Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #1

Biru (1)

BIRU; semua tentang memori penculikan itu. Tapi itu juga arti nama tengahku, warna favoritku, juga warna handuk yang kupakai. Selaras dengan warna langit pagi itu dan awan-awan kumulus bertebaran menghiasi atap tanah Solo Raya. Sialnya, cahaya matahari tertutup oleh bayangan seorang anak kecil yang seukuran denganku; ukuran bocah usia enam tahun. Wajah bocah itu hanya berbayang karena membelakangi cahaya mentari pagi.

Engkau tahu apa yang dilakukannya setelah itu? Dia mempersiapkan kakinya sedikit rendah, tangan berada di depan dada dengan tangan kanan di depan dan tangan kiri di belakang, serta masing-masing telapak tangan terbuka yang menghadap berlawanan membentuk silang. Aku mengambil sikap sama yang dalam dunia bela diri disebut sikap kuda-kuda. Meski hanya berbalut satu helai handuk biru, itu tidak masalah buatku untuk melayaninya. Dia juga hanya berbalut sehelai handuk; berwarna hijau. Aku mengepalkan kedua tanganku, dengan meletakkan tangan kiri ke pinggangku dan melepaskan tangan kananku ke arah dadanya, namun dengan cepat dia menghindar.

Rupanya dia mengubah posisi kaki, sehingga tampak jelas wajahnya terpapar sinar matahari dengan kaki kiri mengarah ke depan. Wajahnya yang seperti wajah ketika kubercermin itu menatap tajam padaku. Kulihat kaki kanannya sedikit bergerak, lalu melepaskan tendangan ke pinggangku. Dengan segera, kuayunkan kedua telapak tanganku ke kaki kanannya. Meski sedikit perih, setidaknya kaki itu tidak menyentuh pinggangku.

Aku segera memegang kakinya itu. Lalu kudorong badannya hingga jatuh ke lantai. Kaki kulilitkan ke kakinya, sehingga kakinya sulit bergerak. Di saat itu, tanganku ke depan dada dengan telapak tangan terbuka, jari-jari merapat, telapak tangan kanan di depan dan menghadap ke kiri, telapak tangan kiri berada di belakangnya dan menghadap ke kanan, sehingga membentuk silang.

"Wan... Ikhwaaaan! Wis jam pira iki?1 Kok masih handukan? Ditambah guyonan meneh2, kebiasaan ya. Cepat pakai baju!" teriak ibuku sambil mengetuk-ketuk pintu dengan keras.

Aku melepaskan kakiku dari lilitan sambil mengoceh, "Nggih, Bu. Lha niku, Iqbal dereng pakai baju niku3."

"Le, uwis to4. Ibu minta kalian berdua cepat ganti baju! Iqbal dan Ikhwan. Bapak sudah tunggu di mobil. Nanti telat." Meski nada bicara Ibu menurun, namun dahinya tetap mengerut, kedua alisnya hampir menyatu, tatapannya tajam, bibir dan giginya sedikit bergetar; padahal wajahnya sudah dipenuhi tempelan bubuk bedak warna kuning langsat.

Dan ketika Ibu pergi, kembaranku segera memakai pakaiannya. Aku pun demikian. Tetapi dia mengambil kemeja kotak-kotak biru yang semestinya itu kukenakan. Iqbal semestinya mengenakan kemeja kotak-kotak hijau.

Aku menarik kemeja yang sudah terkancing di badannya. "Iqbal, mbok balikake5! Itu kan bajuku. Punyamu yang hijau. Jangan mengabuklah!"

"Ruginya apa sekali-kali gantian, Wan? Masa kowe6 pakai biru terus? Aku saja bosan pakai hijau terus, kayak batu bacan no." Dia memegang baju kotak-kotak biruku yang sudah dipakainya dengan mencengkeram. Sayangnya aku susah menariknya lagi.

Ibu berlari ke dalam kamar kami, lalu menggedor-gedor pintu yang jelas-jelas terbuka lebar. "Iki piye to!?7 Kok pada berantem? Bapak sudah marah-marah itu tunggu kalian."

"Suruh siapa Iqbal pakai kemejaku, kemeja dia kan yang ....."

"Ikhwan, wis ora popo8. Yang penting pakai dulu."

Lihat selengkapnya