unggah, namun beberapa kali gagal. Aku salin saja catatan itu dan kukirim. Juga tetap berusaha mengunggah foto itu.
Namun Pak Ardi hilang dari pandanganku. Aku segera mengunci mobil dari dalam. Kubuka dasbor dan mengambil kotak di dalamnya. Seseorang membawa sebatang kayu dari arah belakang yang bisa kulihat dari spion. Kaca di sampingku dipukul-pukul menggunakan kayu itu. Oh, dia adalah pria bopeng.
Empat detik berjalan. Tak terduga, kaca mobil penumpang pecah. Sebuah batu masuk hampir mengenai tanganku. Pecahan kaca itu ada di sekitarku. Si pemecah kaca itu menjambak rambutku. Kuambil satu kujang dari kotak itu. Lalu kuayunkan pada tangannya. Dia menarik tangannya yang bercucur darah, kemudian meringis.
Lalu kuambil kunci mobil dan kuayunkan pintu sopir. Pria bopeng jatuh. Kukunci otomatis mobil itu. Kuambil sikap kuda-kuda untuk jurus Kijang Kujang. Seseorang hampir menendangku. Kutepis dan kusayat kakinya. Sebuah parang mengayun menuju kepalaku. Kutahan dengan kujang kembar dan menghempasnya. Kutendang pemilik parang itu.
Itu belum berakhir. Tendangan kembali datang dan kali ini bisa menjatuhkanku. Kubergulung ke depan dan langsung berdiri setelahnya. Aku menari dan meloncat-loncat seperti kijang dengan tatapan setajam kujang kembar pada mereka. Satu orang dengan tangan kosong menghampiri. Kuiris panjang tangannya. Kuberputar untuk menghindar dari parang orang lain. Kedua leher kujang yang awalnya di genggaman jempol dan telunjuk, kuputar cepat ke genggaman kelingking. Lalu kutusukkan pada kedua punggung atasnya.
Tetapi dari arah lain, ada yang teriak sambil hendak menghantamkan batu padaku. Kutikam perutnya, lalu kuputar kujang itu ke segala arah sehingga mengoyak isi perutnya. Batu itu lepas dari genggamannya, bersamaan dengan kepala yang membentur pada bahuku. Tanganku penuh aliran panas nan deras yang sedikit lengket dengan bau anyir. Tumbang.
Intuisi menggiring mataku menatap ke depan. Pak Ardi diikat tangannya ke belakang. Rambutnya dijambak oleh seorang pria berkumis dan brewok tebal. Mario yang di sampingnya menghunus pedang dari sarungnya. Dia menyembelih leher pria pengantarku dalam sekali tebas. Darah segar tersembur dari nadi di leher pria itu memerahi kaus putihnya. Tumbang.
Ada sebuah jarum menusuk leherku. Lalu disusul jarum lainnya di nadi tangan kananku. Itu adalah jarum suntik dengan cairan kuning yang dilepaskan ke dalam pembuluh darahku. Aku tak bisa melihat dengan jelas orang yang menyuntikku dari belakang itu. Entah kabut atau memang pandanganku yang kabur. Namun yang kurasa adalah lemas. Kedua kujang kembar lepas dari genggamanku. Ku tak mampu untuk berdiri. Tumbang.