"Ultimatum yang kutitipkan lewat anak buahku itu belum satu tahun, bukan? Apa aku salah? Oh tidak, anakku. Itu artinya, kau yang mengizinkan. Omong-omong, aku lihat, istrimu cantik juga."
Maka aku teriak, "Bangsat kau! Brengsek! Cukup! Cukup sudah!" Namun teriakan itu masih saja tertahan.
"Apa yang mau kamu omongkan? Sepertinya aku harus memanggil anak buahku. Panglima lapang kesayanganku. Mario!"
Nama yang disebut itu masuk. Dia menyeringai. "Aku yang membunuh bapakmu. Aku yakin kamu tidak terkejut. Sebenarnya tugasku membunuhnya bukan karena apa yang telah kaubuat, Wan. Tapi itu semata-mata apa yang telah dia buat. Sungguh pun jika kautahu, ini demi keselamatan umat manusia. Aku sejak kecil bisa bergabung dengan Manusia Murni merasa apa yang sudah kubuat adalah kontribusiku menyelamatkan manusia lainnya."
Pistol dipegang lagi oleh Erik. Dia menimpali, "Tapi apa yang kami perjuangkan ini malah ada yang mengobrak-abrik. Padahal aku sudah bekerja sama dengan aparat yang diamplopi cokelat sudah berbunga-bunga. Muncullah kamu, si kecoak. Ya, mungkin aku tepat menyebutmu kecoak. Kamu bukan siapa-siapa. Gerakmu tak beraturan. Kadang digertak menjauh. Kadang juga digertak lebih keras justru mendekat. Dan aku benci serangga kotor itu."
Rasaku bergejolak. Seekor kecoak terbang melewatiku. Dia menempel pada dinding dan berjalan tak beratur. Satu tembakan terlontar. Kecoak itu lolos dari tembakan. Dia masih berlari tak berarah di sekitar itu. Tembakan kembali mengarahnya. Dia lolos. Kecoak itu terbang ke sana ke mari. Lelaki bajingan itu menembaki ke segala arah kecoak terbang. Hinggaplah dia di dada kiriku.
Oh! Jantungku meronta-ronta bersama dengan tubuhku. Serangga cokelat itu bergeming saja. Lubang pistol sudah mengarah padanya; padaku. Kecoak itu berlari ke dada kiriku, ke perut, naik ke leher dan mengitari. Kepala kuguncang. Dia terus naik melewati sumpalan di bibir, hidung, hingga di ujung batang hidung dan alis kiriku. Goyangan kepalaku tak diacuhkannya. Jika peluru itu tertancap pada kepalaku, kupasrahkan diri pada Yang Maha Kuasa. Kututup mata.
Ya Tuhan, satu peluru terlontar. Bersamaan dengan terbangnya kecoak itu. Kubuka mata. Kecoak itu jatuh ke pangkuanku.
"Akhirnya, tumbang sudah temanmu." Erik membuka kacamatanya dan merabai gelang hitam yang juga dipakai oleh anak-anak buahnya. "MM; Manusia Murni. Ah iya. Aku lupa di awal tidak menceritakan apa itu Manusia Murni. Ini adalah organisasiku setelah aku mengikuti proyek biadab itu. Aku tak bisa membiarkan proyek itu berhasil, karena keselamatan manusia bisa terancam. Bukan hanya aku yang berinisiatif membuat organisasi rahasia ini. Ada organisasi lain yang melakukan penyelamatan dengan cara mereka. Sementara aku, merusak objek penelitian proyek itu adalah bentuk penyelamatan. Aku tidak membunuh, seperti apa yang telah kaulakukan pada beberapa anak buahku. Ingat, aku hanya merusak objek penelitian agar tak bisa digunakan lagi. Menjual organ tubuh untuk orang yang membutuhkan. Menjual obyek untuk memuaskan nafsu. Artinya tidak sia-sia para obyek itu. Jadi jangan sebut ini mafia."
"Nah, saat kalian masih kecil, aku menyelamatkan dan mendidik teman lamamu ini bersama anak semata wayangku. Kuangkat dia menjadi panglima lapang dalam menyelamatkan objek penelitian dan dibawa ke sini. Objek yang juga sudah tercantum pada Beijing Handbook itu kami salin dalam batik megamendung. Anakku itu suka sekali membatik. Meski setelah dewasa, dia hanya meminta pengrajin yang membuatnya. Anakku itu kuberi tugas sebagai pemberi informasi pada para penyelamat. Namun kuberi tugas tambahan karena akhirnya kamu berkuliah di area kami. Ya tugasnya adalah mengawasimu. Sayang, ke mari! Orang spesialmu ingin bertemu."
Gadis muda masuk ke ruangan. Dia itu menyangkutkan rambut sebahunya pada telinga kanan. Dia tersenyum dan melambaikan tangan seperti Puteri Indonesia. Bukan lagi Kora-Kora yang kurasakan melainkan lahar panas gunung Merapi. Didekatinya aku. Kuhanya menggigit keras sumpalan di mulut.
Dia membuka mulutnya dan matanya berkedip normal. Gigi seri atasnya tampak berjarak, masih sama seperti yang kulihat selama kami kenal. Mulut ditutupnya lagi. Lalu, "Awalnya aku kira aku tak akan membawa perasaanku saat mendapat tugas itu. Kali kedua melihatmu yaitu saat kita berkenalan, kamu seakan meruntuhkan segalanya. Caramu yang terkadang mendekatiku, mengantarku pulang, membeli peralatan mandi yang aku tahu kau tak membutuhkannya, aku terlalu jauh menjadikannya kenyamanan. Caramu yang terkadang diam, tak acuh, tak mau ditemani, sempat membuatku penasaran dan ingin terus mendekat. Ketika ada berita kamu hendak menikah dengan Iris, hatiku remuk terhantam hebat. Ternyata aku sadar, aku memang terlampau jauh dari tugas utamaku. Betapa bodohnya aku memberi perasaan pada objekku. Bodoh, 'kan? Hah!"
"Ikhwan, akhirnya kini lu bisa bertemu ayah gue, meski bukan dalam pertemuan karena hubungan asmara. Jadi gue rasa harus kusudahi. Gue memberi rasa pada orang yang salah. Seharusnya bukan lu. Untuk itu, gue kembalikan gantungan wayang ini buat lu lagi." Miniatur wayang Dewi Sumbadra itu diberikannya pada tanganku yang masih terikat.
Tetapi pemilik nama Ayu Amalina itu memalingkan wajahnya dariku setelahnya. Mencium pipi ayahnya. Lalu pergi meninggalkan kami.
Erik kembali bicara, "Memang ceroboh sekali dia. Tapi aku tak mau ceroboh. Dulu aku kenal baik dengan bapakmu dan...ya. Mereka masih berpegang teguh pada proyek itu. Karena aku memutuskan untuk menolak, tentu saja aku melawan bapakmu atas nama ideologi kita yang berbeda."
"Nah, kaupasti ingat 1999. Aku beserta anak buahku awalnya akan membunuh bapakmu. Namun karena melihat ada kamu, kuminta anak buahku mengambilmu," lanjutnya sambil menggaruk kepala bagian belakang.
Tergemaplah aku mendengarnya.
"Akan tetapi, ketika akan kubawa dengan anak lain, kaulepas. Heran saja aku, dirimu yang kecil kala itu hendak melawan kami. Aku hanya meminta anak buahku memainkanmu, seolah kamu melawan mereka. Sayangnya si Pendi, bapakmu itu, sadar dan melawan anak buahku. Tentu saja aku tak mau bapakmu memburuku. Truk tangki minyak tanah diambil paksa oleh anak buahku dan kuminta untuk merusak remnya. Sehingga aku bisa berlari dari lokasi di saat bapakmu sibuk berkelahi dan kamu tampak menangisi, entah apa yang kautangisi. Truk menghantam mobil-mobil kami dan untung saja aku bisa melarikan diri walau api bergelora dalam kejadian itu. Tapi gara-gara kamu, Pendi tahu aku masih hidup."
Narasi itu terhenti karena Mario membisikinya. Lalu dia kembali bermonolog. Ya bermonolog, karena aku yang diajaknya berbicara namun tak bisa kubalas dalam kata.
Gelak tawa Erik tercipta. "Ini lucu. Ini lucu. Mungkin keluargamu butuh kesabaran ketika kamu berimajinasi ini. Mungkin temanmu yang sekarang jadi polisi juga guru-gurumu itu butuh kesabaran. Untung saja, ini Mario tak bisa sabar padamu. Kamu kembar?" Dia menyeringai.
"Eh! Kembar itu tidak istimewa. Berhentilah kauberkhayal kalau kamu itu kembar, seperti yang kamu ceritakan dulu. Kembar dari mana? Kapan terakhir kamu bercermin? Apa yang kamu rasakan? Kata Mario kamu berlatih silat dengan kembaranmu, padahal itu adalah temanmu yang menjadi polisi itu tapi kaupandang dia seperti dua orang. Siapa namanya? Iqbal? Tidak ada nama Iqbal di keluargamu! Itu hanya imajinasimu karena ketika kecil, aku tahu, kamu kesepian. Akhirnya alter egomu muncul, namun dalam wujud imajiner. Kembar imajiner. Hahaha. Kukira momen 1999 itu setelah aku tahu Pendi menguburkan mayat anak dari mobil yang terbakar itu membuatmu sadar bahwa kembaran imajinermu sudah tiada. Eh, Mario dan Lina berulang kali bilang tentang kamu menanyakan Iqbal. Aku ya hanya tertawa. Hahaha." Erik terpingkal-pingkal.